Refleksi: Aku, Keluarga, Masyarakat, dan Negara
Oleh Agung Kuswantoro
Membuat tulisan mengenai refleksi diri, rasanya tidaklah mudah. Saya mencoba merenungi “keberadaan diri” saya sendiri. Sekarang usia saya, 34 tahun. Bekerja sebagai dosen. Hidup diperantauan yaitu Kota Semarang. Lalu, dimanakah posisi sekarang? Dan, mau kemana arah hidup saya?
Saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dalam diri saya ada aku, keluarga, masyarakat, dan negara. Pertama, saya. Saya adalah orang yang ingin selalu hidup tak sekedar hidup. Hidup harus lebih hidup. Salah satu agar saya bisa hidup adalah berpikir dan beribadah. Berpikir dengan cara menulis. Beribadah dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, baik berupa ibadah sosial atau ibadah “ritual”.
Kedua, keluarga. Dalam diri saya, ada peran yang sangat vital dalam keluarga, yaitu posisi sebagai bapak dari anak-anak dan suami dari istri. Bapak dan suami, memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga. Tidak mudah memainkan peran itu. Terlebih saat bekerja.
Ketiga, masyarakat. Alhamdulillah masih berguna hidup saya di masyarakat. Masyarakat selalu menanti saya, khususnya saat sholat Subuh dan kajian fiqih Subuh. Saya tidak pernah meminta “jam” atau “waktu” untuk tampil di depan mereka. Apalagi, meminta jadwal untuk menjadi pengkhutbah Jum’at. Hidup saya tak cukup untuk hidup di keluarga saja. Tetapi, masyarakat pun membutuhkan kehadiran saya. Saya pun harus mampu membagi waktu untuk masyarakat dan keluarga. Demikian juga, keluarga harus ikhlas, saat saya konsen dalam kegiatan. Tetapi digunakan untuk keperluan masyarakat. Alhamdulillah, keluarga saya tidak mempermasalahkan hal ini. Justru, senang karena berguna di masyarakat.
Keempat, negara. Kaitan diri saya dengan negara adalah profesi saya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS. Seperti, kita ketahui bahwa menjadi “pegawai” harus tunduk kepada aturan pemerintah. Saat ada pekerjaan yang bersifat luar Kota atau luar Pulau, maka sudah menjadi konsekuensi bagi saya untuk meninggalkan keluarga dan masyarakat, demi untuk tugas negara tersebut. Bahkan, sifatnya seringnya mendadak. Biasanya, jika tidak bersifat mendadak saya merencanakan beberapa persiapan bagi keluarga dan masyarakat yang akan saya tinggalkan sementara waktu. Misalnya, pamit untuk imam sholat subuh agar ada yang menggantikan. Atau, membelanjakan perbekalan rumah tangga agar keluarga yang ditinggalkan tidak kesusahan.
Keempat unsur dalam diri saya itulah yang saya rawat. Saya harus atur sejak sekarang. Jika, saya hanya memikirkan diri sendiri, maka saya adalah orang yang paling egois. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna untuk sesama? Mari, kita atur kehidupan kita agar kita menjadi diri yang bermanfaat kepada sesama, tanpa harus meminta “jam” atau “jadwal” agar kita terpajang namanya di masyarakat atau negara. Biarlah, masyarakat atau negara yang memilihnya. Oleh karenanya, perbaiki diri kita dari sekarang. Agar mereka dapat menilai diri kita sendiri. Waallahu’alam.
Semarang, 5 Juni 2017