Berkreasi Dan Cerdas

Berkreasi Dan Cerdas

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Luar biasa sekali Prof. Dr. Imam Suprayogo, pemikirannya dalam buku yang saya baca. Buku tersebut berjudul Masyarakat Tanpa Ranking. Masalah-masalah keseharian yang dijumpai di masyarakat, ia tulis mulai dari masalah kepemimpinan, sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan permasalahan di sekitar kita.

 

 

Saat saya membaca artikel yang berjudul “Doktor Berselimut” begitu terasa sekali. Jumlah Doktor yang banyak ternyata masih “malu-malu” dalam berkarya, mulai dari buku, artikel, ataupun jurnal. Cobalah lihat ke toko buku, perhatikanlah penulis-penulisnya. Jumlah orang yang bergelar Doktor, masih minim. Padahal, jumlah Doktor saat sekarang sudah banyak di Perguruan Tinggi.

 

 

Ia membandingkan saat eranya kuliah strata S3 di Universitas Airlangga (UNAIR). Ia satu-satunya dosen di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang ambil studi program Doktoral. Oleh karenanya, saat ada yang tanya, siapa yang kuliah Doktoral? Semua orang bisa menjawabnya yaitu Bapak Imam Suprayogo.

 

 

Kembali mengenai Doktor Berselimut. Melalui pendapatnya, saya jadi berpikir, menjadi orang yang “berkreasi” dan “cerdas” ternyata pilihan. Tidak harus menunggu bergelar Doktor. Buktinya, banyak penulis artikel atau buku belum bergelar Doktor. Namun, mereka rajin dan disiplin untuk belajar. Apalagi menulis tiap hari. Luar biasa sekali!

 

 

Menjadi “cambuk” artikel yang ditulisnya. Saya berdoa dan berharap sahabat dan guru saya tidak termasuk dalam kategori Doktor Berselimut. Malulah rasanya. Mari kita memilih menjadi orang yang “berkreasi” dan “cerdas” dalam hidup ini.

 

 

Semarang, 30 April 2017

 

Dipecut “Dosen Malas” Oleh Pak Ali Gufron Mukti

Dipecut “Dosen Malas” Oleh Pak Ali Gufron Mukti

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Ali Gufron Mukti adalah Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kemristekdikti. Ia juga pernah menjabat Wakil Menteri Kesehatan Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Ia adalah pakar Jamkesmas dan pernah menjadi dekan termuda di Fakultas Kedokteran UGM saat berusia 46 tahun.

 

 

Ia yang mengatakan kepada “saya” (asumsinya: saya sedang berkomunikasi dengannya) bahwa “para dosen malas. Kemenristekdikti: penelitian kita minim se-ASEAN”. Ucapannya sangat  “menusuk” hati saya sebagai dosen. Saya penasaran, mengapa ia berucap seperti itu?

 

 

Sumber informasi tersebut saya dapatkan dari https://nasionaltempo.co.id tanggal 21 April 2017. Sumbernya valid, dimana isinya kurang lebih seperti ini “Jurnal internasional universitas di Indonesia yang dipublikasikan baru 5.499 jurnal ilmiah. Malaysia mencapai 25.350 jurnal ilmiah, dan Thailand mencapai 12.000 jurnal ilmiah. Sehinga logis bahwa, jurnal ilmiah Malaysia lebih banyak dari Singapura, karena dosennya lebih banyak. Tapi, Indonesia yang dosennya lebih banyak, jurnal internasionalnya lebih sedikit dari Malaysia. Apalagi, dengan julah dosen di Singapura. Ngenes! Tak bisa berkata, saya! Terlebih yang berkata adalah pejabat saya dari Kementerian.

