Mengaitkan Keji, dan Sholat Khusyuk
Oleh Agung Kuswantoro
Alqur’an telah memberikan pernyataan yang tegas yaitu “Sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”(Al-‘Ankabut ayat 45). Namun, sebagai orang mukmin, sholat yang seperti apa yang bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar? Ternyata, jawabnya, melalui surat Almukminun ayat 1-2, sebagaimana ayat diatas “Sesungguhnya telah beruntung orang-orang beriman, yaitu orang khusyuk dalam sholat”.
Maknanya, tidak “sembarang” atau “asal” yang sholat yang dilakukan oleh seorang Mukmin. Apalagi, berdampak pada khusyuk. Coba, kita lihat. Ada orang sholat, tetapi masih melakukan perbuatan berbohong. Ada orang sholat, tetapi masih melakukan mengingkari janji. Dan, ada orang sholat, tetapi masih melakukan perbuatan maksiat.
Lalu, Allah memberikan solusi kepada hambanya berupa sholat khusyuk. Bahkan, dalam ayat diatas sholat khusyuk ditujukan bagi orang beriman. Maksudnya kita diingatkan oleh Allah untuk naik status, menjadi orang beriman, sebagaimana “tujuan” bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Sholat adalah rukun Islam ke-2. Maknanya, orang yang sah melakukan dan diterima oleh Allah adalah orang telah bersyahadat atau masuk Islam. Dan, apabila ada orang tidak atau (belum) beragama Islam, dan ia melakukan sholat, maka sholat, orang tersebut, tidak sah. Karena dalam fiqih, salah satu syarat sah sholat, yaitu Muslim.
Maknanya, secara syariat kita sudah memenuhi. Sekarang, kita ditingkatkan untuk melanjutkan pada fase keimanan. Iman inilah yang menjadi “modal utama” untuk menggapai sholat khusyuk.
Lalu, apa itu sholat khusyuk?
Berbicara sholat khusyuk di masyarakat (mungkin) sangat “tabu”, padahal khusyuk diperintahkan oleh Allah. Memang tidak ada ayat yang secara tegas menyatakan perintah khusyuk, tetapi perintah Allah tidak harus dalam bentuk perintah (amar). Sebaliknya, larangannya pun tidak harus berbentuk kata “jangan” (nahi). Pujian Allah menyangkut sesuatu menunjukkan bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah. Oleh karena ayat di atas (Al mukminun ayat 1-2), bahwa khusyuk dalam sholat diperintahkan dan hal tersebut merupakan salah satu syarat perolehan kebahagiaan.
Perintah khusyuk, berbeda sekali dengan perintah ibadah seperti sholat dan zakat (aqimusholah wa atuzzakah), atau perintah puasa di bulan Ramadhan (kutiba alaikumus shiyam). Justru khusyuk bentuknya pujian. Disinilah letak hebatnya, Allah yang sangat paham akan hambanya, bahwa khusyuk bukanlah hal yang mudah.
Para ahli mengatakan untuk menggapai kekhusyukan dalam sholat tidak mudah. Allah tidak menghendaki dari manusia sekadar kalimat-kalimat yang terucap, tetapi yang dikehendaki oleh Allah adalah pengamalan. Dimana, pengamalan (baca: bertindak) merupakan pembenaran atas kalimat yang diucapkan. Lalu, apabila diucapkan, tetapi tidak diamalkan, maka tidak ada maknanya atau tidak dipandang oleh Allah.
Seandainya sholat hanya sekedar “ucapan dan perbuatan yang dimulai takbir dan diakhiri dengan salam, sebagaimana Allah tidak mengatakan “Sesungguhnya dia berat, kecuali mereka yang khusyuk (Al baqarah : 45).
Khusyuk memiliki arti ketenangan atau diam. Ada yang memaknainya dengan rasa takut terhadap Allah. Ketakutan ini ditandai dengan pandangan mata ke tempat sujud. Rasa takut tersebut bercampur dengan kesiapan dan kerendahan hati.
Ibnu Katsir menuliskan bahwa khusyuk dalam sholat dapat terlaksana bagi orang yang mengonsentrasikan jiwanya, sambil mengabaikan segala sesuatu yang selain berkaitan sholat. Sedangkan Imam ar-Razi menuliskan bahwa apabila orang dalam melakukan sholat, maka terbukalah dia dengan Allah, tetapi apabila “menoleh”, maka tertutuplah penyekat tersebut antara dia dengan Allah.
Para ulama fiqih (fuqaha) tidak memasukkan kekhusyukan dalam bahasan rukun, syarat, atau wajib sholat. Mengapa demikian? Karena, mereka menyadari bahwa khusyuk lebih banyak berkaitan dengan hati/kalbu.
