Mahasiswa “Di Atas Garis”

elang gumilang

Oleh Agung Kuswantoro

 

Istilah “Diatas Garis”, saya mengambil dari Sabam Silaban – penulis buku Guru Diatas Garis. Tidak hanya guru dan siswa yang diatas garis, mahasiswa pun bisa, menurut Saya. Saat pertemuan pertama perkuliahan, saya masuk pada kelas rombel dengan jurusan yang berbeda dengan jurusan saya. Tantangan bagi saya untuk mengajar kelas tersebut. Tetapi, saya diuntungkan karena kita (saya selaku dosen dan mahasiswa) tidak saling mengenal.

 

Ibarat petinju, saya puas memukul lawan. Sebaliknya, lawan pun bebas memukul saya, ke bagian yang dikehendaki, asal masih sesuai dengan koridor. Tanpa ada tedeng, bahwa saya anak petinju terkenal, atau mahasiswa berasal dari keluarga terhormat. Bebas di ring tinju itu. Saling pukul.

 

Artinya, saya bebas memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada mahasiswa, tanpa melihat latar belakang mahasiswa. Sebaliknya, mahasiswa bebas bertanya kepada saya, tanpa ada rasa enggan sama sekali. Tetapi, tetap dalam koridor akademik. Karena ada aturannya.  Mumpung pula pertemuan pertama, jadi untuk menentukan kontrak perkuliahan.

 

Kontrak perkuliahan bagi saya dalah tawar-menawar dosen dan mahasiswa. Saya selalu meng-uwongke mahasiswa. Terlebih mereka itu sudah baligh dan berakal semua. Saya bertanya pada mereka, bahwa lelaki sudah mengalami mimpi basah dan yang perempuan sudah mengalami haid. Jadi, saya berhadapan dengan orang yang terbebani hukum.

 

Lalu, dalam kontrak perkuliahan, saya memberikan tawaran-tawaran kepada mahasiswa. Ada mahasiswa yang meminta. Sebaliknya, mahasiswa pun memberikan tawaran-tawaran kepada saya. Sesekali saya memintanya juga. Jadi, adil.

 

Singkatnya, aturan (baca: kontrak) yang dibuat berdasarkan permintaan dan penawaran diantara kedua belah pihak. Aturan mahasiswa juga berlaku untuk dosen. Aturan dosen, juga berlaku untuk mahasiswa.

 

Misal, dalam kontrak ada klausul tidak boleh datang terlambat. Datang tepat jam awal kuliah. Dosen terlambat, akan ditinggal mahasiswa. Mahasiswa terlambat, akan ditinggal dosen alias alpha (tidak hadir). Tidak ada tawar-menawar lagi saat pelaksanaan, karena sudah menjadi kesepakatan dalam kontrak.

 

Saat pertemuan pertama pula, tidak mengenal sejumlah 67 mahasiswa. Saya tidak memanggili satu per satu. Saya iseng saja, dengan bertanya “Ada yang namanya Raisa? Jawab mereka tidak ada. Lalu, saya panggil nama mahasiswa, “Ada yang namanya Inka Kristy?” Jawab mereka “tidak ada. Ada yang namanya Faisal? Tanya saya ke mereka. Mereka menjawab “tidak ada.

 

Saya melanjutkan lagi, Faisal yang memiliki Its Milk itu. Ada disini? Jawab mereka tidak ada. Pertanyaan-pertanyaan itu, sebenarnya pancingan saya kepada mereka. Lho kok, nyaris satu kelas ini saya tidak ada yang mengenalnya.

 

Maknanya, kita semua ini ternyata hidup lurus saja dengan garis. Datar. Tidak ada yang istimewa. Bayangkan ada yang duduk menjadi mahasiswa saya di ruang ini, seperti Dude Herlino. Pasti saya mengenalnya. Karena dia seorang yang berpotensi. Atau, sosok mahasiswa Elang Gumilang, mahasiswa IPB yang menjadi kontraktor. Tanpa saya berkenalan, pasti saya mengenalnya.

