Meninggalnya terpidana mati kasus narkoba atau orang menyebutnya gembong narkoba yaitu Freddy Budiman menjadi pembelajaran buat kita semua, bahwa setiap orang pasti merasakan kematian. Allah mengatakan setiap yang bernafas pasti akan merasakan kematian.
Kematian Freddy Budiman menjadikan saya berpikir bahwa sebenarnya kita sama seperti beliau. Hanya saja, kematian kita belum diberitahukan kepada kita secara detail waktunya. Kematian kita masih dirahasiakan oleh Allah. Membayangkan saya adalah Freddy Budiman (terlepas dari kasus narkoba) maka pilihan saya ada dua yaitu frustasi atas putusan vonis mati dari hakim atau mendekatkan diri kepada Allah.
Berdasarkan informasi yang saya dapat bahwa ada terpidana yang sangat gundah hatinya saat divonis mati. Segala upaya dilakukan oleh pengacara dan keluarganya agar bebas dari hukuman mati. Secara naluri memang wajar manusia tidak menginginkan kematian. Khairil Anwar saja dalam sajaknya mengatakan aku ingin hidup seribu tahun lagi. Bahkan di negara tertentu kematian harus dihindari dengan membuat rumah bangker (rumah bawah tanah).
Berbeda kisahnya dengan Freddy Budiman. Saya sangat salut detik-detik vonis mati Freddy Budiman dimana beliau menjadi muallaf atau masuk agama Islam. Kemudian, belajar mengaji hingga mengkhatamkan al Quran, rajin solat baik wajib dan sunahnya, pakaiannya menjadi agamis dengan berjubah warna putih, berpeci, berjidad hitam dua di keningnya dan terakhir beliau ingin dimakamkan dekat dengan ayahnya di Surabaya dengan cara islam.
Vonis mati dari pengadilan yang menjatuhkan Freddy Budiman menjadikan beliau memilih jalur taubatan nasuha. Dulu, ia adalah pemakai, pengedar, dan bandar narkoba. Bahkan tidak hanya itu, beliau adalah sering berhubungan atau berganti pasangan hidupnya alias pacarnya. Ia memilih diakhir hayatnya dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Keputusan beliau yang diakhir hayatnya memilih beristigfar dan tidak mengulangi kembali atas dosa yang pernah ia lakukan menjadi pembelajaran buat kita. Belum tentu kita, mati dalam keadaan bertaubat. Mungkin saat ini kita merasa nyaman dengan keadaan kita sekarang. Mengapa demikian? Karena kita masih memliki kekayaan, keluarga, teman, pekerjaan, jabatan, dan sesuatu yang bernilai di dunia ini.
Komaruddin Hidayat mengajarkan kepada kita bahwa kematian harus kita sambut dengan senang hati, layaknya kita akan pulang kampung saat mudik atau layaknya kita menginginkan pulang saat jam pulang kantor. Atau juga saat anak sekolah yang menanti kapan jam pulangnya. Itulah hakikat kematian. Kematian harus disambut dengan bahagia. Kebahagiaan ini diwujudkan dengan mengucapkan salam kepada malaikat izroil dan salam kangen kepada Allah yang akan menjemput kita di Surga, karena kita akan kembali kepada yang punya yaitu Allah.
Bekal kita untuk pulang pastilah amal, bukan berapa jumlah kekayaan kita saat di dunia atau status kita saat hidup di masyarakat. Atau pula pekerjaan apa sewaktu kita hidup di dunia. Bekal seperti solat, zakat, puasa, dikir, baca al quran, berbuat baik kepada keluarga, teman, dan masyarakat sebagai ladang ibadah saat di dunia.
Orang yang dalam perjalanan pasti butuh bekal agar dalam tempat yang dituju merasa nyaman dan tenang. Orang yang akan pulang pun butuh bekal agar dalam perjalanan lancar. Demikian juga kematian, butuh bekal agar kematian kita tenang. Bekal yang terbaik menuju Allah adalah amal soleh waktu kita di dunia.
Mungkin perasaan itu ada dalam diri Freddy Budiman yang merasakan akan kepulangannya kepada TuhanNya yaitu Allah. Beliau begitu siap menjemput kematian. Saat dikunjungi oleh saudaranya, tidak ada tangisan di matanya. Ia sudah tenang dengan kehidupan saat ini. Ia melupakan masa lalunya dan bertobat.
Kita yang sekarang masih diberi kenikmatan, mungkin tidak kepikiran dan bahkan tidak ada pemikiran kapan kita akan meninggal, sehingga tidak ada upaya untuk mengumpulkan amal soleh. Kita masih bebas dengan perbuatan kita saat hidup di dunia. Merasa berbuat dosa mungkin tidak, apalagi beritigfar.
Ada sebuah kisah yang diceritakan oleh kiai saya saat saya mengaji (sumber belum saya cari) dimana ada perdebatan antara malaikat yang mencatat amal baik dan buruk seorang hamba. Dimana hamba tersebut adalah hamba yang dulunya jago maksiat. Maksiat apa saja ia lakukan. Suatu ketika atas ijin Allah, dia bertobat. Kemudian, suatu hari ia meninggal dunia setelah pertobatannya. Ia meninggal dalam keadaan menuju tempat ibadah. Kemudian, malaikat baik dan buruk berdebat mengenai amal si hamba tersebut. Akhirnya, atas ijin Allah diputuskan penentuan sumber amal baik buruk hamba yang meninggal tersebut diukur dari berapa jauhnya ia meninggal dari tempat ibadahnya atau tempat maksiatnya. Karena Allah sudah mengampuni dosa-dosanya di masa yang lampau. Pengukuran tersebut dihitung dari rumah hamba tersebut.
Sekali lagi atas ijin Allah, ia meninggal dalam keadaan amal baik. Bayangkan coba, padahal secara waktu selama hidupnya ia banyak maksiat kepada Allah, namun saat Allah memanggilnya untuk pulang ke rumahnya, ia dalam keadaan iman dan islam dengan bekal amal soleh. Ia sudah menyiapkan kepulangannya kepada Allah.
Inilah yang saya perlu kita jaga amal dan keimanan kita. Memang iman sifatnya naik dan turun, oleh karenanya tugas kita menjaga agar konsisten menyembah dan mengamal baik kepada sesama. Allah tidak memberikan kita informasi kapan kita akan pulang. Nabi Muhammad Sendiri tidak mengetahui kapan wafatnya, hingga malaikat Izroil pun meminta ijin kepada Nabi Muhammad bahwa ia datang diutus oleh Allah untuk mencabut nyawanya.
Semoga cerita ini bisa meningkatkan dan membangkitkan keimanan dan amal soleh kita. Perbanyak istigfar dan ampunan kepada Allah atas dosa kita yang lalu, baik yang kecil atau besar. Coba bayangkan, jika kita pulang namun kita tidak punya bekal? Apa yang terjadi? Kita tidak tenang, ya pasti tidak tenang karena kita tidak memiliki sesuatu yang akan dibawa saat yang memiliki kita menanyakan waktu selama kita hidup di dunia. Waallahu ‘alam
Perjalanan ke Bali
31 Juli 2016