Menggagas Rumah Rehabilitasi Mental

Menggagas Rumah Rehabilitasi Mental

Oleh Agung Kuswantoro

 

Presiden Jokowi yang getol dengan slogan Revolusi Mental sangat bagus di era sekarang, di mana masalah mental (baca: akhlak) sekarang menurun. Baru-baru ini ada pesta Gay di Kelapa Gading, Jakarta. Pelaku yang mengelabui dengan pusat kebugaran, namun dialih fungsikan menjadi tempat yang terlarang.

 

Membaca pemberitaan tersebut. mengelus dada, saya. Sembari berdoa, semoga bangsa ini masih di lindungi oleh Allah. Mohon ampun, mungkin kita sebagai orang tua tidak memberikan nasihat atau mengawasi perilaku anak kita sendiri. Sebagian besar yang tertangkap berusia antara 25 hingga 35 tahun. Maknanya, mereka masih muda.

 

Pagi ini (23/5), ada 126 pelaku pesta Gay dibebaskan. Dalam hati, kenapa dibebaskan? Apakah tidak ada Rehabilitasi Mental? Misal saja, saat orang mengonsumsi narkoba, biasanya diarahkan untuk rehabilitasi ke Badan Nasional Narkoba (BNN) atau Kementerian Sosial. Atau contoh lain, saat anak ada yang trauma karena kekerasan, maka ada Komisi Perlindungan Anak di rumah Singgah. Gunanya untuk memulihkan psikologis pasca kekerasan yang menimpanya.

 

Lalu, bagaimana dengan pelaku Gay? Apakah langsung bebas begitu saja? Menurut saya, kurang tepat. Takutnya, saat kembali ke masyarakat, jika ada orang yang mengajaknya. Maaf, lingkungan tidak selamanya alim atau baik. Sangat besar, kemungkinannya ia akan terlibat dalam tindakan yang lama. Disinilah letak pentingnya rehabilitasi mental.

 

Saya tidak tahu teknisnya. Saya hanya orang yang mendengarkan berita dan sedih melihatnya. Saya juga tidak menyalahkan pelakunya. Sebagai hamba Allah yang diciptakan di bumi, saling mendoakan. Jangan menghukum orang tersebut telah melakukan kesalahan. Hanya Allah yang berhak menerima taubat seseorang. Namun, sebagai manusia minimal kita menyempitkan pada melakukan perbuatan yang tidak terpuji.

 

Mungkin di antara mereka, hanya kebawa lingkungan. Orang tuanya dulu sangat sibuk dengan urusannya. Atau alasan lainnya. Disinilah pentingnya, lingkungan kedua yaitu masyarakat agar membuat kondisi yang shaleh atau baik. Jangan sampai, anak kita terlibat dalam perbuatan yang tercela. Lalu, kita tingkatkan pada level masyarakat untuk meningkatkan dan tidak memberi ruang agar tidak berbuat yang jauh dari norma agama. Agama mana pun, saya yakin melarang perbuatan tersebut.

 

Mari, kita arahkan anak kita menjadi anak yang sholeh. Bimbing mereka dengan baik. Ajak ke tempat yang baik seperti masjid. Jangan selalu diajak ke tempat-tempat yang “menyenangkan” saja. Kuatkan lingkungan keluarga. Lalu, buatlah norma yang baik di masyarakat tersebut. minimal dua lingkungan ini, yaitu keluarga dan masyarakat.

 

Bali, 23 Mei 2017

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: