Tahun baru masehi, kebanyakan orang merayakannya dengan kembang api dan meniup terompet di alun-alun, lapangan, jalan protokol, dan lainnya. Ada juga yang merayakannya dengan shopping di mall, mendaki gunung, menyelem di laut, berlibur bersama keluarga di taman rekresi, dan kegiatan lainnya.
Kondisi tersebut, berbeda dengan apa yang saya alami pada malam pergantian tahun. Saya merayakannya dengan menikmati perjalanan panjang selama delapan jam, yaitu dari Pemalang menuju Rembang. Pemalang adalah tempat saya dilahirkan dan orang tua saya tinggal. Rembang adalah tempat istri dilahirkan. Semarang adalah kota saya dan istri mencari rizki. Dapat dikatakan, perjalanan dari ujung ke ujung. Pemalang ada di ujung Barat dan Rembang ada di ujung Timur.
Perjalanan itulah yang berasa nikmat, karena penuh dengan kejadian yang tak terduga, seperti mesin mobil rusak, salah mengambil jalur jalan, gerimis, saksi pihak lelaki datang terlambat dan lainnya.
31 Desember 2012, posisi saya masih berada di Semarang, karena masih ada tugas di kantor (Fakultas Ekonomi, Unnes) yaitu kegiatan refleksi akhir tahun dan menyelesaikan ujian semester Pascasarjana (PPs). Saya berusaha agar menyelesaikan semua pekerjaan kantor dan tugas ujian kuliah sebelum akad nikah.
Alhamdulillah atas ijin Alloh SWT, semua dapat terselesaikan pada pukul 17.00 WIB. Sebelum saya meninggalkan kota Atlas (julukan kota Semarang), saya mohon doa pada rekan kantor, kuliah, dan teman kos-kosan untuk kelancaran acara pernikahan saya di Rembang.
Saat saya mohon doa restu kepada mereka, yang terjadi malah terkejut, karena mereka baru mendengarkan kabar gembira tersebut. Mereka menganggap permohonan doa saya adalah guyonan (bercanda). Kata mereka, kapan Agung dekat seorang wanita? Dengan siapa Agung akan menikah? Dapat orang mana? Apa betul menikah di akhir tahun? Dan pertanyaan lainnya.
Anggapan mereka, bahwa saya jarang terlihat di kantor dengan seorang wanita, sedang kuliah, tidak ada tanda-tanda untuk menikah seperti pesan undangan, meng-list teman yang akan diundang, fitting baju, memesan tempat resepsi atau gedung, membeli barang seserahan (hantaran), dan lainnya.
Saya menanggapinya penilain mereka dengan santai saja, karena penilaian-penilain mereka, sebagaimana di atas, sebagian besar sesuai dengan kondisi saya. Saya berpendapat, jika menikah yang direncanakan, maka akan berproses seperti penilaian mereka.
Dalam hati dan pikiran saya, tidaklah demikian. Pengatur hidup terbaik adalah Alloh SWT SWT. Dia, Sang Sutradara the best of best di dunia dan akhirat. Skenario manusia saat menikah itu runtut, mulai dari baju, tempat, waktu, penyajian makan, mobil resepsi, menentukan orang untuk menjadi penerima tamu, pengatur pengajian, acara syukuran, bulan madu, dan lainnya.
Alloh SWT pasti sayang pada hamba. Dia tidak pernah mengecewakan hidup yang telah ditentukan. Dia mengetahui pilihan terbaik untuknya, termasuk waktu pernikahan. Di situlah campur tangan Alloh SWT, saya begitu merasakan. Perencanaan yang sistematis saya dapat melalui dengan cepat, sampai orang mengetahui saya akan menikah di saat sehari sebelumnya, sehingga banyak orang yang terkejut dengan pemberitahuan, bahwa saya akan menikah.
Moment yang tidak terbiasa bagi mereka, menjadikan saya untuk memperbanyak doa, bahwa menikah adalah ibadah. Ibadah itu mudah, tetapi tidak mempermudahnya. Bekal itulah yang menjadi semangat saya, sehingga saya harus membuktikannya kepada mereka.
Satu per satu, mereka mendoakan akan pernikahan saya, mulai dari pimpinan hingga bawahan. Saya memisahkan acara akad dan resepsi ngunduh mantu. Acara akad berlangsung di Rembang, 1 Januari 2012 dan ngunduh mantu di Pemalang, 25 Februari 2012. Jadi saya mengundang mereka di Pemalang.
Tepat pukul 18.00 WIB saya sampai di Kalibanteng (nama tempat) menunggu Bis untuk pulang ke Pemalang, karena orang tua dan keluarga berharap berangkat bersama dari Pemalang, meskipun Semarang nanti saya akan melewatinya.
