Ngaji Tauhid (12): Allah Yang Membangun, “Iman” Sebagai Dasar Untuk “Mengisi”

Ngaji Tauhid (12): Allah Yang Membangun, “Iman” Sebagai Dasar Untuk “Mengisi”
Oleh Agung Kuswantoro

Semenjak saya tinggal di Sekaran-tepatnya Perumahan Sekarwangi Jalan Pete Selatan- saya bertekad untuk memperjuangkan agama Allah di lingkungan saya. Saya, sedikit memahami kondisi sosial kultural masayarakat tersebut. Kebetulan, saya pernah indekos di daerah itu, selama 11 tahun.

Saya yakin, melalui agama Islam (akidah) yang kuat, masyarakat ini menjadi “maju”. Minimal dalam berpikir. Dampaknya adalah akhlak masyarakat lebih tertata. Mereka akan “santun” dalam bertindak.

Ada tiga tempat yang saya perjuangkan hingga kini. Ke-3 tempat ini menjadi rujukan/pondasi dalam memperjuangkan agama Allah, yaitu Islam ke-3 tempat itu yaitu:

Pertama, Mushollah di halaman rumah Bapak Bahrul. Halaman rumah yang dijadikan Musholla. Musholla tersebut, hanya ada pada bulan Ramadhan. Sholat yang diselenggarakan di Musholla tersebut adalah sholat Isya, tarawih, dan witir. 2 kali Ramadhan kita menggunakan Musholla tersebut. Alasan pendirian Musholla tersebut adalah jauh dari Masjid. Dan, Masjid penuh jamaah, terutama saat buka Ramadhan awal. Atas izin RT dan tokoh masyarakat setempat, Alhamdulillah berdirilah Musholla di halaman Bapak Bahrul. Jamaahnya, alhamdulillah warga perumahan dan kampung.

Kedua, Masjid. Tanah waqaf dari hamba yang semula didirikan untuk Musholla difungsikan menjadi Masjid. Saya dan warga (baca: kita) bersemangat untuk membangun “rumah Allah” tersebut. Berdasarkan keputusan rapat, tanah waqaf yang semua rencana dibangun Musholla, berubah menjadi Masjid. Karena, beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam rapat tersebut.

Terakhir, ketiga. Madrasah. Harapannya, ini terakhir perjuangan saya dan warga Sekaran untuk memperjuangkan agama Allah. Madrasah (baca: Sekolah Arab) menjadi rujukan/pondasi agar warga (khususnya anak-anak, mahasiswa, dan Bapak/Ibu) untuk mengaji. Basisnya, pastinya keilmuan. Dibutuhkan sumber daya (fisik dan nonfisik) untuk mengisinya. Sekarang, dalam tahap pencarian dana.

Inilah ke-3 tempat selama 6 tahun saya perjuangkan. Butuh proses, baik fisik dan psikologis, karena yang dihadapi tidak hanya material, tetapi manusia (warga masyarakat). Perbedaan pendapat, toleransi dan saling memahami diantara sesama harus kita junjung tinggi. Itulah masyarakat.

Selama proses proses pembangunan, baik Masjid dan Madrasah dibutuhkan mental yang kuat. Karena, bukan berarti selesai, jika bangunan itu sudah berdiri. Dibutuhkan “isi” atau sumber daya yang akan melakukannya. Seperti, imam dan makmum (untuk Masjid dan Musholla). Santri dan Ustad/Ustadah (untuk Madrasah).

Pengalaman waktu Musholla itu didirikan, bisa dikatan 98% saya imamnya. 27 hari saya sebagai imam sholat Isya, tarawih, dan witir. Untuk muadzin/kultum, Alhamdulillah ada yang mengisi. Itu pun, saya harus menggantikan jamaah yang terjadwal mengisi muadzin/kultum, namun berhalangan hadir. Jika yang kultum tidak hadir, maka saya yang “mengisinya”.

Sekarang, Masjid sudah berdiri. Imam sholat Magrib dan Isya berasal dari warga. Saya diberi amanah untuk imam dan mengisi kultum sholat subuh. Alhamdulillah, saya diberi amanah untuk khutbah dan Imam sholat Jumat saat pasaran “Kliwon”. Lalu, Alhamdulillah saya juga, diberi amanah juga untuk menjadi imam sholat tarawih dan witir selama 15 hari di bulan Ramadan.

Demikian Madrasah, saya pun harus stand by/ada. Kehadiran ustad/ustadah dan santri menjadi penyemangat. Saya selalu ada tiap hari Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis. Tujuannya untuk berbagi informasi/ilmu. Apabila ustad/ustadah tidak hadir, maka saya yang menggantikan. Mengingat, santrinya sudah banyak (27 orang).

Membangun fisik itu perlu. Yang tak kalah perlunya adalah membangun “isi” atas fisik tersebut. Membangun Musholla, Masjid, dan Madrasah itu perlu. Yang tak kalah perlunya adalah membangun “isi” atas Musholla, Masjid, dan Madrasah.

Jangan sampai, bisa membangun, namun tidak bisa “mengisi”. Jangan sampai ada Musholla, Masjid, dan Madrasah. Namun, tidak ada ada imam, makmum, ustad/ustadzah, santri, dan jamaah taklim.

Menurut saya, iman/tauhid sebagai dasar dalam membangun dan “mengisi”. Yakin, bahwa Allah yang membangunkan “rumah-rumah-Nya” seperti Musholla, Masjid, dan Madrasah. Tugas kita adalah menyakini dan menjalankan perintah Allah saja.

Kalau masalah “isi”, kita serahkan kepada Allah SWT. Allah yang menunjuk. Masyarakat yang menilai. Insya Allah, nanti ada imam, makmum, ustad/ustadzah, santri, dan jamaah taklim. “Isi” berkaitan dengan hati. “Hati” berkaitan dengan iman. Dan, iman berkaitan dengan keyakinan.

Lalu, apakah kita yakin bisa mendirikan ke-3 tempat itu? Menurut saya, jawabnya harus yakin. Karena Allah yang membangunnya. Tugas kita adalah memantaskan menjadi hamba yang “mengisi” akan ke-3 tempat suci itu. Mengisi menjadi apa? Mengisi menjadi imam, makmum, ustad/ustadzah, santri, dan jamaah taklim. Jangan sampai, kita tidak ada dalam bagian dari yang “mengisi” ke-3 tempat tersebut. Waallahu ‘alam.

Semoga Allah memudahkan langkah kita. Amin.

Semarang, 1 Januari 2019

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: