Refleksi Solat Id

Senin, 19 Agustus 2012 bertepatan 1 Syawal 1433 alunan takbir, tahmid, dan tahlil bergema oleh ribuan jamaah masjid Agung Pemalang. Pada tahun ini, ada yang beda ketika pelaksanaan solat Id. Dari biasa yang saya ikuti selama ini, model solat Id yang dilakukan jamaah menunggu rombongan bupati, imam, dan lainnya yang sebelumnya stand by di suatu tempat. Kemudian, jika jam sudah menunjukkan waktu solat Id, maka rombongan tersebut datang ke masjid, dengan diiringi suara sirine, bedug, terpakainya red carpet, bersiaganya para pengawal bupati, dan bolan yang dilepas ke udara serta menuju pada tempat yang disediakan panitia.

Menurut penulis, pada tahun ini, pengurus masjid membuat model baru, yaitu rombongan sudah berada di masjid. Rombongan hanya menunggu kedatangan waktu solat Id tiba. Hal ini lebih baik dibandingkan dengan model lama. Jika model lama, kemungkinan untuk beribadah sunah lebih sedikit dibanding dengan model terbaru. Pada model lama, kedatangan mereka, langsung solat dimulai. Artinya para rombongan tidak melakukan amalan sunah, seperti solat tahyatul masjid, dikir, takbiran, itikaf, dan sunah yang lainnya. Padahal, rombongan tersebut adalah para teladan masyarakat.

Status Takwa

Penulis lebih menyukai model baru, karena memungkinkan untuk memposisikan bahwa di mata Alloh yang dilihat ketakwaan. Alloh tidak melihat jabatan, status, dan kedudukan sebagaimana dalam transkip QS. Al-Hujurat :13 bahwa Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Dengan model terbaru, memungkinkan kita lebih dekat kepada Alloh dengan melakukan amalan sunah di masjid. Karena, Alloh tidak melihat kedudukan orang tersebut di dalam masjid, apalagi diberi tempat khusus di depan.

Model tersebut, memberikan dua nilai. Pertama, nilai keteladanan. Teladan agar masyarakat untuk menirukan pemimpinnya. Jika rombongan sudah stand by di masjid memungkinkan agar bawahannya juga dapat lebih hadir terlebih dahulu. Para bawahan juga mengikuti para pemimpin yang sedang melakukan amalan sunah. Hal ini sebagaimana Transkip QS. Al Ahzab: 21 bahwa Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu. Artinya, perlu adanya sosok yang menjadi idola dalam berbuat baik. Sosok itulah yang akan memberikan pelajaran dari sikap, tingkah laku, tutur kata, dan sejenis yang akan ditiru oleh pengikut. Hal ini sejalan dengan model tersebut, jika rombongan tersebut hadir lebih awal dan melakukan amalan sunah, maka secara tidak langsung jama’ah memperhatikan pola perilakunya di shof terdepan dan mengikutinya dari belakang.

Kedua, nilai disiplin. Disiplin dalam kedatangan para jama’ah. Karena, model terbaru memberikan jama’ah untuk datang lebih awal. Rosul selalu melakukan solat tepat waktu, sebagaimana transkip Hadis bahwa Abdullah bin Mas’ud  bertanya kepada Rasulullah bahwa “Wahai Rasulullah pekerjaan apakah yang paling Allah cintai?”, Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya. Karena, shalat pada tepat waktu dapat mengungguli sebuah amalan yang balasannya sudah dijanjikan Allah berupa surga dan selalu menjadi idaman seluruh Muslim.

Esensi Solat Id harus dimaknai bukan hanya rutinitas solat saja, tetapi kesucian diri sendiri. Suci dari segala dosa dan penyakit hati. Dengan model tersebut, mereduksi bahwa kemenangan hakiki adalah kemenangan hati. Rombongan lebih khusuk berdikir di masjid dan jamaah mengikutinya. Bukan, kemenangan yang di sambut dan disaksikan beratusan pasang mata jama’ah. Tetapi, kemenangan meraih ridoNya dan ketenangan hati. Bukankah, hidup ini lebih tenang jika ada Alloh? Semoga model tersebut menjadikan lebih dekat dengan Alloh dan meraih kemenangan hakiki. Amin.