Perjalanan dari kantor menuju ke Kalibanteng menggunakan sepeda motor diantar oleh teman saya bernama Saeroji. Menunggu bis tidak kunjung tiba, saya memutuskan mencari Alloh SWT dengan solat magrib di daerah sekitar.
Alhamdulillah, saya dan Saeroji menemukan musolla. Tidak ada yang aneh saat saya solat, tetapi melihat kondisi yang sepi di solat magrib menjadi tanda tanya dalam hati saya. Biasaya solat jamaah magrib di musolla itu ramai, tetapi di musolla ini sepi. Setelah saya perhatikan, musolla itu terletak di gapura yang menuju lokalisasi di Semarang. Jadi, wajar jamaah-nya sedikit, bahkan setelah solat, saya melihat seorang perempuan yang berpakaian tidak santun ada di lingkungan tersebut.
Setelah saya solat, saya kembali ke halte untuk menanti bis. Alhamdulillah, atas ijin Alloh SWT, saya mendapatkan bis. Saya langsung naik bis. Ternyata di dalam bis, penuh dengan penumpang. Tidak ada satu pun kursi yang kosong, sehingga saya berdiri. Saya berdiri selama satu jam setengah. Dalam hati saya mengatakan, menikah butuh perjuangan besar. Bayangkan, besok akad (1/1/2012) jam 09.00 WIB. Malamnya (31/12/2011), jam 20.00 WIB saya masih dalam perjalanan pulang Pemalang. Itu pun belum istirahat, menyiapkan baju, makanan, dan perlengkapan lainnya. Hanya satu yang saya persiapkan yaitu hati.
Hati sebagai satu-satunya persiapan yang harus saya jaga konsistensinya. Konsistensinya saya juga dengan cara berdikir dalam keadaan apa pun, seperti menginformasikan kepada teman akan akad nikah, naik sepeda motor, menanti dan berdiri bis, dan keadaan lainnya. Bagi saya dikir itu menghadirkan Alloh SWT.
Pukul 20.30 WIB saya tiba di Pemalang. Rencana pemberangkatan ke Rembang jam 22.00 WIB. Jadi saya istirahat dan menyiapkan hanya satu jam setengah. Tepat jam 21.30 WIB, saya dan keluarga panik, karena Pak dhe Madhun yang bertindak sebagai saksi belum sampai di rumah saya, sebagai tempat pemberangkatan. Kami mencoba menelponnya, bahwa keberadaan beliau kejebak macet keramaian tahun baru di alun-alun kota Pemalang, sehingga kedatangannya terlambat. Mengingat pentingnya peran beliau sebagai saksi, meskipun aktu menunjukkan pukul 22.00 WIB, maka kami menunggunya. Jika kami menjemputnya, maka kami juga belum tentu akan menemukan beliau, yang kondisinya sangat ramai, sehingga kami menunggunya.
Pukul 22.15 WIB, Pak Dhe Madhun datang. Artinya pemberangkatan di mulai. Mas Eko melantunkan adzan, kami semua mendengarkan dan menjawabnya, hingga selesai. Beliau mengakhiri dengan iqomah.
Perjalanan menuju Pemalang hingga Pekalongan lancar, sembari menikmati ramainya orang merayakan tahun baru. Kejadian yang tidak terduga muncul, saat kami Batang, salah satu mobil rombongan bermasalah, sehingga yang menumpangi mobil tersebut dipindahkan ke mobil rombongan lainnya. Mobil yang bermasalah ditinggal di Batang dengan ditunggu oleh sopir dan Om Wiwit.
Pukul 00.00 atau 24.00 WIB, kami sampai Semarang. Rombongan berhenti sejenak, melepas lelah, sambil menikmati pemandangan bintang bercampur kembang api, mendengar suara dor dor dor yang keras, angin yang semilir, dan merasakan minuman hangat, kami bersyukur atas karunianya di tahun baru yang berkah.
Pukul 04.00 WIB (1/1/2012), Kami sampai di masjid Agung Rembang, sebagai tempat solat dan istirahat, sebelum ke rumah mempelai wanita. Kami membersihkan diri dengan wudlu dan berganti pakaian yang lebih rapi dan bersih. Saat itu gerimis, sehingga kami semua dingin dengan keadaan tersebut, terlebih setelah perjalanan malam.
Pukul 06.00 WIB, kami menuju rumah mempelai wanita di Sulang, Rembang. Perjalanan 35 menit dari kota Rembang. Dengan diiringi gerimis dan dikir, saya menenangkan diri, karena akan ada perubahan dalam diri yang besar yaitu menjadi suami.
