Taraweh Dua Puluh Delapan: Mempertahankan Ibadah
Pada malam kedua puluh delapan di bulan Romadlon, saya berada di kampung halaman (Pemalang). Saya tiba di rumah jam 18.30 WIB dari perjalanan yang memakan waktu kurang lebih enam jam, berawal dari kota Atlas (Semarang). Perjalanan tersebut sangat lama, karena adanya pengalihan jalur. Akibat jembatan Comal amblas.
Karena saya baru datang, sehingga solat Isa, taraweh dan witir dilakukan di rumah. Itu pun melaksanakannya jam puluk 21.10 WIB. Mengingat saya harus membersihkan diri terlebih dahulu, yaitu mandi dan istirahat sejenak.
Untuk malam ini, saya solat munfarid untuk solat Isya, taraweh, dan witir. Terasa beda dalam melakukannya, karena selama malam pertama hingga kedua puluh tujuh, saya selalu melakukan berjamaah, bahkan menjadi Imam di musolla Pak Bahrul.
Saya menyadari dan menpercayai, bahwa perjalanan adalah salah satu azab. Ajaran itu yang disampaikan oleh guru saya waktu mengaji. Sehingga, mudik termasuk di dalam kategori azab. Misal, dalam perjalanan kita merasa lapar dan capai. Sehingga malas untuk beribadah kepada Alloh SWT.
Di dua hari terakhir di bulan Romadlon, saya mencoba merefleksikan diri berdasarkan isi khutbah Jumat pada hari itu, yaitu untuk mempertahankan ibadah Romadlon, sebagaimana pada awal bulan tersebut.
Tantangan terberat adalah menjaga ibadah di akhir bulan Romadlon. Di saat itu, orang disibukkan dengan mudik, menyiapkan lebaran, dan kegiatan keluarga seperti halal bi halal. Sehingga, kadang manusia dengan mudah meninggalkan ibadah-ibadah tersebut. Atau, kadar ibadah menjadi berkurang, karena kesibukan menjelang idul fitri. Padahal di akhir bulan Romadlon, dianjurkan untuk itikaf, baca quran, solat lail, dan lainnya. Sehingga, pahala pada akhir bulan tersebut sangat besar, karena tantangannya lebih banyak dibanding dengan awal bulan Romadlon.
Dari refleksi itu, saya berusaha menjaga kualitas ibadah di bulan Romadlon. Meskipun, saya sudah tidak bertugas menjadi imam. Namun, dengan semangat perjuangan sebagaimana di Semarang, saya akan terapkan di Pemalang yang penuh tantang lebih berat.
Saya pun berdoa, semoga posisi imam dan kultum khotib yang saya lakukan dapat diteruskan oleh Pak Bahrul dan Pak Dian yang berada di Semarang. Karena, kedua tidak mudik ke kampung halaman. Saya selalu menyemangati mereka untuk melanjutkan perjuangan membangun peradaban di perumahan. Sebenarnya, solat taraweh berjamaah berakhir di malam dua puluh tujuh, karena saya pulang kampung. Namun, karena ada permintaan dari warga sekitar agar tetap dilanjutkan solatnya. Saya pun berharap dan men-suppot kepada Pak Bahrul dan Pak Dian untuk bekerja sama untuk melanjutkan solat berjamaah tersebut.
Demikian teman-teman cerita taraweh saya di hari malam kedua puluh delapan di kampung halaman. Semoga cerita ini menjadi motivasi kita untuk berbuat baik. Dan, jauhkan rasa kesombongan diri kita. Saya menuliskan cerita ini sebagai doa, tidak bermaksud ria atau pun yang lainnya. Mudah-mudahan kita semua menjadi manusia pembelajar di lingkungan kita. Semoga Alloh mengampuni dosa kita semua di bulan yang penuh berkah. Amin
Agung Kuswantoro, warga Perum Sekarwangi Sekaran Semarang, email : agungbinmadik@gmail.com
Taraweh Dua Puluh Sembilan: Mohon Diijinkan Dipertemukan Lagi
Pada malam kedua puluh sembilan merupakan malam terakhir solat taraweh di tahun 1435 Hijriah. Tahun ini terasa berbeda dengan tahun sebelumnya. Bagi saya, tahun ini adalah tahun pembelajaran terjun di masyarakat dengan berbuat baik melalui ilmu yang saya dapatkan di waktu dulu. Alhamdulillah, saya oleh warga dipercayai menjadi imam, khotib kultum, dan pemateri untuk buka puasa bersama di perumahan. Pengalaman pertama dan sangat berarti dalam kehidupan saya. Saya menjadi banyak membaca kitab dan karakter jamaah yang berbeda-beda untuk mengajak kebaikan dan beribadah kepada Alloh SWT.
Pada malam itu saya solat taraweh di rumah secara munfarid. Mengingat, saya juga bergantian menjaga anak saya. Saya solat di rumah sembari mengajarkan anak tentang solat. Saya mengeraskan bacaan solat sebagaimana solat berjamaah, meskipun solat yang saya lakukan adalah munfarid. Terlihat dia mendekat ke sajadah saya untuk menyentuh dan mencoba naik di punggung saya saat sujud.
Sepintas mengganggu solat saya, tetapi saya senang. Karena, dia sudah mencoba belajar sedikit mengenai gerakan solat. Pola yang saya lakukan, sebagaimana pola yang saya lakukan saat menjadi imam di musolla Pak Bahrul. Saya pun membilali dan berdoa sendiri, seperti doa solat taraweh dan dikir setelah solat witir.
Saya berdoa, semoga hal yang sama dilakukan di musolla Pak Bahrul. Pak Bahrul dan Pak Dian melakukannya bersama dengan jamaah lain untuk bersama-sama melanjutkan belajar terjun di masyarakat dengan solat berjamaah.
Demikian teman-teman cerita taraweh saya di hari malam terakhir bulan Romadlon tahun 1435 Hijriah di kampung halaman. Semoga cerita ini menjadi motivasi kita untuk berbuat baik. Dan, jauhkan rasa kesombongan diri kita. Saya menuliskan cerita ini sebagai doa, tidak bermaksud ria atau pun yang lainnya. Mudah-mudahan kita semua menjadi manusia pembelajar di lingkungan kita. Semoga Alloh mengampuni dosa kita semua di bulan yang penuh berkah. Amin
Agung Kuswantoro, warga Perum Sekarwangi Sekaran Semarang, email : agungbinmadik@gmail.com