Khusyuk adalah kondisi kejiwaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya oleh pandangan manusia, termasuk oleh para ahli fiqih itu. Namun, mereka pun tidak langsung menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengarah kepada kekhusyukan sholat, tetapi mereka merumuskan hal-hal yang bersifat lahiriyah atau Nampak secara kasat mata. Misal, gerakan sholat, yang tidak melampaui atau melebihi tiga gerakan.
Dalam fiqih disebutkan bahwa penekanan fiqih tergambar pada sikap orang sholat, seperti tidak menoleh, menguap (angop), atau membunyikan jari-jari tangan, tidak memandang ke atas, tetapi ke depan (tempat sujud).
Disisi lain, khusyuk merupakan upaya menghadirkan kebesaran Allah dalam hati seseorang. Dapat dimaknai bahwa seseorang yang melakukan sunah dalam sholat, maka sesungguhnya dalam rangka menempatkan khusyuk dalam sholatnya. Sama halnya, saat ada seseorang yang mengurangi gerakan sholat yang tidak perlu atau menghindari perbuatan yang membatalkan sholat, maka sesungguhnya sedang menempatkan khusyuk. Tetapi sebaliknya, apabila ia melakukan gerakan yang tidak perlu dalam sholat, maka sesungguhnya ia sedang mengurangi rasa khusyuk dalam sholat.
Kewajiban shalat dan khusyuk yang ditetapkan Allah dapat diibaratkan dengan kehadiran pada pameran lukisan. Banyak yang diundang hadir untuk menikmati keindahan lukisan, tetapi bermacam-macam sikap mereka. Ada yang lukisan, tetapi bermacam-macam sikap mereka. Ada yang hadir tanpa mengerti sedikit pun, apalagi menikmati lukisan; ada juga yang tidak mengerti, tetapi berusaha mempelajari dan bertanya; ada lagi yang mengerti dan menikmatinya, ada pula yang demikian paham dan menikmati sehingga terpukau dan terpaku, tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak mendengar sapaan orang kepadanya, bahkan tidak merasakan senggolan orang-orang disekitarnya. Dia benar-benar larut dalam kenikmatan. Dalam hal ini contoh-contoh di atas pengundang akan menyambut dan bergembira selama yang diundang dating, walaupun dia tidak memiliki pengetahuan tentang lukisan. Si pengundang akan bergembira karena yang diundang datang menghormati undangannya. Tetapi, tentu pengundang akan lebih bergembira jika yang diundang belajar dan bertanya, apalagi jika yang diundang itu menikmati, bahkan larut dalam keindahan lukisan. Yang perlu diingat adalah jangan tidak menghadiri undangan itu, dengan alasan apa pun, karena itu berarti melecehkan si pengundang. Begitulah lebih kurang lebih gambaran tentang shalat dan khusyuk.
Persoalan khusyuk dalam perspektif ganda ini (fiqih/syariah) dan tasawuf/hakikat) dapat juga menjadi contoh kasus tentang bagaimana keduanya, jika tidak dipahami secara utuh, akan tampak bertentangan atau berseberangan. Yang satu hanyut dalam urusan-urusan lahiriah, sementara yang lain hanya mengurus hal-hal batiniah. Lahiriah disini adalah fiqih. Batiniah disini adalah tasawuf. Tetapi, jika keduanya dipahami dalam suatu kerangka utuh, maka kita pada akhirnya akan mengakui bahwa keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling terkait, bukankah bertasawuf tanpa menghiraukan ketentuan syariah (fiqih) tidak bisa dibenarkan? Sebaliknya, mengamalkan syariah atau fiqih tanpa hakikat atau tasawuf, bisa menggersangkan ajaran Illahi – untuk tidak mengatakan mereduksi atau menguranginya. Karena itu pula, tassawuf/hakikat merupakan kelanjutan atau konsekuensi logis dari syariah atau fiqih.
Banyak orang menduga bahwa khusyuk dalam shalat menjadikan seseorang larut dalam rasa dan ingatan kepada Allah swt., tidak mengingat selain-Nya, dan tidak merasakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan-Nya. Dalam konteks ini, sering kali contoh yang dikemukakan adalah kasus Sayyidina Ali Zainal Abidin, yang digelari dengan as-Sajjad (tokoh yang banyak sujud), cucu sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra’ra (putri Rasul saw).
Dalam riwayat dikemukakan bahwa as-Sajjad menderita sakit di kakinya yang mengharuskan pembedahan, maka kepada dokter dia menyarankan agar melakukan pembedahan itu pada saat beliau shalat karena pada saat itu ingatan dan perasaan beliau terpaku pada kebesaran Allah swt, tidak kepada yang lainnya. Beliau tidak merasakan sakit akibat pembedahan itu karena sedang berada dalam puncak kenikmatan menghadap Allah swt.
