Dakwah : Konsen ke Masyarakat (2)

Dakwah : Konsen ke Masyarakat (2)

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Masyarakat secara bahasa artinya sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (KBBI). Membaca dan mengartikan definisi masyarakat secara KBBI saja – yang masih dasar – menjadikan saya berpikir jernih dan berhati-hati dalam bertindak.

 

 

Berpikir jernih, karena ada unsur “sejumlah manusia”, bukan satu manusia. Berarti lebih dari satu manusia. Bahkan kata selanjutnya, seluas-luasnya. Sekali lagi seluas-luasnya. Malah tambah jelas definisinya. Berarti, jumlah manusia banyak.

 

 

Satu manusia saja memiliki permikiran sendiri. Dua orang manusia belum tentu pemikirannya sama. Apalagi, sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya. Jelas banyak pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda.

 

 

Hebat, jika ada seorang pemimpin yang mampu “tampil” atas perbedaan-perbedaan pendapat itu. Top, jika ada tokoh masyarakat yang mampu menjembatani “pola pikir” masyarakat yang unik itu. Tidaklah mudah untuk mempersepsikan dalam satu tujuan yang sama.

 

 

Ramadan adalah bulan yang mulia. Banyak pendapat dan pola pikir masyarakat mengenai cara penyambutannya, hingga cara pelaksanaan ibadah-ibadah sunahnya. Misal, tarawih. Ada yang menginginkan 8 rokaat. Ada pula yang menginginkan 20 rokaat. Lalu, mana yang akan digunakan? Jika Anda sebagai Imam? Bahkan, “masyarakat yang dalam arti seluas-luasnya” menghendaki 20 rokaat. Jelas ini paksaan, jika imam menginginkan 8 rokaat.

 

 

Masyarakat itu terikat suatu budaya. Pola masyarakat bergantung pada budaya. Budaya adalah nilai atau hasil karya, cipta, dan rasa yang bernilai tinggi. Bahasa saya adalah “pokoke”, “kudu”, “wis adat”, dan seterusnya. Jika demikian, apa pun budayanya, pasti sudah mengakar pada pola pikir masyarakat. Masyarakat tak usah ambil pusing. Asal, kalau itu budaya, pasti ia akan lakukan. Logika dia, akan dinomor duakan.

 

 

Susah! Ada point “sejumlah manusia” dan “budaya”. Tidak mudah itu. Jika seseorang bertolak belakang, dengan budaya di suatu masyarakat, dapat dipastikan ia akan berbeda pemikiran atas masyarakat tersebut. Berbeda budaya, bukan dimaknai pandai atau menolaknya. Tetapi, cara pandangnya saja.

 

Menjadi ustad atau kiai di masyarakat itu lebih susah dibanding menjadi imam atau “kiai” di lembaga atau kantor. Lembaga, lebih mengutamakan pemikiran atau cara pandangnya. Biasanya, pemikirannya terbuka. Tetapi di masyarakat, belum tentu semua terbuka. Menyampaikan sesuatu yang baik, belum tentu diterima dengan kebaikan pula.

 

 

Saat kita diberi amanah di masyarakat, maka haruslah amanah. Bahasa saya, konsen. Ya, konsen ke masyarakat. Karena, tidak semua orang mendapatkan amanah di masyarakat. Masyarakat pasti sudah menilai dari apa yang sudah dilakukan oleh kita, sehingga mereka (masyarakat) menunjuk kita.

 

 

Jika kita ada posisi tersebut, menurut saya ikuti saja “pola” masyarakat tersebut. Ikuti budaya masyarakat tersebut, walaupun menurut kita berbeda. Sembari waktu berjalan, sampaikan perbedaan pemikiran kita, saat kita diberi amanah tersebut. Mengapa demikian? Karena, posisi kita sudah di depan orang atau sudah melaksanakan atas amanah mereka. Perlu kita ketahui pula, menjalankan amanah bukanlah hal mudah.

 

 

Kita jaga konsen ke masyarakat, karena konsen itu amanah dari mereka. Memang tidak semua amanah itu dibayar dengan uang, tetapi kepercayaan itulah yang harus dijaga. Kita hidup diantara mereka. Besok, saat kita mati, akan dimakamkan dan siapa yang akan mengurus jenazah kita? Jika, kita jauh dari mereka, bersiaplah kelak kita akan pulang kampung jenazah kita. Atau, kita hidup di masyarakat hanya hidup untuk diri sendiri, tidak untuk orang lain.  Karena, kita hanya konsen pada diri sendiri. Tidak konsen kepada masyarakat. Itulah yang saya rasakan saat ini yaitu konsen ke masyarakat dengan menjaga amanah mereka, khususnya masalah masjid, karena masjid itu milik masyarakat, bukan milik saya. Sehingga, model niat kepada Allah harus tinggi dalam konsen ke masyarakat, karena Allah yang akan menjadi tempat tujuan kita, bukan masyarakat. Jadi, Allah tetap nomor satu. Ditinggalkan Allah lebih susah, dibanding ditinggalkan masyarakat. Waallhu’alam.

