Dakwah : Referensi (18)

 

Dakwah : Referensi (18)

Oleh Agung Kuswantoro

 

Saat mendengarkan khutbah Idul Fitri di Masjid Sulang, Rembang saya mendengarkan pesan bahwa marah itu perlu. Marah harus dalaml keadaan seimbang. Ia tidak boleh dalam keadaan berlebihan dan berkurang. Saat ia dalam keadaan lebih, maka orang tersebut mudah memukul, bahkan hingga membunuh, saat ia dalam keadaan kurang, maka orang tersebut tidak bergairah dalam hidupnya.

 

Mendengar khutbah tersebut, saya menjadi bertanya yaitu rujukan dari isi khutbah tersebut berasal dari mana? Karena ada hadis yang artinya orang yang paling kuat adalah orang yang bisa menahan marah. Nabi Muhammad SAW meneladani kepada umatnya juga tidak pernah emosi, meskipun dalam keadaan tersakiti batin dan fisiknya.

 

Kejadiannya, menjadi refleksi bagi pengkhutbah atau orang biasa berbicara di depan untuk membiasakan menuliskan referensi  atau rujukan dalam isi pesannya. Sehingga pendengar atau jamaah tidak bingung menerimanya. Bahkan, saat penasaran ia (jamaah) akan memuka referensi yang akan dimaksud oleh pendakwah.

 

Referensi penting sebagai acuan pendakwah. Pendakwah tidak boleh mengarang. Pendakwah tidak boleh plagiat. Dan, pendakwah tidak boleh copi paste, kecuali dalam mengutip alquran dan hadist serta sumber yang jelas. Sehingga, pendengar (jamaah) tidak bingung atau bertanya-tanya dalam hati mengenai isi khutbahnya.

 

Rembang, 26 Juni 2017

Dakwah : Mengajak (17)

Dakwah : Mengajak (17)

Oleh Agung Kuswantoro

Esensi atau inti dari dakwah adalah mengajak. Menurut wikipidia, dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan aqidah, akhlak, dan syariat Islam. Dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata da’a yad’u yang berarti panggilan, seruan, atau ajakan.

 

Namanya juga mengajak, berarti ada kalanya tidak diterima atas ajakan pendakwah. Atau sebaliknya, bisa diterima oleh orang yang diajaknya. Mengajak bukan memaksa. Mengajak bukan pula harus diikuti. Tirulah Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah. Ajakannya saat ditolak, malah tidak marah. Hingga Malaikat getun atau menawarkan untuk menghancurkan orang yang tidak mau mengikuti ajakan Nabi Muhammad SAW, namun Nabi Muhammad SAW menolaknya. Karena dakwah tetap harus menggunakan akhlak.

 

Jika dakwah tidak menggunakan akhlak, maka disebut pemaksaan. Nanti orang akan mengenal Islam dengan pemaksa, padahal Nabi Muhammad SAW mencontohkannya selalu dalam berdakwah dengan menggunakan perilaku yang santun, meskipun berhadapan dengan orang yang tidak beragama Islam.

 

Dakwah bukan pula pembenaran. Jika dakwah itu pembenaran, maka hasilnya harus atau kudu (dalam bahasa Jawa). Mengalir saja. Sampaikan! Intinya, sampaikan saja dengan balutan akhlak, aqidah, dan syariat Islam. Jika dakwah itu pembenaran, maka yang akan terjadi perdebatan. Terlebih itu di masyarakat (awam), pasti akan ramai mereka akan menganggapnya aneh.

 

Pendakwah harus punya akhlak yang mulia. Penyampaiannya harus berdasarkan syariat dan aqidah. Penyampaian harus lurus. Penyampaian suatu pesan, jangan ditambah-tambahi. Atau pula, dikurangi pesannya. Sampaikan dengan hati yang lapang. Jangan memaksa suatu pesan. Apalagi, membenarkan suatu pesan. Wallahu ‘alam

 

Rembang, 25 Juni 2017

Bertemu Mustofa Bisri dan Ulil Absor

Bertemu Mustofa Bisri dan Ulil Absor

Oleh Agung Kuswantoro

 

Mudik telah tiba. Puasa Insya Allah hari ini yang terakhir (24 Juni 2017). Idul fitri tahun ini, saya menikmatinya di kampung halaman istri, Rembang. Hal yang terbenak dalam pikiran saya adalah Rembang ada Mustofa Bisri. Kiai yang sangat pandai dan bijak. Saya sangat kagum padanya.

