Dipecut “Dosen Malas” Oleh Pak Ali Gufron Mukti
Oleh Agung Kuswantoro
Ali Gufron Mukti adalah Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kemristekdikti. Ia juga pernah menjabat Wakil Menteri Kesehatan Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Ia adalah pakar Jamkesmas dan pernah menjadi dekan termuda di Fakultas Kedokteran UGM saat berusia 46 tahun.
Ia yang mengatakan kepada “saya” (asumsinya: saya sedang berkomunikasi dengannya) bahwa “para dosen malas. Kemenristekdikti: penelitian kita minim se-ASEAN”. Ucapannya sangat “menusuk” hati saya sebagai dosen. Saya penasaran, mengapa ia berucap seperti itu?
Sumber informasi tersebut saya dapatkan dari https://nasionaltempo.co.id tanggal 21 April 2017. Sumbernya valid, dimana isinya kurang lebih seperti ini “Jurnal internasional universitas di Indonesia yang dipublikasikan baru 5.499 jurnal ilmiah. Malaysia mencapai 25.350 jurnal ilmiah, dan Thailand mencapai 12.000 jurnal ilmiah. Sehinga logis bahwa, jurnal ilmiah Malaysia lebih banyak dari Singapura, karena dosennya lebih banyak. Tapi, Indonesia yang dosennya lebih banyak, jurnal internasionalnya lebih sedikit dari Malaysia. Apalagi, dengan julah dosen di Singapura. Ngenes! Tak bisa berkata, saya! Terlebih yang berkata adalah pejabat saya dari Kementerian.
Seakan-akan, ia berbicara kepada saya bahwa saya adalah malas. Terasa dipecut olehnya. Datanya jelas dan valid mengenai jumlah publikasi ilmiahnya. Jika sudah posisi ini, mau apa? Mau berdebat? Bukan, saatnya. Mau, marah? Yang memarahi kita dari kementerian, kok? Lalu, bagaimana? Saya, punya cara, yaitu mengevaluasi diri sendiri.
Saya adalah dosen yang baru diangkat PNS di tahun 2015. Posisi hingga saat ini adalah PNS dengan TMT 1 Desember 2016. Masih “umuran baru lahir jadi dosen”. Saya belum punya pengalaman yang banyak mengenai Tri Dharma Perguruan tinggi. Mencoba untuk mencerna ucapan dari Pak Ali Gufron Mukti. Kenapa ya, ia mengatakan “Dosen malas” dengan indikator minim penelitian dan publikasi? Sehingga Kemenristekdikti membuat peraturan nomor 20 tahun 2017 tentang Penelitian. Dimana, setiap professor dan lektor kepala diwajibkan menulis jurnal ilmiah yang dipublikasikan di tingkat internasional.
Lalu, muncul pertanyaan, apakah meneliti itu susah? Padahal, meneliti bagi dosen adalah tugas utama (fungsi)nya. Namun, kenapa kok sedikit yang meneliti? Kita masih berbicara kuantitas (jumlah) yang melakukan penelitian, belum kualitas (mutu) penelitian.
Pengalaman saya, saat ini adalah bahwa membuat proposal penelitian juga termasuk budaya akademik. Budaya akademik munculnya dari individu dosen. Tiap dosen punya “gairah” atau “nafsu” meneliti. Membuat proposal – menurut saya – tidaklah mudah. Terlebih, agar orang terpikat untuk membaca atas proposal tersebut. Dibutuhkan referensi yang banyak dan jurnal-jurnal penelitian yang relevan pula. Jadi, harus banyak “melahap” nutrisi buku dan jurnal akademik yang bergizi pula. Bukan, asal “copy paste” dari internet.
Dalam pembuatan proposal penelitian dibutuhkan pula, grand design atau kerangka penelitian yang akan dilakukan. Tidak asal membuatnya. Jangka waktu dan biaya harus diperhatikan dalam proposal itu.
Karena susah itulah menurut saya, harus direncanakan dan dibudayakan bagi dosen di lembaganya. Maaf, bukan asal untuk dikerjakan atau dibuat. Tiap dosen harus menanamkan itu dulu. Terlebih, bersifat akademik. Unsur plagiat, jangan sampai terjadi. Apalagi (maaf) dibuatkan tim dari kelompok orang lain untuk membuat proposal penelitian. Menurut saya kurang tepat jika ada kasus tersebut. Karena proposal penelitian bersifat akademik (logika harus bermain), bukan copy paste, atau unsur “ketidak enakan” ada dalam pembuatan proposal penelitian. Jika ada, pasti hasilnya tidak sepenuh hati dari yang membuat proposal penelitian tersebut.
Pengalalaman saya, hingga saat ini baru “tembus” proposal penelitian tingkat universitas di kampus saya sendiri. Itu pun dikompetisikan. Rasanya, susah sekali membuat proposal penelitian itu. Jangankan (maaf) memuat proposal penelitian untuk orang lain, untuk diri sediri saja, saya merasa “berat” sekali, karena intelektualitas yang diutamakan. Bukan, asal dapat uang untuk tambahan kesejahteraannya.
Wajarlah, jika jurnal ilmiah internasional yang dihasilkan oleh dosen Indonesia itu sedikit, karena susah membuat proposal penelitian. Lalu, di Malaysia dan Singapura kenapa banyak? Padahal dosen jumlahnya lebih banyak Indonesia? Jawabnya, sebagaimana Pak Ali Gufron Mukti, yaitu malas. Malas bagi orang intelektual untuk membuat proposal, terlebih mempublikasikan. Buat proposal penelitian saja tidak, apalagi ada publikasi atas hasil penelitiannya. Atau (maaf), pembuatan saja dengan cara “tertentu”, maka hasilnya pun tidak maksimal.
Rasanya “adil” jika itu yang mengatakan Kementerian sekelas Ali Gufron Mukti, publikasinya banyak, jasa ke negara juga tinggi, dan pengabdian ke negara sangat tulus. Malulah, saya. Sekarang, menata diri. Belajar nulis ilmiah yang bagus. Menulis diperdalam lagi. Membaca buku dan jurnal diperbanyak. Itu tugas saya selanjutnya, agar 10 tahun lagi, Kementerian tidak berkata kepada saya yaitu dosen malas.
Catatan: tulisan untuk koreksi diri sendiri, bukan untuk menyindir orang lain. Semata-mata untuk perbaikan kita sebagai dosen di waktu yang akan datang.
Semarang, 26 April 2017