 

 

Semarang, 26 Mei 2017

 

 

Dakwah : Mengikuti Arus (1)

Dakwah : Mengikuti Arus (1)

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Tahun pertama untuk saya terjun ke masyarakat, setelah dua tahun lalu, sholat tarawih di kompleks perumahan, karena belum ada masjid. Sekarang, Alhamdulillah sudah ada masjid.

 

Masjid tersebut terletak di tengah-tengah kampung dan dekat dengan kompleks perumahan. Jadi, masjid itu adalah milik bersama. Tahun yang lalu, sebagai penjajagan saya dalam menempati masjid tersebut dan hidup bersama masyarakat.

 

 

Tahun ini, saya diamanahi menjadi imam sholat Isya, tarawih, dan witir selama kurang lebih 15 hari dan sholat Subuh tiap hari. Jika sholat subuh itu sudah rutin saya lakukan. Namun, untuk sholat tarawih baru kali ini.

 

 

Hal yang akan saya lakukan adalah mengikuti arus masyarakat. Saya, insya Allah paham sosiokultural masyarakat tersebut. Oleh karenanya, saya memutuskan untuk mengikuti arus. “Ikuti “ saja. Sembari memperdalam dan mendekati mereka untuk beribadah. Waallahu’alam.

 

 

Semarang, 27 Mei 2017

 

 

 

Kesan Kopdar IV SPN: Surabaya, ITS, dan SPN

Kesan Kopdar IV SPN: Surabaya, ITS, dan SPN

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Kopdar IV SPN (Sahabat Pena Nusantara) pada tanggal 21 Mei 2017 memiliki kesan bagi saya. Kesan tersebut, saya bagi menjadi tiga bagian. Pertama, Surabaya. Kota dimana berlangsung Kopdar IV SPN. Awal masuk ke kota Pahlawan tersebut, saya terkesan, bahwa kota tersebut agamis dan bersih. Agamis karena waktu saya sholat Subuh di masjid. Sebelum waktu sholat Subuh masuk, jamaah masjid ramai. Jam 4 tepat, saya masuk masjid. Beberapa jamaah sudah berdatangan ke masjid. Padahal, waktu masuk sholat Subuh dimulai jam 04.15 WIB (jika tidak salah). Tidak cukup disitu. Setelah sholat, para ibu-ibu tadarus al qur’an hingga jam 06.00 WIB. Saya menyimaknya, sembari menunggu siang. Fasih dan tartil membacanya para ibu-ibu dalam melantunkan al qur’an.

 

 

Setelah dirasa cukup waktunya. Saya meluncur ke ITS. Sebuah universitas yang “mirip” dengan  ITB. Walaupun beda singkatan di belakang dari singkatan tersebut yaitu “S” dan “B” ternyata berbeda. Wajarlah, jika mungkin kata orang – lebih maju ITB, karena huruf “B” itu lebih dahulu dibanding “S”. Bahkan ada yang lebih maju dari ITB, yaitu ITA, karena dimulai dari huruf “A”. sekedar bercanda.

 

 

Lanjutkan pada konteksnya. Selama perjalanan menuju ITS, saya melihat taman dan jalan raya yang bersih. Termasuk sungainya. Hebat sekali, dalam batin saya. Kota terbesar kedua – setahu saya – di Indonesia ini bisa tertata dengan apik. Enak dipandang lingkungannya. Bahkan ada petugas yang membersihkan taman, padahal hari Ahad, dimana umumnya instansi libur. Namun, petugas kebersihan tetap berangkat. Hebat!

 

 

Situasi seperti ini, pikiran saya langsung tertuju kepada Ibu Risma. Beliau adalah walikota Surabaya. Keren! Sosok perempuan bisa “menjelma” dan “menyulap” kota Surabaya menarik. Tidak mudah mewujudkannya, tetapi Bu Risma bisa. Luar biasa! Jarang, kota-kota besar di Indonesia bersih dan rapi seperti kota Surabaya.