 

Lalu, siapakah Anda semua?  (mungkin) kita selama ini melakukan kegiatan perkuliahan hanya berupa rutinitas saja. Datang pas jam kuliah, setelah selesai langsung pulang ke kos. Tiap Sabtu – Minggu pulang kampung. Otomatis, biasa hidup Anda. Anda pun menjadi mahasiswa biasa.

 

Cobalah untuk menjadi mahasiswa “Di Atas Garis”. Saat pertemuan pertama ini, pasti tidak perlu yang namanya perkenalan. Karena Anda sudah terkenal. Anda sudah memiliki kekuatan hidup. Mumpung masih kuliah. Optimalkan waktu Anda. Sosok-sosok mahasiswa yang saya sebutkan adalah sama dengan Anda yang berkedudukan sebagai mahasiswa. Lalu, apa bedanya? Bedanya pada semangat hidup. Jadilah yang lebih.

 

Mari kita cek dari diri sendiri. Saya tidak perlu mengenalkan diri. Biarlah kemampuan dan potensi saya yang akan berkenalan dengan mahasiswa. Karena kalau Saudara hebat, pasti saya akan mencari Anda. Jadilah yang hebat. Optimalkan kemampuanmu. Hargai waktu, agar kelak suatu saat kita bertemu, kita sudah saling bertanya, “Kamu punya kemampuan apa?”, bukan , “Nama kamu siapa?”. Waallahu’alam.

 

 

Semarang, 31 Agustus 2017

Agung, Afgan, dan Agnes Monika

Agung, Afgan, dan Agnes Monika

Oleh Agung Kuswantoro

 

Tak kenal, tak sayang. Pepatah itulah yang sering kita dengar saat perkenalan pada mahasiswa baru. Bagi saya, perkenalan dengan menyebut nama diri, alamat, umur, dan seterusnya, itu adalah hal biasa. Namun, kenapa Afgan atau Agnes Monika saat dipanggung atau di sebuah acara, tak perlu mengenalkan diri?

 

Disinilah menurut saya, adalah ada permasalahan. Saya sebagai dosen, nyaris satu kelas tidak ada yang kenal. Saat ada Afgan naik panggung, semua penonton mengenalnya. Padahal dosen “panggung” akademiknya adalah kelas.

 

Pada pertemuan pertama, yang biasanya dosen berkenalan dengan mahasiswa. Namun, saya membuat “permainan kecil-kecilan”. Sebagaimana cerita di atas. Kemudian saya bertanya kepada mahasiswa. “Apakah Anda yakin, bahwa yang duduk dan berdiri di depan Anda adalah dosen Anda?” mahasiwa semua diam tidak ada yang menjawabnya.

 

Lalu, siapakah dosen pada mata kuliah ini? Mahasiswa menjawab, “Bu X”; selaku dosen pertama, dan Pak Agung, selaku dosen kedua. Jawaban ini mementahkan bahwa, dosen yang berdiri di hadapan mahasiswa bukan seorang perempuan. Jadi, jelas laki-laki, jenis kelaminnya. Kemudian, yakinlah, kalau dia adalah Agung? Sebut saya kepada mahasiswa. Mahasiswa diam. Akhirnya, ada mahasiswa – Umar, namanya – karena Bapak tadi berbicara tentang ilmu tersebut dan bertemu dengan Ibu X. Ada juga mahasiswa, menyatakan bahwa saya melihat Bapak di simpeg.unnes.ac.id, saya yakin bahwa Bapak adalah Agung Kuswantoro.

 

Akhirnya, saya mengiyakan, bahwa saya adalah Agung Kuswantoro. “Geli” mendengar mahasiswa tidak mengetahui atau belum mengenal tokoh-tokoh yang telah menginspirasi. Masa Rhenald Kasali, mereka tidak kenal? Kan, aneh! Sebaliknya, Agnes Monika, dan Afgan, langsung mengenalnya? Jadi, lucu nanti seorang Rhenald Kasali kenalan di kelas. Sekali lagi aneh!.

 

Itu, maknanya ada mahasiswa yang keliru dalam cara memandang tokoh seseorang. Kita tidak mengucapkan terima kasih kepada orang yang berjasa di sekitar kita. Buktinya, Wakil Rektor 1, 2, 3 dan 4 hanya beberapa yang mengenalnya. Belum lagi berbicara karyanya.