 

 

Seakan-akan, ia berbicara kepada saya bahwa saya adalah malas. Terasa dipecut olehnya. Datanya jelas dan valid mengenai jumlah publikasi ilmiahnya. Jika sudah posisi ini, mau apa? Mau berdebat? Bukan, saatnya. Mau, marah? Yang memarahi kita dari kementerian, kok? Lalu, bagaimana? Saya, punya cara, yaitu mengevaluasi diri sendiri.

 

 

Saya adalah dosen yang baru diangkat PNS di tahun 2015. Posisi hingga saat ini adalah PNS dengan TMT 1 Desember 2016. Masih “umuran baru lahir jadi dosen”. Saya  belum punya pengalaman yang banyak mengenai Tri Dharma Perguruan tinggi. Mencoba untuk mencerna ucapan dari Pak Ali Gufron Mukti. Kenapa ya, ia mengatakan “Dosen malas” dengan indikator minim penelitian dan publikasi? Sehingga Kemenristekdikti membuat peraturan nomor 20 tahun 2017 tentang Penelitian. Dimana, setiap professor dan lektor kepala diwajibkan menulis  jurnal ilmiah yang dipublikasikan di tingkat internasional.

 

 

Lalu, muncul pertanyaan, apakah meneliti itu susah? Padahal, meneliti bagi dosen adalah tugas utama (fungsi)nya. Namun, kenapa kok sedikit yang meneliti? Kita masih berbicara kuantitas (jumlah) yang melakukan penelitian, belum kualitas (mutu) penelitian.

 

 

Pengalaman saya, saat ini adalah bahwa membuat proposal penelitian juga termasuk budaya akademik. Budaya akademik munculnya dari individu dosen. Tiap dosen punya “gairah” atau “nafsu” meneliti. Membuat proposal – menurut saya – tidaklah mudah. Terlebih, agar orang terpikat untuk membaca atas proposal tersebut. Dibutuhkan referensi yang banyak dan jurnal-jurnal penelitian yang relevan pula. Jadi, harus banyak “melahap” nutrisi buku dan jurnal akademik yang bergizi pula. Bukan, asal “copy paste” dari internet.

 

 

Dalam pembuatan proposal penelitian dibutuhkan pula, grand design atau kerangka penelitian yang akan dilakukan. Tidak asal membuatnya. Jangka waktu dan biaya harus diperhatikan dalam proposal itu.

 

 

Karena susah itulah menurut saya, harus direncanakan dan dibudayakan bagi dosen di lembaganya. Maaf, bukan asal untuk dikerjakan atau dibuat. Tiap dosen harus menanamkan itu dulu. Terlebih, bersifat akademik. Unsur plagiat, jangan sampai terjadi. Apalagi (maaf) dibuatkan tim dari kelompok orang lain untuk membuat proposal penelitian. Menurut saya kurang tepat jika ada kasus tersebut. Karena proposal penelitian bersifat akademik (logika harus bermain), bukan copy paste, atau unsur “ketidak enakan” ada dalam pembuatan proposal penelitian. Jika ada, pasti  hasilnya tidak sepenuh hati dari yang membuat proposal penelitian tersebut.

 

 

Pengalalaman saya, hingga saat ini baru “tembus” proposal penelitian tingkat universitas di kampus saya sendiri. Itu pun dikompetisikan. Rasanya, susah sekali membuat proposal penelitian itu. Jangankan (maaf) memuat proposal penelitian untuk orang lain, untuk diri sediri saja, saya merasa “berat” sekali, karena intelektualitas yang diutamakan. Bukan, asal dapat uang untuk tambahan kesejahteraannya.

 

 

Wajarlah, jika jurnal ilmiah internasional yang dihasilkan oleh dosen Indonesia itu sedikit, karena susah membuat proposal penelitian. Lalu, di Malaysia dan Singapura kenapa banyak? Padahal dosen jumlahnya lebih banyak Indonesia? Jawabnya, sebagaimana Pak Ali Gufron Mukti, yaitu malas. Malas bagi orang intelektual untuk membuat proposal, terlebih mempublikasikan. Buat proposal penelitian saja tidak, apalagi ada publikasi atas hasil penelitiannya. Atau (maaf), pembuatan saja dengan cara “tertentu”, maka hasilnya pun tidak maksimal.