 

 

Kedua, ITS. Kesan yang saya dapatkan adalah kepedulian lembaga pendidikan terhadap komunitas literasi. Sekali lagi, komunitas. Bukan asosiasi atau lembaga atau perhimpunan. Cukup, komunitas (menurut saya). Yaitu komunitas suka membaca dan menulis. Tak tanggung-tanggung yang mendukung lembaga sekelas ITS. Bahkan, rektornya – Prof Joni – ikut hadir dan membuka saat acara tersebut. Ia (Prof. Joni) memberikan ijin untuk Kopdar IV di ITS. Luar biasa sekali. Sepengetahuan saya, ia menyumbang dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Bayangkan sekelas rektor. Saya pun, baru tahu itu dan baru mengenalnya saat itu pula.

 

 

Saya sangat terkesan dengan pemaparannya. Ia menyampaikan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pitutur – jika tidak salah – bukan bangsa yang gemar membaca dan menulis. Sehingga, dunia baca dan menulis itu minim di negara ini. Padahal, al qur’an memerintahkan untuk membaca. Jelas itu.

 

 

Selain itu, ia juga menyampaikan untuk mengamati atas isi al qur’an, seperti ilmu perbintangan. Jika kita memahami ilmu perbintangan, maka sesungguhnya kita sedang belajar isi al qur’an. Hebat ya, seorang Rektor mampu menjelaskan seperti itu.

 

 

Kesan berikutnya di ITS adalah sosok Dr. Choirul. Setahu  saya, ia adalah Humas ITS. Ia adalah dosen Pendidikan Agama Islam. Jabatan humas sebagai tugas tambahan. Menurut saya – yang pengetahuan masih minim – bahwa jabatan Kepala Humas di sebuah Perguruan Tinggi, biasanya diisi dari jurusan bahasa atau Fakultas Ilmu Bahasa. Tetapi di ITS diisi oleh seorang dosen agama Islam. Dapat dikatakan diisi oleh seorang kiai. Subhanallah, aneh bin ajaib. Tetapi, itulah uniknya ITS. Menurut saya tidak masalah.

 

 

Ketiga, SPN. SPN sangat disiplin. Acaranya tepat waktu. Orang-orang super sibuk, tetapi masih semangat membaca dan menulis. Malu, jika kita beralasan sibuk, tidak disiplin menulis tiap hari, bahkan ada yang mendapatkan Rekor MURI selama dua kali karena menulis tiap hari, padahal ia adalah seorang Rektor. Ia adalah Prof. Dr. Imam Suprayogo. Rektor, bayangkan! Masih sempat nulis tiap hari. Nah, disinilah malu saya dibanding dengan mereka.

 

 

Lalu, kesan lainnya, yaitu orang-orang di SPN ramah-ramah. Saya termasuk anggota baru, tetapi baru kali ini bertatap muka. Masya Allah, mereka ramah sekali. Padahal, selama ini bertatap muka melalui WA berupa tulisan atau artikel. Tetapi, karena artikel itulah menjadi saling kenal.

 

 

Orang-orang di SPN menurut saya, lucu logis. Istilah itu saya gunakan. Lucu, tidak asal “dagel”. Apalagi, Bapak Moch. Khoiri saat memaparkan materi. Luar biasa menariknya, padahal pemaparan jam 13.30 WIB, tetapi tetap energik. Padahal jam tersebut adalah jam waktunya mengantuk dan bosen. Tetapi, karena pembicaranya hebat jadi bersemangat.

 

 

Intinya, orang-orang di SPN itu ta’dhim dan baik-baik. Saya juga bertemu dengan Kiai Masruri. Masya Allah. Alimnya dan sedikit bicara, kiai yang tak cukup pandai bicara, tetapi juga menulis. Jarang ada kiai yang demikian.

 

 

Itulah, kesan-kesan saya mengikuti Kopdar IV di ITS. Semoga, nanti bisa ditemukan di Kopdar V di Surabaya juga. Salam literasi. Hidup SPN.

 

Semarang, 26 Mei 2017

Malaikat Basyir Mubasyir: “Penata Arsip” Tak Pernah Lupa

Malaikat Basyir Mubasyir: “Penata Arsip” Tak Pernah Lupa
Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Guru saya, kiai Abdullah Sidiq mengajarkan kepada saya untuk menyebut malaikat Mungkar Nakir dengan sebutan malaikat Basyir Mubasyir. Mengapa demikian? Karena kita selalu berdoa menjadi orang yang beriman dan ikhlas dalam beribadah. Kita dalam beramal, insya Allah tidak mengingkari atau berdusta. Jika kita berdusta, maka malaikat Mungkar Nakir yang akan mencatat amal keburukan.