 

Saya mengajak kepada mahasiswa coba, ketik nama Anda di Google, disitulah awal orang akan mengenal Anda. Carilah orang yang mampu merubah hidup Anda menjadi suskes. Jangan cari orang yang hidupnya datar. Rubahlah cara pandang Anda dalam memilih sosok idola Anda. Disitulah gambaran, bahwa Anda luar biasa. Jelas, kehidupan Anda akan luar biasa. Sebaliknya, jika contohnya adalah sosok yang tidak terkenal dan hidupnya “datar”, dapat dipastikan hidup Anda datar pula. Salam sukses!

 

 

Semarang, 30 Agustus 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Menutup Mata

Menutup Mata

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Dunia itu menggoda. Dunia itu memang indah. Dan, dunia itu sangat mempesona. Siapa yang tidak tergiur? Ada mobil bagus? Ada wanita cantik? Ada rumah yang luas? Dan, ada tumpukan harta? Siapa yang tidak menginginkan itu?

 

 

Secara manusiawi, saya mau. Tetapi, seperti apa itu kemauannya? Nah, disinilah kita harus menjaganya. Alqur’an surat Alkahfi ayat 28 menyebutkan, “Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka, karena mengharapkan perhiasan dunia”. Point penggalan ayat inilah yang saya tangkap, bahwa orang musyrik sangat bergelimang dunia. Nabi Muhammad SAW, diseru oleh Allah untuk menjaga hatinya agar tidak tergoda dari rayuan dunia. Demikian kita, sebagai umatnya tahan terhadap rayuan dunia.

 

 

Namanya saja, godaan. Pasti sangat menggiurkan. Namanya ujian, pasti sangat memberatkan. Tutuplah mata Anda. Tutuplah hati Anda dalam masalah ini. Biarkan Allah yang membukakan. Jangan sampai “gila” dunia. Belum tentu yang dunianya banyak itu bahagia. Kebahagiaan yang hakiki ada pada hati. Bukan pada harta, wanita, mobil, dan tanah. Mari jaga hati kita, dan tutup rapat mata kita untuk masalah dunia, seperti di atas. Waallahu’alam.

 

 

 

Semarang, 28 Agustus 2017

Menyambut Idul Adha

Menyambut Idul Adha

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Tak terasa 1 pekan lagi kita akan merayakan Hari Raya Idul Adha. Posisi sekarang, tanggal 3 Dzulhijjah, berarti ada tujuh hari menuju hari besar tersebut. Peristiwa yang paling monumental pada tanggal tersebut yaitu hari penyembelihan Nabi Ismail selaku Anak, yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, selaku Bapak.

 

Pertanyaannya, mengapa peristiwa tersebut sangat bersejarah hingga dirayakan sampai detik ini? Pastinya, memiliki filosofi yang dalam. Dalam kitab Durrotun Nasihin dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim AS dikenal dengan kecintaan Allah yang sangat tinggi, sehingga takwa kepada Allah levelnya sangat tinggi pula. Pada suatu ketika, Nabi Ibrahim berkurban 1000 kambing, 300 sapi, dan 100 onta. Hingga malaikat dan orang-orang pun kagum pada Nabi Ibrahim AS.

 

Dan, Nabi Ibrahim AS berkata, “Setiap apa pun yang membuat aku (Nabi Ibrahim AS) dapat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga bagiku. Demi Allah, jika aku mempunyai seorang anak, niscaya aku akan menyembelihnya.

 

Waktu demi waktu berlalu dengan cepat. Pernikahan Nabi Ibrahim dengan Hajar belum dikaruniai anak, selama bertahun-tahun. Mereka menginginkan keturunan. Lama menanti sang keturunan belum pula ada tanda-tanda janin di rahim Hajar. Usaha mereka lakukan, salah satunya berdoa di Baitul Muqoddas, beliau memohon kepada kepada Allah agar dikaruniai anak. Turunkan ayat Asshofat ayat 102.

 

 

Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai pada umur sanggup bersama-sama Ibrahim (Asshofat: 102).