Pukul 08.30 WIB, kami menuju ke masjid untuk akad, demikian juga rombongan istri ke masjid. Sebelumnya, kami transit di rumah Mba Dede agar kami menyiapkan semuanya. Setelah nyampe masjid, saya berusaha mencari tempat wudlu. Entah apa, kondisi waktu itu, saya susah menemukan tempat wudlu. Saya bermaksud untuk solat tahyatul masjid, namun karena saya tidak menemukannya, saya sendiri tidak mengetahui tata letak masjid dan saya baru mengetahui masjid itu, terlebih saat itu sedang di renovasi. Akhirnya, saya berdiam diri di masjid dan berdikir, sembari menunggu pemulu nikah dan keluarga istri datang.
Tepat pukul 09.00 WIB, pemulu datang dan mengecek administrasi saya dan istri. Saat akad, saya dan istri terpisah, istri berada di rumah pengurus masjid, jadi saya tidak melihatnya. Saya sangat senang dengan suasananya, di mana orang yang menyaksikan akad berpenampilan layaknya orang seperti solat idul fitri, yaitu memakai pakaian yang terhormat, tidak ada orang yang memakai pakaian yang terbuka aurot-nya, bagi yang muslim bersarung dan berpeci, bagi yang perempuan berjilbab dan berkerudung, adanya qiroah sebelum akad, dan nuansa islam lainnya.
Sejak dulu saya menginginkan akad nikah berada di masjid, karena masjid adalah tempat beribadah. Jika tempatnya sudah suci, maka orang yang datang juga menyesuaikan. Orang yang datang ketika masuk masjid, pakaian dan tingkah lakunya harus menyesuaikan. Seorang perempuan yang akan menyaksikan atau menghadiri akad nikahnya secara tidak langsung berpakaian muslimah, minimal berkerudung. Demikian juga tutur katanya, tidak mungkin dia akan berkata yang tidak sopan, apalagi berkata dengan nada yang keras. Selain itu, ada pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan. Tidak bercampur antara keduanya.
Jika keadaan sudah terkondisi dengan cara Illahiyah, maka malaikat-pun turun untuk mendoakan kelancaran akad. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam akad nikah, banyak turun syaitan untuk menggoda, sehingga kita sering mendengarkan kesalahan atau ketidaklancaran dalam akad.
Meskipun background keluarga dan lingkungan istri dalam masalah agama sangat kuat, dalam akad saya tetap menggunakan bahasa Indonesia, karena saya ingin orang yang menyaksikan merasakannya, termasuk keluarga saya yang tidak mengerti bahasa Arab. Memang sunah-nya memakai bahasa Arab, namun dalam hal ini, saya tidak egois untuk mempraktekan itu.
Saya me-lafal-kannya tiap kata dengan pelan. Setiap lafal saya memaknainya, sehingga apa yang diucapkan, masuk ke hati, dan berusaha mempraktekkannya. Oleh karenanya, selain ucapan lisan yang terdengan, air mata juga mengiringi dalam pengucapan sighot akad.
“Saya terima”, artinya bukan orang lain atau orang tua yang menerima nikah atau kawinnya, tetapi saya atau calon suami. Artinya, tanggung jawab istri dan anak kelak ada pada suami setelah akad, sehingga sangat tidak tepat jika ada orang menikah, tetapi orang tua masih mengurusi kelurga anaknya yang telah menikah.
Logikanya, ketika orang memutuskan menikah, maka dia sudah baligh, fisik, akal, dan perasaannya. Jika baligh fisik, Insya Alloh semua orang bisa nikah, tapi baligh akal dan perasaan belum tentu. Itu semua membutuhkan proses.
“Nikah dan kawinnya”, bukan “nikah atau kawinnya”. Secara bahasa memiliki perbedaan. Nikah cenderung pada legalitas hukum di mata Tuhan, sedangkan kawin cenderung pada belum sahnya hubungan antara laki-laki dan wanita, sehingga ada istilah “sudah kawin, tapi belum nikah”.
Benar juga kalimat tersebut, bahkan banyak di kalangan kita, saya juga menyadari hal itu. Istilah kawin cenderung dimaknai hubungan suami istri, sebagaimana istilah kawin di biologi, maka saya lebih suka dengan bahasa nikah. Tetapi untuk akad nikah tetap dengan dua istilah tersebut.
Kata “fulan bin fulan” memiliki arti bahwa kita harus mengetahui nama lengkap calon istri dan orang tuanya beserta maknanya.
Kata “mahar” memiliki arti simbol atau sesuatu yang akan diberikan kepada calon istri. Dalam bahasa indonesia mahar diistilahkan dengan emas kawin.
Kata dibayar “tunai”, memiliki arti pembayaran mahar secara tunai atau kredit. Menurut saya, lebih baik dibayar tunai. Jika dibayar cicil atau hutang, meskipun diperbolehkan dalam agama, maka menjadi beban, meskipun dengan mahar yang memiliki nominal besar. Masa kita akan hutang dengan orang yang akan tidur dengan orang yang seranjang dengan kita, terlebih orang itu selalu ada dalam hidup kita.