 

 

Oleh karena, – Insya Allah – sebagai orang beriman, malaikat Basyir Mubasyir (malaikat yang bertugas memberikan kabar bahagia) datang kepada kita atas amal baik kita. Ia tak pernah lupa. Ia selalu menata amal sholeh seseorang. Arsip-arsip amalan baik akan ditunjukkan saat seseorang, antara yang baik dan buruk. Ia sangat cekatan dalam bertugas. Ia hanya milik orang yang beriman. Sedangkan orang yang beramal buruk, akan dicatat dan disimpan oleh malaikat Mungkar Nakir.

 

 

Semoga, kita selalu ditemani oleh malaikat Basyir Mubasyir, bukan malaikat Mungkar Nakir. Amin.

 

 

Semarang, 27 Mei 2017

Evaluasi Diri

Evaluasi Diri

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Tidak perlu kita sesali atas apa yang kita lakukan. Tetapi, evaluasi diri sangat dibutuhkan. Evaluasi diri berbeda dengan penyesalan. Meskipun keduanya dilakukan setelah kejadian telah usai.

 

 

Evaluasi diri mengarah pada  perbaikan atas kesalahan atau ketidaktepatan dari tindakan kita. Penyesalan mengarah pada kesalahan atas perbuatan yang kita lakukan. Evaluasi belum tentu “salah” terhadap apa yang telah dilakukan. Tetapi, penyesalan cenderung telah melakukan kesalahan.

 

 

Yang kita bahas adalah evaluasi diri. Saya mencoba mengevaluasi diri dari apa yang telah dilakukan, khususnya di masyarakat. Evaluasi diri ini ibarat “rem” kehidupan. Saya butuh masukan atau komentar atas tindakan saya. Pastinya, orang yang saya ajak memberi komentar, bukan orang “asal-asalan”. Ia punya kompetensi yang mumpuni di bidangnya. Jika mengenai masyarakat, maka Kiai yang tepat menurut saya yang akan memberikan nasihat kepada saya. Jika mengenai ilmu, maka “guru” yang cocok menurut saya yang akan memberikan petuah ilmunya kepada saya.

 

 

Jadi, saat mengevaluasi diri dibutuhkan guru atau “sosok” yang menurut saya paham akan masalah tersebut. Bisa juga berasal dari orang tua atau tokoh masyarakat. Pastinya, orangnya “pas” atas keilmuannya. Kemudian, akhlak yang bersangktan juga menjadi “point” dalam menemukan “sosok” yang akan mengevaluasi diri. Tujuannya, agar saya diluruskan lagi akan kehidupan saya. Mungkin ada yang tidak tepat, saat sata berperilaku atau tindakan saya (mungkin) merugikan orang lain. Itulah pentingnya evaluasi diri.

 

 

Perjalanan Semarang ke Bali, di pesawat jam 06.00 WIB, 22 Mei 2017

 

 

Mengapsahi Itu Menulis

Mengapsahi Itu Menulis

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Berbicara pesantren, pasti unik. “Image” atau cara pandang seseorang mengenai pesantren ada dua yaitu Salafi (tradisional) dan Modern. Dalam tulisan ini, saya ingin fokus pada pesantren Salafi.

 

 

Pengalaman saya saat nyantri di Pesantren Salafiyah Kauman Pemalang tak akan lepas dari memori otak saya, bahkan membekas di hati. Salah satu model pembelajarannya adalah “ngabsahi”.

 

 

Ngabsahi adalah menuliskan makna tiap lafal. Lafal tersebut dalam bahasa Arab, kemudian dimaknai dengan bahasa Jawa melalui tulisan huruf pegon. Huruf pegon adalah huruf semacam tulisan arab, seperti huruf hijaiyah tetapi ada beberapa ciri khas tiap hurufnya. Misal, huruf “p” menggunakan huruf ‘fa”, huruf “ng” ditulis dengan huruf “ain dengan titik tiga di atasnya”, huruf “k” ditulis dengan huruf “kaf”, dan contoh lainnya. Itu baru tulisannya. Belum pada strukturnya.

 

 

Mengabsahi pun harus memperhatikan struktur dalam suatu kata. Tidak asal, struktur kata muncul dengan sendirinya. Ingat, kalimat terdiri dari kata-kata yang memiliki makna. Jika, ada kalimat yang kata-katanya tidak jelas, maka kalimat tersebut rancu. Atau, dapat dikatakan tidak terstruktur.