 

Tak sengaja, saya solat Jumat di masjid Agung Rembang duduk di bawah mimbar khotib. Saya duduk berbeda hanya satu sof (barisan). Saya memperhatikannya, begitu khusuk berdikir. Semua orang pun takdzim (menghormatinya) dengan mencium tangan saat bersalaman.

 

Sepulang dari masjid, saya langsung bergegas ke pondok yang diasuhnya. Disitu saya berencana membeli buku-bukunya. Namun, penjual buku yang ada di koperasi pondok pesantrennya sedang keluar (tidak ada berada di pondok). Akhirnya, saya hanya bisa berkencang dengannya agar bisa membeli bukunya.

 

Pada kesempatan itu pula, saya memperhatikan pondok yang diasuhnya. Sederhana pondoknya. Ada beberapa santri yang tinggal di situ. Ada tempat kajian utama. Tempat kajian utama itu yang ada di you tube. Setiap ruang ada kitab yang sedang dibaca oleh santrinya. Di sudut ruang terdapat kitab-kitab kuning. Saya pun mencocokkan dengan gambar yang di youtube mengenai pengajiannya. Ya, di tempat itulah kajian agama dilakukan.

 

Kitab kuning bacakan per kata. Perkata dimaknai lengkap dengan kedudukannya seperti mubtada, khobar, naat, dan tanda bacanya. Mengapa dibaca fathah (nasab), dhomah (rofah), dan kasroh (jer). Selain itu, asal katanya seperti dalam sorof. Detail sekali. Saya pun menyimaknya. Sembari mengingat pelajaran bahasa Arab, nahwu, sorof, dan imla.

 

Mustofa Bisri keren. Secara bacaan kitab kuning saja sudah begitu jagonya. Ngeper bagi orang yang akan berdebat dengannya tanpa ada dasar keilmuan yang cukup. Tak pantas rasanya, ada orang yang mencacinya. Akhlaknya santun. Keilmuannya tinggi. Diam dan tenang batinnya saat berhadapan dengan orang.

 

Di pondok itu pula saya melihat Ulil Absor, menantunya. Bicara Ulil, jadi ingat Pak Hernowo yang mengikuti kajian Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Pemikirannya Ulil luar biasa. Ia sepengetahuan saya dididik oleh Kiai Sahal Mahfud (almarhum), Pati. Ia berasal dari Pati pula. Senang rasanya melihat antara mantu dan mertua. Mereka pandai semua. Pikirannya di luar batas. Perilakunya santun.

 

Saya melihat buku dan membaca sinopsisnya saja sudah membayangkan dasyatnya kedua orang tersebut. Budaya pesantrennya sangat kuat. Pesantren yang masih sederhana, bisa mengorbitkan orang-orang yang berpikiran sangat dasyat.

 

Hari ini saya berencana menemui santrinya untuk mengambil buku karyanya. Semoga bisa lancar acaranya. Kita doakan, semoga keduanya sehat selalu agar santri-santri dan masyarakatnya bisa mengaji di pondoknya. Amin

 

Rembang, 24 Juni 2017

Buku Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran

cover manajemen keselamatan kerja kantor

KATA PENGANTAR

 

Pembelajaran mata kuliah manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (MK3) atau mata pelajaran keselamatan kesehatan kerja lingkungan hidup (K3LH) di sekolah atau universitas mencakup materi tentang keselamatan kerja di lingkungan industri dan kesehatan. Kurikulum pendidikan administrasi perkantoran tahun 2012 dan 2015 didalamnya terdapat matakuliah MK3. Pada tahun 2013 saya mengampu matakuliah tersebut. Materi-materi yang saya berikan sebagaimana dalam buku-buku yang beredar yaitu mengenai keselamatan kerja di industri. Melihat materi-materi tersebut, dalam benak hati saya menolak materinya, karena mahasiswa yang saya ajar adalah prodi pendidikan administrasi perkantoran, di mana materi-materi tersebut tidak ada korelasinya dengan prodi mereka yang notabene adalah kerja di sekolah atau kantor. Jika mereka lulus kemudian mengambil profesi guru, maka mereka akan mengampu mata pelajaran K3LH di SMK. Jika mereka lulus kemudian mereka mengambil profesi administrasi, maka mereka dapat mempraktekkan matakuliah ini sesuai dengan keadaannya yaitu di kantor. Namun karena tidak ada buku (sampai saat ini) saya belum menemukan keselamatan kerja kantor, sehingga saya berinisiatif untuk membuat modul dengan singkatan MK3. Modul ini khusus manajemen keselamatan bagi orang yang bekerja di kantor. Pastinya isinya berbeda dengan MK3 yang sebagaian besar mengkaji keselamatan dalam dunia industri dan kesehatan.

