Dakwah : Konsen ke Masyarakat (2)
Oleh Agung Kuswantoro
Masyarakat secara bahasa artinya sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (KBBI). Membaca dan mengartikan definisi masyarakat secara KBBI saja – yang masih dasar – menjadikan saya berpikir jernih dan berhati-hati dalam bertindak.
Berpikir jernih, karena ada unsur “sejumlah manusia”, bukan satu manusia. Berarti lebih dari satu manusia. Bahkan kata selanjutnya, seluas-luasnya. Sekali lagi seluas-luasnya. Malah tambah jelas definisinya. Berarti, jumlah manusia banyak.
Satu manusia saja memiliki permikiran sendiri. Dua orang manusia belum tentu pemikirannya sama. Apalagi, sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya. Jelas banyak pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda.
Hebat, jika ada seorang pemimpin yang mampu “tampil” atas perbedaan-perbedaan pendapat itu. Top, jika ada tokoh masyarakat yang mampu menjembatani “pola pikir” masyarakat yang unik itu. Tidaklah mudah untuk mempersepsikan dalam satu tujuan yang sama.
Ramadan adalah bulan yang mulia. Banyak pendapat dan pola pikir masyarakat mengenai cara penyambutannya, hingga cara pelaksanaan ibadah-ibadah sunahnya. Misal, tarawih. Ada yang menginginkan 8 rokaat. Ada pula yang menginginkan 20 rokaat. Lalu, mana yang akan digunakan? Jika Anda sebagai Imam? Bahkan, “masyarakat yang dalam arti seluas-luasnya” menghendaki 20 rokaat. Jelas ini paksaan, jika imam menginginkan 8 rokaat.
Masyarakat itu terikat suatu budaya. Pola masyarakat bergantung pada budaya. Budaya adalah nilai atau hasil karya, cipta, dan rasa yang bernilai tinggi. Bahasa saya adalah “pokoke”, “kudu”, “wis adat”, dan seterusnya. Jika demikian, apa pun budayanya, pasti sudah mengakar pada pola pikir masyarakat. Masyarakat tak usah ambil pusing. Asal, kalau itu budaya, pasti ia akan lakukan. Logika dia, akan dinomor duakan.
Susah! Ada point “sejumlah manusia” dan “budaya”. Tidak mudah itu. Jika seseorang bertolak belakang, dengan budaya di suatu masyarakat, dapat dipastikan ia akan berbeda pemikiran atas masyarakat tersebut. Berbeda budaya, bukan dimaknai pandai atau menolaknya. Tetapi, cara pandangnya saja.
Menjadi ustad atau kiai di masyarakat itu lebih susah dibanding menjadi imam atau “kiai” di lembaga atau kantor. Lembaga, lebih mengutamakan pemikiran atau cara pandangnya. Biasanya, pemikirannya terbuka. Tetapi di masyarakat, belum tentu semua terbuka. Menyampaikan sesuatu yang baik, belum tentu diterima dengan kebaikan pula.
Saat kita diberi amanah di masyarakat, maka haruslah amanah. Bahasa saya, konsen. Ya, konsen ke masyarakat. Karena, tidak semua orang mendapatkan amanah di masyarakat. Masyarakat pasti sudah menilai dari apa yang sudah dilakukan oleh kita, sehingga mereka (masyarakat) menunjuk kita.
Jika kita ada posisi tersebut, menurut saya ikuti saja “pola” masyarakat tersebut. Ikuti budaya masyarakat tersebut, walaupun menurut kita berbeda. Sembari waktu berjalan, sampaikan perbedaan pemikiran kita, saat kita diberi amanah tersebut. Mengapa demikian? Karena, posisi kita sudah di depan orang atau sudah melaksanakan atas amanah mereka. Perlu kita ketahui pula, menjalankan amanah bukanlah hal mudah.
Kita jaga konsen ke masyarakat, karena konsen itu amanah dari mereka. Memang tidak semua amanah itu dibayar dengan uang, tetapi kepercayaan itulah yang harus dijaga. Kita hidup diantara mereka. Besok, saat kita mati, akan dimakamkan dan siapa yang akan mengurus jenazah kita? Jika, kita jauh dari mereka, bersiaplah kelak kita akan pulang kampung jenazah kita. Atau, kita hidup di masyarakat hanya hidup untuk diri sendiri, tidak untuk orang lain. Karena, kita hanya konsen pada diri sendiri. Tidak konsen kepada masyarakat. Itulah yang saya rasakan saat ini yaitu konsen ke masyarakat dengan menjaga amanah mereka, khususnya masalah masjid, karena masjid itu milik masyarakat, bukan milik saya. Sehingga, model niat kepada Allah harus tinggi dalam konsen ke masyarakat, karena Allah yang akan menjadi tempat tujuan kita, bukan masyarakat. Jadi, Allah tetap nomor satu. Ditinggalkan Allah lebih susah, dibanding ditinggalkan masyarakat. Waallhu’alam.
Semarang, 26 Mei 2017