Menggugat “Menepuk Tangan” Anak Yatim

Oleh : Agung Kuswantoro

Di bulan Suci ini banyak orang bersedah kepada anak yatim. Hal ini sejalan dengan perintah Alloh agar tidak menghardik anak yatim (mereka). Sebagaimana dalam Al Maun (1 dan 2) bahwa, orang yang pertama dikategorikan mendustakan agama adalah orang yang menghardik mereka.

Dalam perkembangannya model penyantunannya dilakukan dengan menghadirkan mereka di sebuah lembaga/ kantor. Mereka diundang dalam acara seperti syukuran, buka puasa bersama, dan sejenisnya. Kemudian disela-sela acara tersebut, mereka dipanggil untuk maju di hadapan para hadirin. Saat itu pula, Master of Ceremony (MC) menyebutkan, pada kali ini kantor kita memberikan bantuan kepada anak yatim sejumlah sekian, bagi yang mewakili silakan maju ke pangggung. Bergemuruh tepuk tangan dari hadirin dan dipertontonkan kepada ratusan pasang mata ketika mereka di panggung.

Menyakitkan Hati

Ketika orang bertepuk tangan dan melihat mereka, justru hati mereka menangis. Mereka memang harus kita bantu, bahkan kedekatan Rosul dalam hadisnya “ Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini (HR. Bukhari). Namun, bukan dengan cara seperti itu. Menurut saya, ada beberapa model yang dalam menyantuni dia.

Pertama, penyantun datang ke rumah/ panti asuhannya. Dengan kata lain kita datang ke mereka. Sebenarnya kedatangan kita adalah memberikan nuansa tersendiri, kita bisa memberikan motivasi, penyegaran, dan hiburan bagi mereka. Senyumannya adalah sebuah kebahagiaan bagi kita. Maka, jika ada anak yatim yang perlu pertama dibangun adalah psikologisnya, bukan fisiknya. Karena, pada hakekatnya mereka telah kehilangan kasih sayang. Dia dilahirkan sudah dalam keadaan tersendiri, sebagaimana arti dari yatim itu sendiri.

Kedua, kita mengundangnya ke acara kita, mereka kita ajak makan, minum, dan lainnya sebagaimana tamu lainnya. Jadi tidak ada perbedaan dari semua tamu. Biarlah yang ditepuk tangan dan yang maju di panggung adalah orang yang berprestasi. Sebagaimana jika atlet memenangkan lomba, maka dia diberi piala dan ditepuk tangani. Jika kita mengundangnya dengan model kedua, artinya kita menyamakan tamu yang diundang. Tamu memiliki kedudukan yang sama bagi pengundang.

Niat mengundang anak yatim, berarti memperlakukan mereka sebagai tamu. Menepuk tangan mereka dihadapan orang banyak sama halnya dengan mempermalukan mereka. Mereka bukan untuk dipermalukan dihadapan orang atau bukan untuk dikasihi dihadapan orang. Dari beberapa jawaban anak yatim yang penulis temui mengenai hal tersebut, bahwa sebenarnya mereka berontak terhadap situasi tersebut, mereka dipermalukan dengan keadaan tersebut, tetapi apalah daya, mereka tidak memiliki kemampuan untuk menolak hal tersebut saat itu. Jika mereka mengetahui akan diperlakukan hal tersebut, pasti mereka tidak datang di acara tersebut.

Ibnu Majah dalam riwayatnya mengatakan “Sebaik-baik rumah kaum muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan buruk”. Jika memperlakukan mereka dengan perlakuan bertepuk tangan dihadapan orang lain, menurut saya sama halnya dengan diperlakukan buruk. Semoga kita bisa menghargai hati mereka dengan kasih sayang, tulus, ikhlas dan memperlakukan mereka dengan santun sesuai ajaran agama kita. Waallahu ‘Alam

 

Penulis             : Pengiat Kajian Mahasiswa Mengaji, Dosen Fakultas Ekonomi Unnes