 

 

Rasanya “adil” jika itu yang mengatakan Kementerian sekelas Ali Gufron Mukti, publikasinya banyak, jasa ke negara juga tinggi, dan pengabdian ke negara sangat tulus. Malulah, saya. Sekarang, menata diri. Belajar nulis ilmiah yang bagus. Menulis diperdalam lagi. Membaca buku dan jurnal diperbanyak. Itu  tugas saya selanjutnya, agar 10 tahun lagi, Kementerian tidak berkata kepada saya yaitu dosen malas.

 

 

Catatan: tulisan untuk koreksi diri sendiri, bukan untuk menyindir orang lain. Semata-mata untuk perbaikan kita sebagai dosen di waktu yang akan datang.

 

 

Semarang, 26 April 2017

Menghormati Masa Lalu

Menghormati Masa Lalu

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Tiap orang pasti memiliki masa lalu. Ada yang masa lalunya itu menyedihkan atau kegalauan. Ada juga yang bahagia. Biarlah masa lalu berjalan apa adanya. Saat kita sekarang masih hidup, seakan-akan masa lalu itu seperti melihat kaca spion saat kita naik kendaraan. Cukup dilihat saja, jangan membalik untuk mengulanginya. Terlebih kisahnya memilukan atau menyedihkan.

 

 

Dulu menangis, sekarang  tersenyum. Saat keadaan sekarang tersenyum, sedangkan keadaan masa lalunya menangis, maka cukup sekedar mengingatkan saja. Atau, menghilangkan masa lalu yang menyedihkan dengan “mengelap kaca spionnya”, sembari berdoa, “Ya Allah berilah kekuatan kepada saya untuk melangkah kehidupan. Biarlah aku bersihkan spion ini, hanya melihat masa laluku, namun aku akan berjalan dengan kendaraan dengan hati-hati. Sesekali melihat spion, agar tidak terjerumus pada masa lalu yang kelam. Agar aku bisa berjalan lancar dan selamat”.

 

 

Mari hargai masa lalu kita. Jangan ejek masa lalu kita. Jelek biarkan masa lalu jelek, asalkan ke depannya tidak jelek lagi. Kita berkendara (naik kendaraan), pasti ada yang melihat. Saat masa lalu jelek, maka orang lain pun melihat kejelekan kita dulu. Tak apalah jika sudah terjadi. Yang terpenting, jangan sampai masa lalu jadi “hantu” untuk takut berjalan ke depan. Yang pernah melihat masa lalu atas kejelekan seseorang, janganlah diceritakan atau diumbar kepada orang lain. Doakanlah, semoga ke depan akan ada masa depan yang menyenangkan. Amin.

 

 

Jatinegara, 23 April 2017

“Pengelola” Arsip Pun Berkonferensi

“Pengelola” Arsip Pun Berkonferensi

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Menata arsip tidaklah mudah. Dibutuhkan kebijakan, pedoman, dan sumber daya yang mendukungnya. Jika melihat bendanya, maka arsip menjadi objeknya, sedangkan orang yang mengelola adalah subjeknya. Jadi, orangnya (baca: pengelola arsip) perlu berkumpul untuk berbicara arsip di lembaganya.

 

 

Lembaganya adalah perguruan tinggi. Perguruan tinggi adalah “replika” ANRI dalam mengelola arsip di tinggat Negara. Dikatakan “replika” karena tugasnya mirip dengan ANRI, karena mengelola arsip statis perguruan tinggi.

 

 

Perguruan tinggi memiliki kategori yang berbeda-beda. Ada yang sudah PTN Badan Hukum, akreditasi A, dan akreditasi B. Belum lagi sudah ada yang lembaga yang membentuk UPT Kearsipan, dan ada pula yang masih bergabung dengan Tata Usaha.

