Pengalaman saya, ketika istri hamil sembilan bulan dan mendekati HPL (Hari Perkiraan Lahir) yaitu ingin segera si kecil lahir. Terlebih HPL mendekati Hari Raya Idul Fitri, dimana dokter kandungan yang dengan rumah cuti lebaran selama enam hari. Hal ini menjadikan saya berharap agar dia lahir sebelum lebaran.
Posisi istri yang berada di Rembang, dan saya di Semarang, tidak menghalangi saya untuk bisa menemani persalinannya. Setiap Sabtu – Ahad saya pulang ke Rembang.
Salah satu kewajiban suami adalah memberikan kebahagiaan batin, salah satunya dengan memotivasi istri saat melahirkan.
Suami memegang istri saat kontraksi, suami membisikkan kata ‘Alloh” ditelinga istri saat sakit, suami memberikan air minum ke istri dan tindakan lainnya yang bersifat menyemangati istri, itu semua merupakan bentuk nafkah batin pada istri.
Hal yang menjadikan “was-was” adalah saat minggu HPL tiba, tetapi belum ada pertanda lahir.
Setiap detik, menit, jam, dan hari, saya selalu menanti tanda-tanda kelahirannya. Rasanya tidak sabar dalam menanati yang belum mengetahui waktunya, sehingga pekerjaan saya adalah menanti, menanti dan menanti.
Sikap saya yang demikian, menjadikan sata tidak tenang. Keadaan tersebut menjadikan jauh dari Tuhan. Seakan-akan saya protes padanya mengenai waktu, padahal pemilik waktu itu adalah Dia. Dia telah menyistemkan waktu yang terbaik untuk manusia.
Dalam hadis qudsi diterangkan bahwa manusia menyakiti Alloh dengan cara memaki masa (waktu). Padahal Dialah yang menguasainya. Ditangan Dia segala perintah. Dialah yang membolak-balikkan siang dan malam.
Setelah introspeksi diri, saya menyadari kesalahan saya bahwa jika saya protes mengenai waktu kelahiran, maka sama artinya saya protes pada Alloh.
Saya mengubah tindakan dengan cara berdoa dan berdzikir. Tiap saat saya selalu melakukan kedua tindakan tersebut. Berdoa agar anak lahir selamat secara normal, dia tidak bermasalah secara fisik, atau anak dan istri tidak memiliki permasalahan selama persalinan.
Ketika saya berdoa, maka artinya saya berharap akan Alloh ada disetiap waktu. Diperkuat dengan dzikir, menyebut nama-Nya setiap saat, sehingga hati terisi dengan nama Alloh.
Lahir dinanti, menjadi dosa ketia saya menanti tanpa adanya Dia. Saya hanya bisa mengeluh dan tidak sabar, sehingga dapat dikatakan penantian tanpa arti.
Lahir dinanti, itu menjadi ibadah karena setiap saat hati diisi dengan doa dan dzikir. Penantian yang biasanya diucapkan dengan pertanyaan “Kapan bayi akan lahir”? berubah menjadi “Apakah saya sudah berdoa untuk keselamatan istri dan bayi?”
Dengan mengubah seperti itu, menjadikan hati lebih tenang, terasa bahwa waktu adalah milik Alloh. Alloh yang mengatur semuanya. Manusia hanya mengikuti ketetapan Alloh yang telah ditentukannya.