Oleh Agung Kuswantoro
Istilah “Diatas Garis”, saya mengambil dari Sabam Silaban – penulis buku Guru Diatas Garis. Tidak hanya guru dan siswa yang diatas garis, mahasiswa pun bisa, menurut Saya. Saat pertemuan pertama perkuliahan, saya masuk pada kelas rombel dengan jurusan yang berbeda dengan jurusan saya. Tantangan bagi saya untuk mengajar kelas tersebut. Tetapi, saya diuntungkan karena kita (saya selaku dosen dan mahasiswa) tidak saling mengenal.
Ibarat petinju, saya puas memukul lawan. Sebaliknya, lawan pun bebas memukul saya, ke bagian yang dikehendaki, asal masih sesuai dengan koridor. Tanpa ada tedeng, bahwa saya anak petinju terkenal, atau mahasiswa berasal dari keluarga terhormat. Bebas di ring tinju itu. Saling pukul.
Artinya, saya bebas memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada mahasiswa, tanpa melihat latar belakang mahasiswa. Sebaliknya, mahasiswa bebas bertanya kepada saya, tanpa ada rasa enggan sama sekali. Tetapi, tetap dalam koridor akademik. Karena ada aturannya. Mumpung pula pertemuan pertama, jadi untuk menentukan kontrak perkuliahan.
Kontrak perkuliahan bagi saya dalah tawar-menawar dosen dan mahasiswa. Saya selalu meng-uwongke mahasiswa. Terlebih mereka itu sudah baligh dan berakal semua. Saya bertanya pada mereka, bahwa lelaki sudah mengalami mimpi basah dan yang perempuan sudah mengalami haid. Jadi, saya berhadapan dengan orang yang terbebani hukum.
Lalu, dalam kontrak perkuliahan, saya memberikan tawaran-tawaran kepada mahasiswa. Ada mahasiswa yang meminta. Sebaliknya, mahasiswa pun memberikan tawaran-tawaran kepada saya. Sesekali saya memintanya juga. Jadi, adil.
Singkatnya, aturan (baca: kontrak) yang dibuat berdasarkan permintaan dan penawaran diantara kedua belah pihak. Aturan mahasiswa juga berlaku untuk dosen. Aturan dosen, juga berlaku untuk mahasiswa.
Misal, dalam kontrak ada klausul tidak boleh datang terlambat. Datang tepat jam awal kuliah. Dosen terlambat, akan ditinggal mahasiswa. Mahasiswa terlambat, akan ditinggal dosen alias alpha (tidak hadir). Tidak ada tawar-menawar lagi saat pelaksanaan, karena sudah menjadi kesepakatan dalam kontrak.
Saat pertemuan pertama pula, tidak mengenal sejumlah 67 mahasiswa. Saya tidak memanggili satu per satu. Saya iseng saja, dengan bertanya “Ada yang namanya Raisa?” Jawab mereka “tidak ada”. Lalu, saya panggil nama mahasiswa, “Ada yang namanya Inka Kristy?” Jawab mereka “tidak ada”. “Ada yang namanya Faisal?” Tanya saya ke mereka. Mereka menjawab “tidak ada”.
Saya melanjutkan lagi, Faisal yang memiliki Its Milk itu. Ada disini? Jawab mereka tidak ada. Pertanyaan-pertanyaan itu, sebenarnya pancingan saya kepada mereka. Lho kok, nyaris satu kelas ini saya tidak ada yang mengenalnya.
Maknanya, kita semua ini ternyata hidup lurus saja dengan garis. Datar. Tidak ada yang istimewa. Bayangkan ada yang duduk menjadi mahasiswa saya di ruang ini, seperti Dude Herlino. Pasti saya mengenalnya. Karena dia seorang yang berpotensi. Atau, sosok mahasiswa Elang Gumilang, mahasiswa IPB yang menjadi kontraktor. Tanpa saya berkenalan, pasti saya mengenalnya.
Lalu, siapakah Anda semua? (mungkin) kita selama ini melakukan kegiatan perkuliahan hanya berupa rutinitas saja. Datang pas jam kuliah, setelah selesai langsung pulang ke kos. Tiap Sabtu – Minggu pulang kampung. Otomatis, biasa hidup Anda. Anda pun menjadi mahasiswa biasa.
Cobalah untuk menjadi mahasiswa “Di Atas Garis”. Saat pertemuan pertama ini, pasti tidak perlu yang namanya perkenalan. Karena Anda sudah terkenal. Anda sudah memiliki kekuatan hidup. Mumpung masih kuliah. Optimalkan waktu Anda. Sosok-sosok mahasiswa yang saya sebutkan adalah sama dengan Anda yang berkedudukan sebagai mahasiswa. Lalu, apa bedanya? Bedanya pada semangat hidup. Jadilah yang lebih.
Mari kita cek dari diri sendiri. Saya tidak perlu mengenalkan diri. Biarlah kemampuan dan potensi saya yang akan berkenalan dengan mahasiswa. Karena kalau Saudara hebat, pasti saya akan mencari Anda. Jadilah yang hebat. Optimalkan kemampuanmu. Hargai waktu, agar kelak suatu saat kita bertemu, kita sudah saling bertanya, “Kamu punya kemampuan apa?”, bukan , “Nama kamu siapa?”. Waallahu’alam.
Semarang, 31 Agustus 2017