 

 

Ternyata, “pengelola” arsip tak sekedar berkonferensi tetapi juga berkumpul untuk saling memberikan kekuatan yang ada lembaganya. Sehingga perlu nama yang tepat mengenai komunitas atas perkumpulan tersebut. Adapun namanya Perkumpulan Arsip Perguruan Tinggi. Konferensi ini memberikan manfaat yang besar bagi saya. Selaku pengelola arsip perguruan tinggi. “Suntikan semangat” untuk kembali mengatur dan menata arsip-arsip perguruan tinggi.

 

 

Terima kasih ilmunya kepada para pembicara yang special yaitu Bapak Mustari dan Bapak Nanang, dan pembicara lainnya (lupa namanya yang ari Kemenristekdikti dan KemenPAN-RB. Moderatornya sangat bijak yaitu Bapak Ade Soebandi. Bu Anon, pemikirannya sangat luas terkait kearsipan. Beliau tidak hanya berbicara teknis mengelola kearsipan, tetapi konsep-konsep dan kaidah-kaidah kearsipan.

 

Demikian kesan saya dalam konferensi nasional kearsipan pada tanggal 21 April 2017 di UNPAD. Semoga bisa saya aplikasikan di lembaga saya. Dan “virus” dalam penata arsip selalu “membara” dalam mengelola arsip di perguruan tinggi.

 

Semarang, 23 April 2017

Nenek, Sakit, Anak, dan Pekerjaan

Nenek, Sakit, Anak, dan Pekerjaan

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Setiap kali anak sakit atau hanya imunisasi, saya berusaha mengantarkannya. Bahkan, dapat dikatakan selalu mengantarkannya. Karena, tidak tega istri kewalahan repot membawa anak. Belum lagi barangnya. Terlebih tempatnya agak jauh, sehingga butuh supir untuk mengantarkannya.

 

 

Setiba di klinik, ada banyak sesuatu yang menarik. Ada “Pemandangan” yang menarik di klinik tersebut yaitu anak, nenek, orang tua, dan tante. Suatu ketika, ada orang tua – umurnya kurang lebih 50 tahunan – menghampiri dan mengajak cerita kepada saya. Berikut percakapannya kurang lebih seperti ini:

 

 

Ibu       : “Anaknya sakit, ya Mas?”

Saya     : “Iya Bu, panas dan batuk! Lalu saya bertanya, “Putri, Ibu sakit apa?”

Ibu       : “Ini, bukan anak saya. Ini cucu. Bapak dan ibunya kerja. Kedua, berangkat malam”.

Saya     : Diam dan tersenyum, sembari melihat anak yang sakit digendong Ibu tadi.

 

 

Jadi, ada nenek yang mengantarkan cucunya sakit ke klinik, dimana kedua orang tuanya sedang bekerja malam hari. Melihat kejadian ini, hati saya berkata “makjleb” dan cukup melihat tatapan mata anak yang sakit saja, merasa iba untuk menahan sakitnya.

 

 

Pastinya, saya tidak memahami apa yang terjadi, namun hanya membatin betapa, sakit anak tersebut. Tangisannya butuh perhatian. Bahasa saya, mengatakan seperti itu.  Malam itu, anak tersebut dalam posisi “yatim kasih sayang”. Karena kasih sayangnya bergeser dari orang tua ke neneknya.

 

 

Saya tidak tahu, jika saya sebagai orang tua dalam posisi itu. Pastinya, saya harus ambil keputusan. Antara bekerja atau ngemong. Dimana, ada dua pilihan harus pilih  salah satu. Pasti, ada konsekuensinya.

 

 

Rumusnya adalah jika bekerja, maka dapat uang, lalu kaya, tetapi anaknya tidak bersama dengan saya. Jika momong, maka saya tidak dapat uang, lalu hidup dalam keterbatasan material (baca: uang pas-pasan, bahkan kurang), tetapi anak bersama saya.