 

 

Misal, alhamdu diabsahi dengan tulisan utawi sekabehane puji. Utawi tidak dituliskan dalam huruf pegon dengan tulisan utawi, tetapi cukup ditulis dengan simbol “mim”. Mim adalah simbol mubtada. Mubtada adalah struktur berupa subjek – kalau tidak salah – yang akan memberikan keterangan pada lafal berikutnya. Jadi kata alhamdu itu ditulis atau diabsahi mim kecil pada tulisan alhamdu bagian atas, tepatnya disamping huruf hamzah (alif) pada tulisan alhamdu. Lalu, dibawah tulisan alhamdu, ada tulisan sekabehane puji. Tulisan sekabehane puji ditulis dengan huruf pegon yang miring dari kanan ke kiri. Tulisan sekabehane puji itu ditulis dalam huruf pegon terdiri dari sin, kaf, alif, ba, ya’, ha, alif, nun, ya, fa, wawu, jim, dan ya. Kurang lebih seperti itu. Rumusnya “a” disertai dengan alif, “i” disertai dengan ya, “u” disertai dengan wawu, “e” disertai dengan ya, dan kaidah penulisan lainnya.

 

 

Melalui cara “mengabsahi” menurut saya, seorang santri seharusnya, bisa nulis. Bagaimana tidak? Setiap kata, pasti ditulis, bahkan menggunakan kode-kode Nahwu seperti mubtada, khobar, naat, tamyiz, nahi, lanafi lil jinsi, dan kaidah lainnya.

 

Ngabsahi adalah menulis dengan jeli. Saat ketinggalan satu “kode” saja, maka berdampak pada makna atas lafal tersebut. Kebiasaan saya dulu, setelah pulang mengaji, saya membuka kitab yang barusan saya absahi, lalu dibaca ulang, sembari mengecek apakah ada yang kurang dalam memberi kode, atau kurang mengabsahi akan makna lafal tersebut.

 

 

Jadi, santri itu pasti menulis. Tiap mengaji pasti mengabsahi. Justru, pertanyaannya, mengapa santri sedikit menulis? Sebenarnya, setiap absahan (baca: hasil mengabsahi), kemudian ditulis dalam huruf bahasa Indonesia itu sudah menulis dua kali. Tulisan pertama dalam huruf pegon. Tulisan kedua dalam huruf bahasa Indonesia. Belajar nulisnya dua kali.

 

 

Saya kurang tahu, apakah ini bisa dikategorikan teknis menulis? Namun, menurut saya “ya”, karena ngabsahi tidaklah mudah, apalagi ditulis atau disalin dalam tulisan huruf bahasa Indonesia. Waallahu’alam.

 

 

Perjalanan menuju Semarang dari Bali, ditulis di Pesawat jam 18.45 WITA; 24 Mei 2017

“Menyampaikan” (Dakwah) Karena Allah

“Menyampaikan” (Dakwah) Karena Allah

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Setiap orang yang berilmu, wajib menyampaikan ilmunya kepada orang yang belum memahami akan ilmu tersebut. Apa pun ilmunya, jika kita pandai matematika, lalu ada orang yang belum mengetahui cara menghitung, maka ajarilah, karena “menyampaikan” sudah menjadi tanggung jawabnya.

 

 

Jika kita pandai atau mampu mengurus jenazah, sedangkan tidak ada orang yang belum memahaminya. Maka sampaikan ilmu itu kepada masyarakat. Tidak harus dengan ilmu yang “banyak” tentang mengurus jenazah. Sampaikanlah dengan sedikit demi sedikit.

 

 

Kewajiban penyampaian ilmu bagi yang memiliki ilmu menjadi suatu yang harus dilakukan. Jangan sampai satu masyarakat, tidak memahami satu ilmu, hanya karena tidak menyampaikan. Sampaikanlah.

 

 

Dalam menyampaikan ilmu berniatlah karena Allah. Jangan karena manusia untuk mendapat pujian atau gengsi. Pujian agar mendapatkan simpati atas ilmu yang dimilikinya. Gengsi agar diakui keberadaannya di masyarakat. Hal ini sama sekali tidak benar.

 

 

Niat karena Allah. Panggilan “menyampaikan” ilmu karena ilmu itu milik Allah. Dengan cara seperti itu, kita akan kuat saat “penyampaian” kita tidak diterima oleh orang sekitar atau masyarakat. Dalam hati dia (pendakwah/penyampai pesan) sudah menjadi kewajiban untuk menyampaikan suatu ilmu.

 

 

Jadi niat menjadi “kekuatan utama” sebagai penyampaian ilmu. Jika niatnya tidak karena Allah, pasti akan merugi kelak. Ia akan ditinggalkan Allah. Masih mending ditinggalkan manusia. Tetapi, kalau ditinggal Allah, kita akan “sengsara” dalam kehidupan. Waallahu’alam.