 

Kompetensi dalam MK3 yaitu konsep dasar keselamatan dan kesehatan kerja, pekerjaan-pekerjaan kantor, faktor-faktor kesalahan dalam pekerjaan kantor, tata ruang kantor/ desain kantor/ layout kantor, keselamatan dalam pekerjaan kantor, permasalahan dalam pekerjaan kantor, penyelamatan dokumen kantor (arsip), pemeliharaan dan keamanan dokumen kantor (arsip), pemeliharaan alat-alat kantor, standarisasi kantor atau standarisasi alat kantor, gizi kerja sehat dan seimbang, dan studi kasus MK3 di lingkungan sekitar.

 

Kompetensi-kompetensi tersebut diatas adalah kompetensi turunan dari materi MK3 yang pada umumnya, hanya saja ada penyesuain bidang yaitu pendidikan administrasi perkantoran. Jadi melalui kompetensi-kompetensi di atas diharapkan saya dapat memberikan materi-materi yang sesuai dengan kompetensi prodinya, tidak mengajarkan materi-materi yang di luar kompetensi prodi. Dampak saya memberikan kompetensi di atas adalah tidak adanya buku atau modul yang sesuai dengan MK3. Sampai saat ini saya belum menemukan literatur mengenai keselamatan kerja kantor. Dan, jarang orang meneliti mengenai MK4. Seiangat saya, ada tokoh administrasi yang terkenal dari Universitas Gajah Mada (UGM) bernama The Liang Ghie. Beliau memaparkan prosentase pekerjaan administrasi mulai dari menulis, menghitung, menyimpan, mengirim, menggandakan, dan lainnya. Beliau memiliki keberanian dalam teorinya dimana pekerjaan administrasi yang diprosentasekan. Maknanya, bahwa beliau pernah meneliti mengenai pekerjaan administrasi. Namun saat sekarang, jarang saya menemukan teori-teori administrasi yang setajam beliau.

 

Contoh di atas, contoh cara meneliti pekerjaan kantor. Hal ini sebagai dasar saya dalam membuat kompetensi-kompetensi yang akan saya ajarkan kepada mahasiswa. Misal kesalahan dalam pekerjaan kantor. Jika kita mencari teorinya, maka dapat dikatakan tidak menemukan. Namun jika kita meneliti atau observasi maka akan menemukan jawabannya. Hal inilah yang akan saya lakukan bersama mahasiswa yaitu menanyakan secara langsung mengenai faktor kesalahan dalam pekerjaan kantor. Pola yang akan saya lakukan pastinya, agak susah dilakukan. Namun dengan niat dan usaha serta kerjasama dengan mahasiswa, saya yakin akan tercipta kelak model manajemen kesalamatan dan kesehatan kerja kantor. Mohon doanya semoga kelak saya bisa menuliskannya dalam sebuah modul atau buku mengenai materi tersebut, di mana buku tersebut sangat dibutuhkan oleh guru-guru di SMK.

 

 

Semarang, 18 Maret 2016

Penulis,

 

Agung Kuswantoro

 

Dakwah: Butuh Pendamping/ Partner (8)

Dakwah: Butuh Pendamping/ Partner (8)

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Dalam berdakwah dibutuhkan partner (pendamping) yang akan selalu menemani pendakwah tersebut. Partnernya, pastinya orang yang berilmu. Tujuannya, apabila posisi pendakwah pertama ada suatu udzur atau halangan dapat digantikan oleh partner tersebut. Partner tersebut, Insya Allah sudah mengetahui seluk-beluk kondisi akan masyarakat, karena ia selalu menemani pendakwah utama.