 

 

Jika rumus itu dilanjutnya, maka muncul dampak. Kurang lebih seperti ini. Jika anak tidak bersama saya, maka kasih sayang akan di “alihkan” ke orang lain. Siapa orang lain? Nenek, pembantu rumah tangga, atau penitipan anak. Hilanglah kasih sayang saya (baca: orang tua) kepada saya. Lalu, lidah anak akan kaku memanggil nama saya, selaku orang tuanya. Anak akan memanggil nama yang mengasihinya, yaitu nama nenek, nama pembantu rumah tangganya atau nama pengasuh di sekolah titipan anak.

 

 

Kemudian, jika anak saya momong (baca: tidak bekerja), maka anak ada ditangan saya. Kasih sayang 1001% bahkan tak terhingga kasih sayangnya. Mau marah, karena repot, tetapi saat melihat wajah anak, jadi tidak jadi marah.  Karena hak mereka untuk nangis, jadi saya tidak  marah. Saat sakit, saya bisa mengantarkannya, saat butuh kasih sayang, yang disebut nama saya. Kurang lebih kondisinya seperti itu.

 

 

Itulah rumus sederhana saya, jadi logis dalam kehidupan. Kejadian ini, sangat bertolak belakang saat saya baca buku bernama al qur’an, dimana ada kewajiban anak dan orang tua. Pernah saya tulis kewajiban orang tua bisa dibaca ulang tulisannya. Justru, tidak ada peran nenek saat kejadian seperti itu. Yang dibutuhkan hanya kasih sayang anak.

 

 

Bingung saya melihat fenomena ini. Al qur’an sebagai pedoman hidup saya, harus saya yakini dan aplikasikan. Konsekuensinya, saya pilih anak saya momong sendiri. Nenek beribadah dengan rajin, tahajud yang kuat, witir yang banyak, dhuha yang full rokaatnya yaitu dua belas rokaat, dan baca al qur’an hingga khatam berkali-kali.

 

 

Repot? Ya, pasti! Konsekuensinya itu. Itu pilihan. Hidupku adalah hidupku. Hidupmu adalah hidupmu. Mari kita berdampingan dalam memandang kehidupan ini. Nenek punya peran. Sakit itu proses. Anak adalah amanah. Dan, pekerjaan adalah kewajiban. Semua orang itu melakukannya. Tolong tambahi dalam permasalahan ini yaitu libatkan Allah dalam kehidupan kita dan perbanyak berpikir, seperti apakah saya seperti ini sudah benar? Dampaknya bagaimana? Yuk, kita gunakan hati kita. Jangan selalu akal, karena akal ada tempatnya, bahkan ada sekolahnya mulai dari sekolah dasar, hingga perguruan tinggi (Strata tiga). Wa’allahu’alam.

 

 

Semarang, 19 April 2017

Terlambat Mengagumi Sosok Prof. Imam Suprayogo

Terlambat Mengagumi Sosok Prof. Imam Suprayogo

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Akhir tahun 2016, saya bergabung dalam komunitas Sahabat Pena Nusantara (SPN). Komunitas ini berisikan “pendekar” menulis. Saya yang awalnya, hanya menyukai dunia baca-tulis, kemudian, mengenal sosok M. Husnaini melalui karya bukunya dan tulisan dari Koran menjadikan saya mengikuti jejak dan pemikirannya. Sehingga, pada suatu “titik” dimana saya diberi kesempatan bergabung di komunitas SPN.