 

 

Bali, 23 Mei 2017

Kenangan Kopdar IV: Bertemu Guru Menulis

 

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Belajar bisa dari buku atau internet. Lebih bagusnya lagi, langsung bertemu dengan gurunya. Nyata dan jelas, saat kita ada kesalahan, karena sang guru memberikan masukan atas kekurangan kita.

 

 

Pesan itulah yang saya dapatkan di Kopdar IV SPN di ITS pada Ahad (21/5/2017). Ada tiga pembicara, dimana mereka adalah Dr. Ainun Na’im, Hernowo Hasyim, dan Much Khoiri.

 

 

Dr. Ainum – sapaan Dr Ainun Na’im memaparkan dan praktik cara menyunting buku. Menurutnya, menyunting pekerjaan yang susah. Dibutuhkan emosi yang tenang. Jangan kita langsung mengedit – dalam arti konteks – setelah menulis. Tetapi, berilah jeda agar emosi matang. Misal menulis pada pagi hari, maka menyuntingnya pada malam hari. Pasti kita akan menemukan kekurangan atas tulisan tersebut, seperti tambahan ide berupa tambahan paragraf atau kalimat antar paragraf dalam menyambungkannya.

 

 

Cara termudah dalam menyunting agar cepat adalah mencetak atas tulisan tersebut. Misalnya, kita akan menemukan kekeliruan ketik, seperti yang seharusnya yang ; tahun 1927 seharusnya 1627; seksama seharusnya saksama; dan contoh lainnya, ujar Dr. Ainun.

 

 

Penulis bertugas menulis. Penyunting bertugas menyunting. Namun beberapa aturan di sebuah penerbit dimana penulis juga harus menyunting atas tulisannya. Atau pula, penulis juga harus mampu merevisi atas karya ilmiahnya sesuai kaidah selinggungnya.

 

 

Jika penulis dihadapkan pada kondisi harus menyunting atas naskah bukunya dan merevisi atas artikel ilmiahnya, maka ikutilah norma tersebut agar buku kita dicetak di percetakan tersebut dan di-publish di jurnal tersebut. Saat menyunting biasakan menyimpan setiap filenya. Menyunting dua kali, maka ada dua file yang disimpan. Tujuannya, agar terekam setiap editannya.

 

 

Hernowo Hasyim memperagakan free writing atau menulis bebas. Teknik ini sebagai latihan dalam keterampilan menulis. Menulis harus dibiasakan. Jadi, harus disiplin. Jangan berharap menulis sehari langsung 10 halaman. Buat jadwal, tiap hari satu halaman selama 15 menit.

 

Model demonstrasi yang diperagakan oleh Hernowo Hasyim adalah (1) menulis bebas selama 3 menit dengan alarm, (2) menulis bebas dengan tema yang sudah ditentukan selama 5 menit dengan alarm, (3) menulis  atas hikmah kehidupan atau buku yang telah dibaca.

 

 

Tujuan menulis bebas ini agar kita “ringan” atau tanpa beban dalam pikiran, bahwa menulis itu mudah harus ditumpahkan idenya. Seketiknya atau setulisnya. Bisa angka atau salah ketik. Tidak ada rumus mengeditnya. Yang penting menulis. Lalu, tidak usah disimpan karena menganggap sebagai menulis dengan penuh emosi.

 

 

Menulis dengan tema itu lebih susah dibanding dengan tanpa tema. Dibutuhkan pengalaman atau referensi. Sedangkan menulis atas hikmah kehidupan dibutuhkan pengalaman nyata atau referensi yang cukup agar bisa menghasilkan sebuah tulisan.

 

 

Yang dilakukan oleh Hernowo Hasyim menjadikan saya paham dalam teknis menulis. Keterampian yang diasah. Penekanannya, bukan pada struktur bahasa, gaya bahasa, ejaan, atau kalimat baku. Yang terpenting adalah idenya “keluar”(baca: ditulis) terlebih dahulu. Masalah bahasa itu urusan teknis.

 

 