 

Ketika Nabi Ismail berusia 9 tahun (ada yang mengatakan 13 tahun) – bertepatan tanggal 8 Dzulhijjah) Nabi Ibrahim tidur dan bermimpi. Dalam mimpi tersebut seseorang berkata, “Wahai Ibrahim, tepatilah janjimu!” Setelah bangun dari tidur, Nabi Ibrahim berpikir dan berangan-angan ataukah syetan? Sehingga hari itu disebut hari Tarwiyyah. Tarwiyah berasal dari kata rowa yurowwi tarwwiyah yang artinya merenung. Dinamakan hari tarwiyah karena pada hari itu, Nabi Ibrahim berpikir dan merenung atas kejadian masa lalu berupa janji atau nadzar yang terlupakan.

 

Pada keesokan harinya, tanggal 9 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim mengetahui ternyata mimpinya berasal dari Allah. Sehingga pada tanggal tersebut dikenal dengan hari Arofah. Arofah berasal dari kata arofa ya’rifu arfan, yang artinya mengetahui. Mengetahui bahwa mimpi tersebut bukan dari setan. Lalu pada tanggal 10 Dzulhijjah terjadilah peristiwa penyembelihan atau nahr, dimana hari itu dikenal dengan yaumun nahr, dimana Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail.

 

Godaan dan rayuan datang berkali-kali, sebelum Nabi Ismail disembelih. Mulai dari bisikan ke Hajar untuk membatalkan penyembelihan tersebut. termasuk Nabi Ismail pun dirayu oleh setan. Akhirnya, Nabi Ismail mengambil batu dan melemparkannya kepada Iblis. Peristiwa itulah menjadi momen dalam haji yaitu melempar jumroh.

 

Setelah sampai di Mina, Nabi Ibrahim berkata kepada putranya, sebagaimana tertulis dalam Asshofat 102,

 

“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu”.

 

Ini menunjukkan bahwa, komunikasi antara Bapak dan Anak harus imbang. Tidak bisa satu arah berupa perintah. Namun unsur musyawarah tetap ada. Meminta pendapat tetap dilaksanakan, walaupun jelas, bahwa pesan tersebut adalah perintah Allah. Suatu ujian pula bagi Nabi Ismail selaku anak. Apakah Nabi Ismail bersabar dengan perintah Allah ini? Apakah Nabi Ismail menolak perintah Allah untuk disembelih? Ataukah Nabi Ismail menerima atau taat perintahnya? Nabi Ismail pun menjawab “Wahai ayahku, lakukan apa yang diperitahkan kepadamu, Insya Allah Engkau akan menemuiku termasuk orang-orang yang sabar”. Sebagaimana Asshofat ayat 100:

 

“Ya, Tuhanku, anugerahkan kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang sholeh”.

 

Singkat cerita, ternyata kejadian tersebut adalah ujian yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana dalam surat Asshofat ayat 107.

 

“Dan Kami tebus (ganti) anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.

 

Malaikat Jibril pun datang dengan membawa seekor domba yang besar. Domba tersebut merupakan domba kurban habil – putra Adam – yang masih hidup di Surga. Kemudian, kurban tersebut dijaidkan tebusan atau ganti Nabi Ismail. Malaikat Jibril pun datang dengan rasa ta’dzim (hormat) kepada Nabi Ibrahim, dengan berkata:

 

Allah Akbar Allah Akbar

Allah Maha Besar

 

Kemudian, Nabi Ibrahim menjawab:

 

La ilaha illah, Allahu Akbar

Tidak ada Tuhan, kecuali Allah, dan Allah Maha Besar

 

Nabi Ismail pun mengikuti:

 

Allahu Akbar walillahilhamdu

Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi Allah

 

 

 

 

 

 

Hikmah yang terkandung dalam peristiwa ini adalah

  1. Komunikasi dalam keluarga harus dibangun. Seorang ayah harus mampu mengajak bermusyawarah kepada istri dan anaknya.
  2. Allah menjadi kunci jawaban setiap permasalahan. Hanya Allah yang akan memberikan solusi atas masalah kita.
  3. Iblis/setan selalu hadir dalam setiap kesempatan. Libatkanlah Allah agar Iblis bisa pergi dari kehidupan kita.
  4. Kebahagiaan akan datang, setelah kita bersabar dan pasrah secara total kepada Allah.