 

 

Partner ini bertujuan agar rutinitas dakwah atau kegiatan yang dipimpin langsung oleh pendakwah utama tidak terhenti saat pendakwah utama berhalangan hadir. Berhalangan hadir dikarenakan sakit atau ada kepentingan.

 

 

Pendakwah utama harus “cermat” menentukan partner. Jangan asal atau menggunakan prinsip “ora kepenak”. Karena, tujuannya adalah umat. Umat atau masyarakat harus diarahkan dan dituntun. Partner pun harus mampu mengarahkan dan  menuntun masyarakat. Jadi pendakwah utama harus “jeli” memilih partner dalam dakwahnya, agar kegiatan dakwah tetap berlangsung, meskipun pendakwah uama berhalangan hadir. Waallahu’alam.

 

 

Semarang, 5 Juni 2017

 

 

 

Refleksi: Aku, Keluarga, Masyarakat, dan Negara

Refleksi: Aku, Keluarga, Masyarakat, dan Negara

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Membuat tulisan mengenai refleksi diri, rasanya tidaklah mudah. Saya mencoba merenungi “keberadaan diri” saya sendiri. Sekarang usia saya, 34 tahun. Bekerja sebagai dosen. Hidup diperantauan yaitu Kota Semarang. Lalu, dimanakah posisi sekarang? Dan, mau kemana arah hidup saya?

 

 

Saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dalam diri saya ada aku, keluarga, masyarakat, dan negara. Pertama, saya. Saya adalah orang yang ingin selalu hidup tak sekedar hidup. Hidup harus lebih hidup. Salah satu agar saya bisa hidup adalah berpikir dan beribadah. Berpikir dengan cara menulis. Beribadah dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, baik berupa ibadah sosial atau ibadah “ritual”.

 

 

Kedua, keluarga. Dalam diri saya, ada peran yang sangat vital dalam keluarga, yaitu posisi sebagai bapak dari anak-anak dan suami dari istri. Bapak dan suami, memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga. Tidak mudah memainkan peran itu. Terlebih saat bekerja.

 

 

Ketiga, masyarakat. Alhamdulillah masih berguna hidup saya di masyarakat. Masyarakat selalu menanti saya, khususnya saat sholat Subuh dan kajian fiqih Subuh. Saya tidak pernah meminta “jam” atau “waktu” untuk tampil di depan mereka. Apalagi, meminta jadwal untuk menjadi pengkhutbah Jum’at. Hidup saya tak cukup untuk hidup di keluarga saja. Tetapi, masyarakat pun membutuhkan kehadiran saya. Saya pun harus mampu membagi waktu untuk masyarakat dan keluarga. Demikian juga, keluarga harus ikhlas, saat saya konsen dalam kegiatan. Tetapi digunakan untuk keperluan masyarakat. Alhamdulillah, keluarga saya tidak mempermasalahkan hal ini. Justru, senang karena berguna di masyarakat.

 

 

Keempat, negara. Kaitan diri saya dengan negara adalah profesi saya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS. Seperti, kita ketahui bahwa menjadi “pegawai” harus tunduk kepada aturan pemerintah. Saat ada pekerjaan yang bersifat luar Kota atau luar Pulau, maka sudah menjadi konsekuensi bagi saya untuk meninggalkan keluarga dan masyarakat, demi untuk tugas negara tersebut. Bahkan, sifatnya seringnya mendadak. Biasanya, jika tidak bersifat mendadak saya merencanakan beberapa persiapan bagi keluarga dan masyarakat yang akan saya tinggalkan sementara waktu. Misalnya, pamit untuk imam sholat subuh agar ada yang menggantikan. Atau, membelanjakan perbekalan rumah tangga agar keluarga yang ditinggalkan tidak kesusahan.

 

Keempat unsur dalam diri saya itulah yang saya rawat. Saya harus atur sejak sekarang. Jika, saya hanya memikirkan diri sendiri, maka saya adalah orang yang paling egois. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna untuk sesama? Mari, kita atur kehidupan kita agar kita menjadi diri yang bermanfaat kepada sesama, tanpa harus meminta “jam” atau “jadwal” agar kita terpajang  namanya di masyarakat atau negara. Biarlah, masyarakat atau negara yang memilihnya. Oleh karenanya, perbaiki diri kita dari sekarang. Agar mereka dapat menilai diri kita sendiri. Waallahu’alam.

 

 

Semarang, 5 Juni 2017