Di sisi lain, walaupun Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuanya (Al-Baqarah: 286), tetapi harus diingat bahwa setiap manusia dituntut untuk berusaha mengembangkan diri dan meningkatkan kualitasnya. Karena itu, bila kita tidak atau belum dapat menghadirkan kebesaran Allah dan menikmati lezatnya berdialog dengan-Nya sepanjang shalat, maka paling tidak ada saat-saat dalam shalat yang kita upayakan untuk mendapatkan kekhusyukan seperti yang dikehendaki oleh substansi shalat. Sebagian ulama, bahkan ulama fiqih, menekankan perlunya khusyuk – lahir dan batin – paling tidak pada saat takbir pembukaan (takbiratul ihram). Memang, “khusyuk minimal” dibawah sinaran penghayatan sufistik ini pun masih berat, tetapi itu hendaknya diupayakan terus.
Bagaimana meraih khusyuk? Maksudnya, dalam menghadapi hidup ini kesabaran dan shalat merupakan dua hal yang amat mutlak guna meraih sukses, dan keduanya pun tidak gampang dikerjakan kecuali bagi yang khusyuk.
Salah satu yang menarik untuk digarisbawahi adalah bahwa ayat di atas menggunakan bentuk tunggal, innaha (sesungguhnya ia) bukan innahuma (sesungguhnya keduanya, shalat dan sabar). Penggunaan bentuk tunggal ini untuk mengisyaratkan bahwa shalat dan sabar harus menyatu dalam diri manusia.
Ketika bersabar Anda harus shalat dan berdoa, dan ketika shalat / berdoa Anda pun harus sabar. Dalam melakukan pelbagai aktivitas, termasuk dalam shalat, Alaur’an “mewajibkan” untuk berupaya dan terus berupaya menemukan kesempurnaan. Dalam konteks menghadirkan Allah dalam benak, itu diibaratkan dengan seseorang yang mencari gelombang stasiun radio untuk mendengarkan siarannya. Boleh jadi, pada kali pertama dia belum menemukan gelombang yang dicarinya. Namun, dia harus sabar dan terus berusaha, mencoba dan mencoba mencari, trial and error, sampai pada akhirnya dia akan mendengar suara jernih yang dicarinya.
Jiwa harus dipersiapkan untuk meraih khusyuk dan salah satu persiapan yang paling penting dijelaskan oleh lanjutan ayat di atas yang menyatakan bahwa “(Yaitu) orang-orang yang menduga keras, bahwa mereka akan menemui Tuhan mereka dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (Al–Baqarah 46).
Menemui Tuhan dan kembali kepada-Nya berarti akan wafat dan menemui ganjaran atau siksa-Nya. Jika demikian, kekhusyukan dapat diperoleh dengan menggambarkan tentang ganjaran atau siksa yang menanti setelah kematian. Sementara imam shalat berucap shallu shalat muwadi (shalatlah sebagaimana shalatnya seorang yang segera akan berpisah dengan kehidupan dunia). Ucapan ini ditujukan kepada dirinya dan para makmum agar membayangkan kematian. Sebagian pengamal tasawuf memberi nasihat: “Bayangkanlah ketika Anda berdiri untuk shalat bahwa disebelah kanan dan kiri Anda surga dan neraka, dibelakang Anda malaikat maut sedang menanti selesainya shalat Anda untuk mencabut ruh Anda, dan di hadapan Anda hadir kebesaran Allah.” Jika itu yang Anda bayangkan, pastilah Anda akan meraih khusyuk, tunduk patuh kepada Tuhan mengharapkan surga dan ridha-Nya dan takut akan neraka dan murka-Nya. Wa Allah A’lam.
Sebagai penutup, ada beberapa point dari penjelasan di atas.
- Sholat bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.
- Syarat sah solat diterima oleh Allah adalah seseorang tersebut harus mukmin.
- Sholat khusyuk itu suatu perintah. Bentuk perintah tidak harus dalam bentuk amar. Bahkan, Allah memuji orang beriman yang telah khusuk sholatnya.
- Perlu adanya pemahaman bahwa khusyuk dengan mempelajari ilmu fiqih dan tasawuf. Jangan memisahkan antara ilmu fiqih dan tasawuf untuk meraih sholat khusyuk.
- Khusyuk adalah ketenangan, bukan ketakukan kepada Allah.
- Dampak dari khusyuk adalah perbuatan orang tersebut setelah melakukan sholat, minimal melakukan perintah Allah dan menjauhi perbuatan yang tercela (keji).
Mari kita praktikkan dalam kehidupan kita. Khusyuk tidak bisa diraih dengan pelatihan atau workshop sholat khusyuk. Tetapi, harus belajar ilmu-ilmu yang terlibat di dalamnya, seperti fiqih, tauhid, dan tasawuf.
Semarang, 27 Oktober 2017