Lafal dan pemaknaan seperti itu yang saya artikan. Hal ini saya lakukan agar menyakinkan pada diri dan orang lain bahwa nikah adalah ibadah. Ibadah tidak membutuhkan uang, harta, materi, atau benda yang banyak.
Tidak mudah orang memutuskan untuk menikah, baik seorang laki-laki atau perempuan. Keputusan untuk menikah ada antara keduanya. Tidak bisa keputusan ada di salah satu pihak, karena menikah merupakan pertemuan antara diantara kedua, yang dilandasi rasa keimanan kepada Alloh SWT.
Setelah akad selesai, kemudian langsung doa yang dipimpin oleh Kiai Khozin. Beliau pun berdoa dengan khusuk hingga meneteskan air mata. Saya pun meneteskan air mata, mengingat kesalahan-kesalahan pada orang tua, kerabat, atau teman. Saya menyebutnya “air mata sedap”, air mata yang terasa nikmat. Ibaratnya, jika orang makan yang lauknya mahal, tetapi belum tentu sedap. Demikian juga air mata yang jatuh pada saat itu. Bukan air mata yang terasa biasa. Isi di dalamnya terasa senang, tenang, nyaman, lega dan syukur atas kelancaran semuanya.
Setelah doa selesai. Alhamdulillah tidak ada satupun orang yang bertepuk tangan, Saya didampingi oleh keluar menjemput istri di rumah samping masjid, sembari diiringi solawat nabi Muhammad SAW.
Acara selesai pukul 10.00 WIB, saya dan istri naik mobil innova new yang masih ada plastik di jok kursi, dalam hati bertanya sangat kaya keluarga istri saya. Ternyata, setelah tanya mobil pinjaman. Wah rejeki, mobil baru mengantarkan saya.
Bagi saya menikah itu seperti jodoh seperti rejeki. Saya mengenal istri tahun 2003 sebagai teman kuliah yang beda Fakultas dan hanya bertemu saat pengajian. Jarang komunikasinya hingga lulus (wisuda) ditahun 2006, bahkan tidak ada kontak setelah wisuda. Di sinilah letak Kun Faya Kun Alloh, jika Alloh SWT berkehendak, maka terjadilah.
Atas ijin-Nya kami dipertemukan di forum pada bulan Agustus 2012, kemudian komunikasi berlanjut hanya lewat HP. Saya mengatakan kepadanya, saya tidak akan pacaran, tetapi menikah. Saya berusaha mengenalkannya ke keluarga saya, sebaliknya dia bermusyarah dengan keluarganya.
Bulan November 2012, keluarga saya bersilaturahmi ke keluarga istri untuk meminangnya, kemudian memutuskan menikah pada tahun baru. Rencana, bukan pada tanggal 1 Januari 2012, tetapi karena misal dimajukan atau dimundurkan ternyata, saya dan istri tidak bisa, maka tanggal yang tepat adalah hari libur yaitu tahun baru masehi. Jadi saya dan keluarga datang ke Rembang dua kali, pertama yaitu meminang (khitbah) dan kedua yaitu melangsungkan akad. Selebihnya, tidak ada pertemuan di antara kedua keluarga.
Segala upaya yang saya lakukan untuk mendapatkan jodoh tidaklah mudah. Justru dengan dikir, solat sunah, sedekah, membaca al Qur’an dan puasa dawud dapat menghadirkan jodoh.
Kebanyakan orang mencari jodoh, tidak jalan seperti itu. Lebih mementingkan pikiran dan tenaga, sehingga saat pikiran dan tenaga itu berhenti, maka gagallah pernikahan itu. Dengan bekal keimanan, nikah cepat terwujud. Ada Alloh SWT yang membantunya. Dia yang menentukan pasangan terbaik kita, kapan dan di mana kita akan menjemputnya, Tugas kita hanyalah menyakini akan kebenarannya dan melaksanakannya dengan penuh harap serta doa pada-Nya. Semakin kita yakin, berdoa, beramal solih, dan berbuat baik kepada orang lain, maka semakin dibuka jodoh dan rejeki kita. Jika itu gagal, semata-mata Alloh SWT belum memberikan yang terbaiknya dan akan memberikan yang lebih baik. Jika kita berharap pada manusia, maka patah hati dan kecewa yang diperolehnya. (waallohu ‘alam bisshowab).
Agung Kuswantoro, pegiat mahasiswa mengaji dan forum sinau nulis, email agungbinmadik@gmail.com
Tahun Baru : Perjalanan Menuju Akad
15 Apr 2014 Tinggalkan komentar