 

Mari kita sambut hari tarwiyah dan arofah dengan berpuasa Sunah. Lalu, di hari Nahr, mari kita sambut dengan solat Id, dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Hari berikutnya, kita menikmati hari tasyriq dengan makan daging kurban yang telah disembelih. Itulah runtutan makna hari besar tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Selamat menyambut Idul Adha 1438 Hijriyah.

 

 

Semarang, 25 Agustus 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Air Got Untuk Menyirami Halaman

Air Got Untuk Menyirami Halaman

Oleh Agung Kuswantoro

 

Setiap Pagi dan Sore, saya selalu melewati perkampungan saya. Kebetulan, rumah saya ada di ujung warga. Saat melewati, hampir saya temui ada beberapa yang di depan rumahnya menyirami halaman rumah dan jalan dengan air got (selokan).

 

Baunya, jelas badeg atau tidak sedap. Selain itu warnanya hitam pekat. Dan, yang paling penting bahwa air tersebut adalah najis. Ya, najis, hal inilah yang paling penting karena jalan dekat menuju masjid.

 

Tidak hanya orang yang menyiram halaman dengan air comberan saja, telek (baca: kotoran) burung pun mereka cuci di jalanan yang biasa orang lewati. Risih saat  melewati jalan itu, rasanya. Teleknya kelihatan putih dan coklat, serta bau. Jelas ini najis.

 

Sesekali waktu saya lewat, kebetulan orang yang melakukannya kenal baik dengan saya, sembari saling memberi tahu bahwa kotoran tersebut najis, mohon maaf jangan dibuang di jalan karena akan membuat menjadi najis bagi orang lain (orang yang melewati).

 

Memberi pengertian ke warga bukanlah hal mudah. Saya sadar, itu juga bukan tugas saya semata, tetapi semua unsur masyarakat. Saya hanya bisa menyampaikan sedikit materi tentang thoharoh “bersuci” saat kajian subuh. Tujuannya saling mengingatkan bukan menjatuhkan, atau mempermalukan.

 

Tak hanya itu, kebiasaan memandikan bayi atau anak di luar rumah dengan telanjang yang dilihat oleh orang yang lewat, juga menjadi “pemandangan” yang biasa, saya sering melihatnya itu.

 

Perlu kesadaran bagi mereka. Yang terpenting adalah kesadaran diri sendiri. Pelaku yang penting dalam hal ini adalah pemimpin, kiai atau ustad di daerah tersebut untuk memberikan pemahaman. Faktor masjid menjadi objek yang vital untuk penyampaian materi tersebut. Masjid tak cukup digunakan untuk sholat jamaah, Jum’at, dan tahlilan. Tetapi juga kajian-kajian. Peran TPQ atau madrasah juga sangat penting dalam mengedukasi atau memahami sebagaimana permasalahan di atas. Sebenarnya itu adalah permasalahan fiqih. Bisa disampaian melalui TPQ atau madrasah kepada anak-anak. Untuk masjid (mungkin) pengajian-pengajian, forumnya.

 

Maksimalkan

Pengoptimalan masjid, madrasah (TPQ) dan kiai (ustad) lebih dimaksimalkan. Keberadaan masjid harus diperhatikan. Masjid juga perlu di perhatikan seperti imam, makmum, pengajian, ibadah harian, dan kegiatan keagamaan. Jangan sampai, saat perayaan hari kebesaran dilakukan dengan sangat meriah, namun saat ada pengajian nonsen atau tidak ada sama sekali. Jelas, generasi penerus yang akan pergi ke masjid akan sepi nanti.

 

 

Jangan sampai pula, anak-anak yang tinggal disekitar masjid, mengajinya malah tidak di masjid tersebut. Justru di masjid lain atau malah mencari guru mengaji. Itu jelas, permasalahan utamanya adalah belum optimalnya masjid. Hal inilah yang perlu kita kaji dan bahas.

