Nenek, Sakit, Anak, dan Pekerjaan
Oleh Agung Kuswantoro
Setiap kali anak sakit atau hanya imunisasi, saya berusaha mengantarkannya. Bahkan, dapat dikatakan selalu mengantarkannya. Karena, tidak tega istri kewalahan repot membawa anak. Belum lagi barangnya. Terlebih tempatnya agak jauh, sehingga butuh supir untuk mengantarkannya.
Setiba di klinik, ada banyak sesuatu yang menarik. Ada “Pemandangan” yang menarik di klinik tersebut yaitu anak, nenek, orang tua, dan tante. Suatu ketika, ada orang tua – umurnya kurang lebih 50 tahunan – menghampiri dan mengajak cerita kepada saya. Berikut percakapannya kurang lebih seperti ini:
Ibu : “Anaknya sakit, ya Mas?”
Saya : “Iya Bu, panas dan batuk! Lalu saya bertanya, “Putri, Ibu sakit apa?”
Ibu : “Ini, bukan anak saya. Ini cucu. Bapak dan ibunya kerja. Kedua, berangkat malam”.
Saya : Diam dan tersenyum, sembari melihat anak yang sakit digendong Ibu tadi.
Jadi, ada nenek yang mengantarkan cucunya sakit ke klinik, dimana kedua orang tuanya sedang bekerja malam hari. Melihat kejadian ini, hati saya berkata “makjleb” dan cukup melihat tatapan mata anak yang sakit saja, merasa iba untuk menahan sakitnya.
Pastinya, saya tidak memahami apa yang terjadi, namun hanya membatin betapa, sakit anak tersebut. Tangisannya butuh perhatian. Bahasa saya, mengatakan seperti itu. Malam itu, anak tersebut dalam posisi “yatim kasih sayang”. Karena kasih sayangnya bergeser dari orang tua ke neneknya.
Saya tidak tahu, jika saya sebagai orang tua dalam posisi itu. Pastinya, saya harus ambil keputusan. Antara bekerja atau ngemong. Dimana, ada dua pilihan harus pilih salah satu. Pasti, ada konsekuensinya.
Rumusnya adalah jika bekerja, maka dapat uang, lalu kaya, tetapi anaknya tidak bersama dengan saya. Jika momong, maka saya tidak dapat uang, lalu hidup dalam keterbatasan material (baca: uang pas-pasan, bahkan kurang), tetapi anak bersama saya.
Jika rumus itu dilanjutnya, maka muncul dampak. Kurang lebih seperti ini. Jika anak tidak bersama saya, maka kasih sayang akan di “alihkan” ke orang lain. Siapa orang lain? Nenek, pembantu rumah tangga, atau penitipan anak. Hilanglah kasih sayang saya (baca: orang tua) kepada saya. Lalu, lidah anak akan kaku memanggil nama saya, selaku orang tuanya. Anak akan memanggil nama yang mengasihinya, yaitu nama nenek, nama pembantu rumah tangganya atau nama pengasuh di sekolah titipan anak.
Kemudian, jika anak saya momong (baca: tidak bekerja), maka anak ada ditangan saya. Kasih sayang 1001% bahkan tak terhingga kasih sayangnya. Mau marah, karena repot, tetapi saat melihat wajah anak, jadi tidak jadi marah. Karena hak mereka untuk nangis, jadi saya tidak marah. Saat sakit, saya bisa mengantarkannya, saat butuh kasih sayang, yang disebut nama saya. Kurang lebih kondisinya seperti itu.
Itulah rumus sederhana saya, jadi logis dalam kehidupan. Kejadian ini, sangat bertolak belakang saat saya baca buku bernama al qur’an, dimana ada kewajiban anak dan orang tua. Pernah saya tulis kewajiban orang tua bisa dibaca ulang tulisannya. Justru, tidak ada peran nenek saat kejadian seperti itu. Yang dibutuhkan hanya kasih sayang anak.
Bingung saya melihat fenomena ini. Al qur’an sebagai pedoman hidup saya, harus saya yakini dan aplikasikan. Konsekuensinya, saya pilih anak saya momong sendiri. Nenek beribadah dengan rajin, tahajud yang kuat, witir yang banyak, dhuha yang full rokaatnya yaitu dua belas rokaat, dan baca al qur’an hingga khatam berkali-kali.
Repot? Ya, pasti! Konsekuensinya itu. Itu pilihan. Hidupku adalah hidupku. Hidupmu adalah hidupmu. Mari kita berdampingan dalam memandang kehidupan ini. Nenek punya peran. Sakit itu proses. Anak adalah amanah. Dan, pekerjaan adalah kewajiban. Semua orang itu melakukannya. Tolong tambahi dalam permasalahan ini yaitu libatkan Allah dalam kehidupan kita dan perbanyak berpikir, seperti apakah saya seperti ini sudah benar? Dampaknya bagaimana? Yuk, kita gunakan hati kita. Jangan selalu akal, karena akal ada tempatnya, bahkan ada sekolahnya mulai dari sekolah dasar, hingga perguruan tinggi (Strata tiga). Wa’allahu’alam.
Semarang, 19 April 2017