Ganti Tahun, Ingat Mati
Oleh: Agung Kuswantoro
“Setiap yang bernyawa, akan merasakan kematian” (Al Ankabut/29:57).
Alhamdulillah atas rizki Allah, kita masih diberi kenikmatan untuk panjang umur. Kita masih hidup. Sekarang sudah tanggal 28 Desember 2018. Hari terakhir, kita di tahun 2018 dan Jum’at terakhir di penghujung tahun 2018.
Banyak lembaga dan unit kerja yang menyelenggarakan acara “Refleksi Akhir Tahun”. Refleksi menurut KBBI bermakna cerminan/gambaran. Berarti, dalam satu tahun “cermin” atau “gambaran” hidup kita itu seperti apa? Apakah banyak dosa atau banyak pahalanya? Inilah yang harus kita temukan dalam diri kita mengenai refleksi, itu sendiri.
Yang tak kalah penting dalam refleksi itu adalah mengenai waktu yang kita selalu dilangkahi/dilewati. Refleksi akan berhenti jika kita telah meninggal.
Sejatinya, bicara waktu, maka sesungguhnya berbicara kematian. Semakin hari, semakin dekat dengan kematian. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Detik berganti menit. Dan, menit berganti jam. Itulah waktu. Lalu, ada kehidupan berganti kematian. Bertambahnya waktu (jam) dan hari menunjukkan dekatnya kematian.
Dalam bahasa agama diistilahkan dengan kata “Almaut”, yang artinya mati. Lawan dari Alhayat, yang bermakna hidup.
Ada juga istilah roji’un. Kalimat ini, sering melekat pada kalimat istirja’ yang berbunyi, “Inna lillahi wainna ilaihi roji’un”. Artinya, “sesunggunya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali”.
Menurut Hidayat (2006), bahwa sejatinya, umat Islam yang beriman harus “senang” saat ajal menjemput. Ketika, kematian datang, ia berwajah ceria. Ia bahagia, karena akan roji’un. Ia akan pulang.
Perumpamaannya adalah saat kita akan mudik, apa yang kita lakukan? Ketika, kita akan pulang ke rumah orang tua, sedangkan posisi kita sedang merantau. Apa yang harus kita persiapkan? Lalu, apa perasaan tersebut?
Pastinya, saat kita akan pulang/mudik, maka kita merasakan bahagia. Senang. Kita akan mempersiapkan segala kebutuhan mulai dari transportasi, baju, ‘oleh-oleh’, hingga bekal dalam perjalanan.
Pulang itulah roji’un. Rasa bangga bertemu dengan pemilik manusia dan Tuhannya adalah sebagai alasan utama, mengapa kita bahagia. Tidak ada, pulang dan bertemu dengan pemilik hidup itu dalam sedih.
Bagi kita – sebagai makhluk – rindu dengan yang Maha Kasih. Ia/Tuhan/Allah telah mengasihi hambanya di dunia. Ia mencintai kepada ciptaannya. Sebagai hamba pun rindu akan pelukan Tuhannya. Setiap hari dan waktu, hanya Ia – lah yang kita sembah. Sehingga, menjadi bahagia, jika Tuhan telah mengundangnya untuk pulang.
Hamba Allah tersebut telah menyiapkan “perbekalan” selama hidup di dunia. Amal sholeh dan ilmu yang bermanfaat menjadi modal ia “pulang” ke akhirat. Akhirat menjadi tujuan akhir hidupnya.
Sangking rindunya kepada Allah, ia mengucapkan salam kepada Tuhannya, dengan kalimat “Asalamu’alaikum, ya Allah, silakan cabut nyawa saya, saya rindu kepada Engkau”.
Maka, turunlah Malaikat Izroil untuk mencabut nyawanya. Pastinya, Malaikat Izroil akan mencabut nyawanya, dengan wajah yang berseri-seri. Mengingat, hamba yang akan dicabut “nyawanya” adalah ahli ibadah.
Ia akan pelan-pelan dalam mencabut nyawanya. Diriwayatkan hadist dari Amhad sebagai berikut:
“Seorang hamba mukmin, jika telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat maka Malaikat akan mendatanginya dari langit, dengan wajah yang putih. Rona muka mereka layaknya sinar matahari. Mereka membawa kafan dari surga. Serta harum – wewangian – dari surga. Mereka duduk disampingnya. Sejauh mata memandang. Berikutnya, Malaikat Maut hadir dan duduk di dekat kepalanya. Sembari berkata, “Wahai jiwa yang baik – dalam riwayat – jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhoannya. Ruhnya keluar bagaikan aliran cucuran air dari mulut kantong kulit. Setelah keluar ruhnya, maka setiap Malaikat maut mengambilnya. Jika telah diambil, para Malaikat tidak membiarkannya di tangan Malaikat maut sejenak saja. Untuk mereka ambil dan diletakkan di kafan dan wewangian tadi. Dari jenazah, semerbak aroma misik (wangi) yang ada di bumi”.
Itulah, “gambaran” keluar ruh, atau lepas ruh yang ringan dan mudah bagi orang beriman. Malaikat mendatangi orang beriman dengan kabar gembira. Lalu, mengapa ada orang yang takut dengan kematian. Menurut Hidayat dalam buku Psikologi Kematian (2009:11) disebutkan bahwa orang yang takut dengan kematian disebabkan karena dimanjakan oleh kenikmatan dunia yang telah “dipeluknya” selama ini.
Ketika memasuki hari tua, ia mengalami fase penyesalan. Sedangkan, kematian adalah puncak kekalahan dan penderitaan. Atau, kematian ditakuti karena manusia tidak tahu apa yang terjadi, setelah mati. Ia tidak mempercayai dengan fase kehidupan setelah hidup di dunia. Ia tidak percaya dengan alam akhirat.
Demikianlah tulisan yang singkat ini. Ada beberapa simpulan, yaitu (1) Bertambahnya waktu dan hari, sesungguhnya mendekatkan diri kepada kematian; (2) Kematian itu adalah pulang/roji’un. Saat pulang/mudik harus diliputi rasa bahagia; (3) Layaknya, dalam perjalanan pulang/mudik, maka “bekal” selama di dalam perjalanan harus dipersiapkan. Minimal amal sholeh waktu hidup di dunia; (4) Menjadilah orang beriman, karena Malaikat pencabut nyawa akan memberikan kabar gembira saat ajal menjemput. Perjalanan keluarnya ruh menjadi mudah; dan (5) Marilah, ajak hati untuk selalu berdamai atau jiwa ini menjadi tenang, karena sesungguhnya kematian itu bukanlah hal yang menakutkan. Melainkan sesuatu yang menyenangkan. Sambutlah Allah di tempat yang sudah dijanjikan-Nya.
Semarang, 27 Desember 2018
Daftar Pustaka
1. Al qur’anul Karim
2. Hidayat, Komaruddin. 2006. Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Jakarta: Penerbit Hikmah
3. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud Kitab Sunnah, Pertanyaan di Alam Kubur dan Siksanya (4753).