Much. Khoiri memaparkan strategi memasarkan buku atas buku yang telah ditulis. Emcho – sapaan Much. Choiri – mengatakan dibutuhkan strategi khusus untuk memasarkan buku yang kita tulis. Buku tersebut harus memiliki tema yang “laris” di masyarakat, bahkan dibutuhkan keberanian dalam membuat judul. Misal, judul buku “memelihara ikan lele sebesar bayi”, “pralon berasa manis”, “menulis agar anti poligami”, dan judul yang lainnya. Judul-judul itulah yang harus mendapatkan perhatian penulis yang akan menerbitkan bukunya. Karena dalam menerbitkan buku sudah membutuhkan modal, sehingga modal itu harus kembali. Keuntungan dengan menerbitkan buku sendiri dan cetak sendiri adalah keuntungan 100% untuk penulis. Dapat dikatakan harga dikendalikan oleh penulis. Penulis bebas menentukan harganya. Bayangkan penulis tersebut sudah tenar, lalu diundang disebuah seminar. Salah satu tiket untuk mengikuti seminar tersebut adalah mendapatkan buku (membeli buku), meskipun dengan harga tidak full (75%), namun, karena pesertanya banyak, maka keuntungan dapat dikalikan berapa kali lipatnya. Belum lagi, penulis akan mendapatkan honor sebagai pembicara. Maka penjualan buku dan honor pembicara. Itulah salah satu strategi dalam penjualan buku dengan dicetak penerbit sendiri (Indie publishing).

 

 

Senang sekali rasanya bisa bertemu langsung dengan “guru” menulis. Bahkan acara langsung dibuka oleh Rektor ITS, Prof. Joni. Padahal, acara ini adalah acara komunitas, namun didukung oleh Rektor ITS. Bahkan, beliau menyumbang dana pada kenang-kenangan kepada SPN (Sahabat Pena Nusantara) berupa dua buku yang ia tulis berisi motivasi kehidupan.

 

Saya juga bertemu dengan Kiai Masruri. Kiai yang tak cukup pandai berdakwah, tetapi juga menulis. Kiai tak cukup bertutur, tetapi menulis. Karena, kebanyakan kiai pandai bertutur, tetapi sedikit yang mahir menulis.

 

 

Sebagai penutup, rasanya saya ingin mewariskan ilmu saya berupa buku. Buku adalah warisan yang paling terbaik. Ilmu disebar melalui tulisan akan terus bertambah. Sedangkan warisan harta dibagikan akan habis. Sekarang, jadi semangat untuk menulis dan menulis, karena sebaik-baik warisan adalah ilmu, yang saya karyakan dalam wujud buku. Waallahu’alam.

 

 

Ditulis di Semarang, tanggal 22 Mei 2017

Menggagas Rumah Rehabilitasi Mental

Menggagas Rumah Rehabilitasi Mental

Oleh Agung Kuswantoro

 

Presiden Jokowi yang getol dengan slogan Revolusi Mental sangat bagus di era sekarang, di mana masalah mental (baca: akhlak) sekarang menurun. Baru-baru ini ada pesta Gay di Kelapa Gading, Jakarta. Pelaku yang mengelabui dengan pusat kebugaran, namun dialih fungsikan menjadi tempat yang terlarang.

 

Membaca pemberitaan tersebut. mengelus dada, saya. Sembari berdoa, semoga bangsa ini masih di lindungi oleh Allah. Mohon ampun, mungkin kita sebagai orang tua tidak memberikan nasihat atau mengawasi perilaku anak kita sendiri. Sebagian besar yang tertangkap berusia antara 25 hingga 35 tahun. Maknanya, mereka masih muda.

 

Pagi ini (23/5), ada 126 pelaku pesta Gay dibebaskan. Dalam hati, kenapa dibebaskan? Apakah tidak ada Rehabilitasi Mental? Misal saja, saat orang mengonsumsi narkoba, biasanya diarahkan untuk rehabilitasi ke Badan Nasional Narkoba (BNN) atau Kementerian Sosial. Atau contoh lain, saat anak ada yang trauma karena kekerasan, maka ada Komisi Perlindungan Anak di rumah Singgah. Gunanya untuk memulihkan psikologis pasca kekerasan yang menimpanya.

 

Lalu, bagaimana dengan pelaku Gay? Apakah langsung bebas begitu saja? Menurut saya, kurang tepat. Takutnya, saat kembali ke masyarakat, jika ada orang yang mengajaknya. Maaf, lingkungan tidak selamanya alim atau baik. Sangat besar, kemungkinannya ia akan terlibat dalam tindakan yang lama. Disinilah letak pentingnya rehabilitasi mental.

 

Saya tidak tahu teknisnya. Saya hanya orang yang mendengarkan berita dan sedih melihatnya. Saya juga tidak menyalahkan pelakunya. Sebagai hamba Allah yang diciptakan di bumi, saling mendoakan. Jangan menghukum orang tersebut telah melakukan kesalahan. Hanya Allah yang berhak menerima taubat seseorang. Namun, sebagai manusia minimal kita menyempitkan pada melakukan perbuatan yang tidak terpuji.