 

 

Salah satu sosok yang “masbuq” atau terlambat saya kagumi adalah Prof. Dr. Imam Suprayogo, M.Si. Ia adalah mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (1997-2013). Ia sangat produktif menulis seusai sholat subuh berjamaah di masjid, dan membaca al qur’an. Menulis setiap hari, tanpa jeda sehari pun, hingga pada tahun 2009 – tepatnya 22 Juni 2009 – mendapatkan rekor MURI karena konsisten menulis di blog selama setahun, tanpa jeda. Kemudian, pada 15 Juni 2011 kembali meraih rekor MURI karena konsisten menulis setiap hari selama tiga tahun. Luar biasa!

 

 

Buku saat ini yang saya baca berjudul Masyarakat Tanpa Rangking dengan Penyunting M. Husnaini. Tulisannya, sangat berisi, bergizi, enak dibaca, renyah, gurih, empuk, dan menusuk. Tema-tema dalam yang ditulis ada pada lingkungan sekitar mulai dari kepemimpinan, masyarakat, pendidikan, Perguruan Tinggi, sosial, dan lainnya.

 

 

Makjleb. Saya membacanya. Biasanya , professor mengulasnya dengan bahasa “langit” atau tinggi dalam penyampaiannya. Namun, saya membaca buku ini terasa ringan. Padahal  itu masalah bangsa. Misal kepemimpinan atau Pilkada. Ia menyajikannya sangat detail dan selalu ada hikmah dan apa yang terlihat di mata kita. Jadi tidak asal melihat suatu kejadian, tetapi ada value yang harus diambil dalam kehidupan ini agar selamat dunia ahirat.

 

 

Tulisan-tulisannya memberikan petunjuk kepada saya – pembaca – agar tidak melakukan yang tidak baik, dimana contoh-contoh itu ada disekitar kita. Kita disuruh untuk semangat dalam menjalani kehidupan. Jangan pesimis dalam hidup ini. Beliau yang Rektor saja, bisa menghasilkan tulisan tiap hari. Bayangkan tiap hari, untuk sekelas rektor. Lha kita, belum jadi rektor saja, sudah sok sibuk. Ditanya mana tulisanmu? Jawabnya saya sudah mengajar puluhan tahun. Lha, mana karyanya? Ini penting sekali buat pembelajaran kita semua.

 

 

Mohon maaf tulisan ini tidak untuk menyindir atau ngerasani orang, tetapi untuk memotivasi diri saya sendiri agar selalu produktif. Produktif harus dijaga, salah satunya dengan “berkumpul dengan orang sholeh”. Dengan menjaga lingkungan yang baik, produktifitas hidup akan meningkat pula. Wa’allahu’alam.

 

 

Semarang, 17 April 2017

 

Sri Mulyani: Power Self

Sri Mulyani: Power Self

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Menikmati pidato akademik – orasi ilmiah – Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani sangat menarik. Beliau berorasi saat Dies Natalis UNNES yang ke-52 tahun pada Kamis (30/2/2017). Dimana umur UNNES yang unda-undi (hampir mirip) dengan umurnya beliau.

 

 

Setiap kalimat dan gaya saya perhatikan. Sederhana penampilannya dan gayanya pun tak mati. Semuanya hidup. Semua audience terpanah matanya ke pidato beliau. Ada tepuk tangannya, rasa haru (sedih), dan tertawa.

 

 

Beliau “hebat” sudah bisa mengambil hati audience. Beliau yang juga guru berhasil tampil sempurna dihadapan muridnya. Beliau menyiapkan segala keperluan selama pembelajaran. Strategi ia tata sehingga bicaranya pun enak didengarkan.

 

 

Emosinya bagus sekali. Saat menyebutkan kedua orang tuanya dengan sebutan “almarhum” dan “almarhumah” diawal pidatonya, beliau terhenti. Pertanda “haru” akan jasa beliau yang juga membesarkan UNNES. Saat ia akan terpeleset dari mimbar podium, ia mampu membuat “bumbu” candaan yang menarik audience, sehingga audience pun tertawa. Beliau pandai mengelola emosi dalam keadaan apa pun.