 

Saya iri dengan masjid dimana, kegiatan kajiannya sangat padat, hingga malam pun ada kegiatan seperti, sholat tajahud bersama, kajian ahad pagi, kajian subuh, TPQ atau madrasah tiap sore, sholat taubat, sholat tasbih setiap Jumat Kliwon, kajian Jumat Kliwon, dan kajian yang lainnya.

 

Rasanya hidup masjid tersebut. Iman penghuni dan warga sekitar pun terasa di-update. Karena lingkungannya didukung dengan kajian-kajian. Anak-anak pun ikut merasakan dampaknya. Tidak hanya bermain-main di gang-gang. Tetapi bersholawat sembari mengaji di masjid. Berkah!

 

Tulisan ini sekedar curhat saja. Di dalamnya terdapat harapan dan kerinduan terhadap masyarakat yang madani, bukan hanya mimpi kosong. Mumpung kita masih hidup di dunia. Kapan lagi kita akan mengamal? Waallahu’alam.

 

 

Semarang, 23 Agustus 2017

Mengelola Arsip Dinamis Per Tahun 2017

Mengelola Arsip Dinamis Per Tahun 2017

Oleh Agung Kuswantoro

 

Keberadaan UPT Kearsipan yang baru berusia akan 2 Tahun (Desember 2017), menjadi momen tersendiri bagi UNNES dalam pengelolaan arsip Perguruan Tinggi (PT).  UNNES yang sudah sudah berusia ke-52 tahun, pasti memiliki arsip yang bernilai dengan jumlah yang banyak pula.

 

Dulu, arsip di simpan di unit masing-masing. Semenjak UPT Kearsipan berdiri, budaya tertib arsip terus disampaikan kepada unit, lembaga, UPT, Fakultas, PPs, dan Badan. Berdasarkan amanat Undang-Undang Kearsipan Nomor 43 tahun 2009 tentang kearsipan, bahwa UPT Kearsipan mengelola arsip statis, dan unit kerja mengelola arsip dinamis. Arsip statis adalah arsip yang nilai gunanya masih tinggi dan masih dibutuhkan sampai kapan pun. Sedangkan arsip dinamis adalah arsip yang penggunaannya masih tinggi di unit kerja, sehingga disimpan di unit kerja.

 

Pedoman Pola Klasifikasi Kearsipan dan Pedoman Jadwal Retensi Arsip (JRA) UNNES telah ada semenjak tahun 2013, namun dalam praktik pelaksanaannya belum secara maksimal digunakan. Sehingga, saat ada UPT Kearsipan terbentuk, pada akuisisi arsip terjadi beberapa permasalahan, yaitu belum adanya daftar akuisi arsip. Hal ini sangat mengkhawatirkan dalam pengelolaan arsip. Oleh karenanya, berdasarkan instruksi Wakil Rektor bidang Administrasi dan Keuangan, Dr. S. Martono, M. Si agar UPT Kearsipan untuk mendampingi, khususnya di Biro (lingkungan) Rektorat untuk memulai menyimpan arsip dinamis sesuai dengan pola klasifikasinya.

 

Pola klasifikasi yang diguanakan berdasarkan SUBJEK atau POKOK SOAL mengikuti sebagaimana Pedoman Tata Naskah Dinas Universitas Negeri Semarang Salinan Peraturan Rektor UNNES Nomor 28 tahun 2016. Dimana Peraturan Rektor tersebut mengacu pada Permenristkdikti Nomor 51 Tahun2015 tentang tata naskah dinas di lingkungan Kemenristekdikti.

 

Agar mempermudah dalam mengelompokkan arsip, pola klasifikikasi tersebut, kami buat dalam bentuk excel (terlampir). Nah, yang jarang orang melihat dan mengamati yaitu pedoman JRA dimana, semua arsip yang diakuisisi ke UPT Kearsipan tanpa memperhatikan JRA-nya, padahal itu bisa dilihat dan digunakan oleh unit dalam menilai suatu arsip. Apakah arsip tersebut dimusnahkan? Dinilai kembali? Atau Permanen? Itu semua bisa dilihat di JRA.