 

Mungkin di antara mereka, hanya kebawa lingkungan. Orang tuanya dulu sangat sibuk dengan urusannya. Atau alasan lainnya. Disinilah pentingnya, lingkungan kedua yaitu masyarakat agar membuat kondisi yang shaleh atau baik. Jangan sampai, anak kita terlibat dalam perbuatan yang tercela. Lalu, kita tingkatkan pada level masyarakat untuk meningkatkan dan tidak memberi ruang agar tidak berbuat yang jauh dari norma agama. Agama mana pun, saya yakin melarang perbuatan tersebut.

 

Mari, kita arahkan anak kita menjadi anak yang sholeh. Bimbing mereka dengan baik. Ajak ke tempat yang baik seperti masjid. Jangan selalu diajak ke tempat-tempat yang “menyenangkan” saja. Kuatkan lingkungan keluarga. Lalu, buatlah norma yang baik di masyarakat tersebut. minimal dua lingkungan ini, yaitu keluarga dan masyarakat.

 

Bali, 23 Mei 2017

Menyampaikan Dakwah Apakah Harus Berpura-Pura?

Menyampaikan Dakwah Apakah Harus Berpura-Pura?

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Sampaikan ilmu dariku walaupun satu huruf (HR. Bukhori)

 

 

Itulah hadis yang sangat mashur disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Orang yang “pandai” atau “tahu” memiliki kewajiban untuk menyampaikan. Strategi penyampaian atau dakwah itu tidaklah mudah. Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki tantangan hingga berdarah bagian mulutnya (tepatnya gigi). Sekelas Gus Mus saat berdakwah menyampaikan ajaran Islam, hingga ada orang mengatakan “dhasmu”. Inilah pertanda dakwah penuh tantangan.

 

Menjadi “dilema” bahwa ilmu walaupun satu huruf harus disampaikan, tetapi tidak semua orang menerima atas ilmu itu sendiri atau cara penyampaiannya. Dalam sebuah “siir” disampaikan bahwa orang berilmu wajib menyampaikan atas ilmu tersebut. Bahkan, jika tidak disampaikan siksa lebih dahulu dibanding penyembah berhala. Atau, ilustrasi-ilustrasi seperti orang yang berilmu, tidak disampaikan seperti pohon yang tidak berbuah.

 

 

Menjadi pendakwah di masyarakat – menurut saya – itu lebih susah, dibanding dengan berdakwah di kampus atau organisasi. Masyarakat tantangannya sangat banyak. Intelegensi atau kemampuannya berbeda-beda. Menjadi wajar, jika segala sesuatu itu akan diterima dengan “suka” atau “benci” karena tiap orang memiliki persepsi atau tanggapan yang berbeda.

 

 

Namun, jangan sampai pula seorang “pendakwah” itu berpura-pura dalam menyampaikan. Tegaslah dalam penyampaian ilmu. Ilmu itu tegas. Hanya cara penyampaiannya saja. Jangan sampai, pendakwah yang memiliki ilmu itu “didikte” atau diperintahi oleh masyarakat. Pendakwah malah ikut pada masyarakat. Beranilah “menolak” jika itu bertentangan dengan ilmu yang selama ini ia ketahui. Luruskan mana yang benar dan salah. Jangan dibiarkan yang salah itu salah. Malah menjadi kesalahan abadi. Berilah pengertian kepada masyarakat, dengan “modal” pendakatan komunikasi yang apik.

 

 

Jangan selalu di-“amini” permintaan masyarakat. Atau, saat berkumpul masukan unsur “nilai-nilai” ilmu, jangan asal bercerita atau ngobrol. Ajari atau perkenalkan huruf hijaiyah atau cara sholat. Yang penting disampaikan terlebih dahulu. Masalah ditolak atau diterima itu urusan masyarakat. Tugas pendakwah itu menyampaikan atau “tabligh”. Bukan berpura-pura tidak tahu atau mengikuti ketidakpasan atau ketidaktepatan atas suatu ilmu hanya karena “tidak enak” dengan cara pandang masyarakat.

 

 

Beranilah. Nabi Muhammad SAW mengajarkan itu. Hingga suatu puncaknya, beliau hijrah ke Madinah. Maknanya, perlu penyegaran dalam berdakwah. Atau, masyarakat Makkah susah diajak dakwah. Atau pula, Nabi Muhammad SAW dalam keadaan “genting” atas dakwahnya, sehingga Allah memerintahkan untuk berhijrah.

 

 

Gus Mus aja, sosok ulama kharismatik dibilang “dhasmu”. Itu contoh nyata. Kita sebagai umat yang berilmu sudah cukup berpura-pura. Sudah saatnya berdakwah dengan ilmu yang kita punya. Minial satu huruf. Waallahu’alam.

 

 

Semarang 19 Mei 2017

 

Previous Older Entries