 

 

Menariknya lagi adalah penyampaiannya didukung oleh data yang akurat dan valid. Yang saya tangkap dari pidatonya – kalau tidak salah mengatakan – Data dari Bank Dunia dari hasil penelitiannya. Beliau berhenti pidato sejenak. Langsung mengatakan “lucu”, kok Bank Dunia yang meneliti tentang pendidikan. Saya pun menduga seharusnya lembaga pendidikanlah yang meneliti, dimana ada korelasi pendidikan dengan pilihan daerah (Pilkada).

 

 

Tajam sekali analisisnya. Beliau sampaikan hanya dalam bentuk ceramah. Tanpa power point. Power self atau kekuatan dirinya menjadi modal saat presentasi, ia mampu menguasai dirinya. Keindahan media powerpoint atau berbantuan video, ia abaikan. Sekali lagi, presentasinya berbasis pada kekuatan diri sendiri.

 

 

Jarang sekali, ia melihat teks pidatonya. Tatapan mata tertuju kepada audience. Gerakan tangan pun  ia lakukan. Bahkan ada kejadian yang tak terduga – saat terpeleset di podium – beliau sempat mengatakan “ups” sembari tangannya memperbaiki berkas yang ada di meja podium.

 

 

Luar biasa untuk sekelas menteri. Maknanya, beliau pandai. Pidato yang kurang lebih satu jam, kental dengan data dan interpretasi, namun bisa dihidangkan dengan lezat. Pengalamannya di Bank Dunia menjadi “bumbu” yang sedap saat menyajikan asumsi-asumsi konsepnya.

 

 

Saya sangat terhipnotis dengan pidato beliau. Saya coba telusuri karya-karya beliau dan penelitiannya. Saya menemukan buku teori moneter yang banyak dirujuk. Buku yang sangat menarik yaitu  buku dengan bahasa Inggris berjudul Reforming Intergovernmental Fiscal Relations and the Rebuilding of Indonesia, yang diedit oleh James alm, Jorge Martinez – Varques, dan beliau. Buku tersebut akurat sekali datanya ditulis dalam bahasa Inggris menunjukkan eksistensi atau reputasinya di luar negeri. Bukunya tajam sekali analisisnya.

 

 

Sri Mulyani adalah dosen banget. Pemikirannya luar biasa. Sejak muda, pastinya dididik di lingkungan terbaik. Beliau selalu mendengarkan nasihat-nasihat kedua orang tuanya yang dosen di UNNES. Pemikiran kedua orang tuanya, juga sangat dahsyat menjadikan UNNES dapat Berjaya hingga saat ini. Prof. Satmoko – ayahanda Sri Mulyani – berjasa dalam menetapkan UNNES sebagai LPTK yang berkualitas. Prof. Retno Sriningsih – ibu Sri Mulyani – berjasa dalam pendirian program doktoral Manajemen Pendidikan.

 

 

Doa kedua orang tua yang biasa dikumandangkan saat bayi lahir yaitu menjadi anak yang berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, itu terwujud. Padahal beliau adalah seorang wanita. Namun, reputasinya diakui oleh dunia.

 

 

Beliau membuktikan posisinya sebagai ibu teladan bagi anak-anaknya. Tak cukup  menjadi wanita, istri, dan ibu saja. Tetapi ibu teladan, benar pilihan mahasiswa saya, dia – mahasiswa – memilih Sri Mulyani sebagai pemimpin idolanya. Terbuktilah saat beliau datang ke UNNES. Luar biasa.

 

 

Sekali lagi dan terakhir. Beliau adalah dosen teladan yang disibukkan dengan pemikiran-pemikiran bangsa. Beliau adalah pemimpin hebat. Beliau adalah ibu teladan bagi anak-anaknya. Saya sebagai dosen harus banyak berguru padanya. Banggalah kedua orang tuanya, karena doa beliau selalu mengalir. Amin.

 

 

Semarang, 2 April 2017