 

Pada hari ini, kami meng-copy semua materi tersebut agar bisa digunakan dan dipraktikkan secepatnya. Minimal per tahun 2017. Sehingga, pada saatnya kelak nanti pada proses akuisisi tidak bingung dalam membuat daftar arsip. Semoga bermanfaat tulisan sederhana ini. Arsip dinamis per tahun 2017 bisa terkelompokkan sesuai dengen pola klasifikasinya.

Bahagia Bisa Berbagi

Bahagia Bisa Berbagi

Oleh Agung Kuswantoro

 

Hampir dua pekan saya menerima email yang kebanyakan dari tenaga kependidikan dan tenaga fungsional arsiparis. Email tersebut berkaitan dengan makalah atau karya tulis. Tidak hanya dari UNNES, tetapi dari luar lembaga yang bervisi konservasi tersebut.

 

Pastinya, saya tidak pernah menawarkan atau membuatkan suatu karya tulis. Jelas itu. Namun, saat ada orang yang ingin berkonsultasi, saya bantu. Jadi, saya tidak membuatkan, tetapi memberikan masukan atau memberikan komentar terkait karya ilmiahnya. Senang rasanya saat saya bisa membantunya. Mereka pun bahagia, saat ada email balasan dari saya. Dan, segera mereka perbaiki.

 

Bahagia itu sederhana. Bisa berbagi dari apa yang kita miliki. Itulah kebahagiaan. Tidak harus dengan uang atau tanah. Apa yang kita punya, yang melekat pada diri kita, bisa kita berbagi kepada sesama. Kaki bisa untuk menyingkirkan batu di jalan. Pikiran bisa membantu menyelesaikan permasalahan orang lain. Itulah cara berbagi dengan sederhana. Jangan berharap pada hasilnya. Pasrahkan sama Allah saja. Insya Allah, Allah akan membalas akan kebaikan kita. Percaya saja. Waallahu’alam.

 

Semarang, 19 Agustus 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Santri, Optimislah

DSC01205

Oleh Agung Kuswantoro

 

Kesan saya bertemu santri di pondok pesantren Salafiah Kauman Pemalang (12/8) begitu terasa. Peserta yang hadir adalah santri yang menjabat sebagai pengurus Pondok Pesantren. Ada Lurah, Sekretaris, Bendahara, dan Ketua Bilik (kamar). Mereka berjumlah 30 Santri (15 Santriwan dan 15 Santriwati).

 

Materi yang saya sampaikan tentang administrasi pondok pesantren. Namun, dalam penyampaiannya tidak semata-mata teoritis. Saya “meraciknya” dengan praktis. Termasuk dalam bahasa yang saya sampaikan sederhana dan tidak jlimet. Tujuannya agar mereka memahami.

 

Obrak-abrik. Mungkin istilah itu yang tepat saya gunakan selama dua jam bersama mereka agar pemikiran mereka terbuka. (Mungkin) selama ini masih “tertutup” dengan materi administrasi. Materi yang simpel, namun saya “pancing” dengan motivasi-motivasi. Bahkan saya “hipnotis” dengan permainan. Hasilnya mereka tersenyum, tertawa, dan percara diri.

 

Dua jam tidak terasa menyampaikan materi. Mengapa? Jawabnya, karena mereka interaktif. Banyak santri yang bertanya kepada saya. Kebanyakan bertanya tentang ketidak percayaan diri saat di masyarakat. Eksistensinya, mungkin itulah yang dirasakan oleh santri.

 

Dalam kesempatan itu, saya jadikan silaturahim dengan guru-guru saya di pondok Salafiah. Saya bertemu dengan Ustad Romadhon, Ustad Hamdan, Ustad Faris, dan yang lainnya. Silaturahim ini juga sebagai ajang nostalgia dengan tempat mengaji saya selama enam tahun. Saat pelaksanaan kegiatan tersebut, saya ditemani oleh sohib saya, yaitu Tasihin. Ia adalah teman saya waktu belajar di pondok Salafiah, tepatnya Diniah Wustho dan Ulya.

 

Optimislah santri. Kau, pasti sukses! Yakinlah. Dan percara diri. Insya Allah, Allah  ada pada pihak Anda. Jadi, jangan minder. Galilah terus ilmu, mumpung di pondok. Semoga kau bisa. Amin.

 

Semarang, 17 Agustus 2017

Nabi Muhammad SAW Diperintahkan Bersabar

Nabi Muhammad SAW Diperintahkan Bersabar

Oleh Agung Kuswantoro

 

Sabar ada pada setiap orang dan level. Apa pun orangnya dan apapun levelnya. Orang miskin butuh sabar. Orang kaya butuh sabar. Orang susah, butuh sabar, dan orang lapang pun butuh sabar.

 

Tidak hanya itu, pejabat butuh sabar. Pegawai pun butuh sabar. Presiden butuh sabar. Rakyat pun butuh sabar. Sabar ada dimana-mana. Sabar, dibutuhkan oleh manusia dalam keadaan apa pun.

 

Sekelas, Nabi Muhammad pun diperintahkan untuk bersabar. Lihatlah surat Alkahfi ayat 28, “Dan bersabarlah Engkau (Nabi Muhammad bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari”. Jelas sekali maknanya, sekelas Nabi Muhammad sebagai Rosul-Nya saja diperintahkan untuk sabar. Bahkan, dalam pemahaman saya keinginan Nabi Muhammad bisa dikabulkan oleh Allah, apalagi dalam keadaan terdesak.

 

Lalu, kita sebagai manusia yang biasa. (Maaf) dosa juga punya, emosi kadang meninggi, dan ucapan kadang kotor, apakah tidak bersabar dalam menjalani kehidupan? Jangan mengatakan “sabar ada batasnya”. Itu artinya, ia tidak bersabar. Yang benar adalah sabar tiada batas dan tidak mengenal waktu.

 

Yuk, mari kita menjadi hamba yang bersabar terhadap perintah-perintah Allah. Jangan mengatakan sabarku sudah habis. Andalah yang tahu tentang diri Anda. Saat tidak bisa bersabar, cobalah ingat akan nimat Allah. Juga tutur kata kita. Jika tidak bisa berkata baik, diamlah. Itulah sabar dengan makna yang sederhana. Waallahu’alam.

 

 

Semarang, 16 Agustus 2017

 

 

Sifat Wajib Allah: Maha Melihat dan Mendengar

Sifat Wajib Allah: Maha Melihat dan Mendengar

Oleh Agung Kuswantoro

 

Diantara sifat wajib Allah yaitu Basyar (Maha Melihat) dan Sama’ (Maha Mendengar). Sangat terang penglihatan-Nya dan tajam pendengaran-Nya. Tidak bisa diartikan dengan penglihatan Allah dengan memiliki dua buah mata dan dua buah telinga layaknya manusia.

 

Dalam surat Al Kahfi ayat 26 disebutkan bahwa “Alangkah terang penglihatan-Nya dan tajam pendengaran-Nya. Tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain daripada-Nya. Saking “Maha” Nya, maka Allah-lah sebagai satu-satunya penolong yang terbaik. Kekuasaan Allah berupa sifat wajibnya, jelas bagi seorang muslim harus diimani. Cara mengimani setiap orang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang harus kita hormati setiap individu.

 

Dulu, saya membayangkan betapa hebatnya Allah itu. Penglihatannya tajam dan terang pendengarannya. Lalu bagaimana wujudnya? Apalagi yang menciptakan bumi yang luas ini? Itu pemikiran saya sewaktu Sekolah Dasar (SD). Lalu, bagaimana sekarang? Ya cara mengimaninya yang paling tepat adalah pembenaran melalui hati bahwa, Allah memiliki sifat wajib Maha Melihat dan Mendengar, kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti ditempat yang sepi untuk selalu ingat Allah, merasa Allah itu melihat kita. Jadi, janganlah maksiat. Pendengaran kita perlu dijaga, karena suara manusia belum tentu mengarah kepada kebaikan. Jadi, perlu situasi dan lingkungan agar telinga terbiasa mendengar ke arah kebaikan. Itulah cara mengimani secara sederhana. Waallahu’alam.

 

 

Semarang, 14 Agustus 2017

Previous Older Entries