Ustad Kami “Pulang”
Oleh Agung Kuswantoro

Malam ini, saya mengikuti Tahlilan di rumah Ustadku. Hujan tak menghalangi langkahku untuk datang ke rumahnya. Ia bernama Rofiqul ‘Ala. Ia adalah sosok yang berpengaruh dalam hidup saya, khususnya dalam belajar agama Islam.
Melalui dialah saya dikenalkan ilmu Tauhid, Tajwid, Khot, Imla, Mahfudhot, Fiqih, Akhlak, Tarekh, dan yang ilmu lainnya.
Empat tahun saya belajar dengannya. Tepatnya di Madrasah Hidayatus Shibyan. Kurang lebih jarak Madrasah dengan rumah saya adalah 800 meter. Saya jalan kaki ke Madrasah. Sedangkan Ustad saya naik sepeda ‘ontel’ berboncengan dengan istrinya, ustadah Sri Hamidah. Ustadah Sri Hamidah juga mengajar kelas dua di Madrasah tersebut.
Semua pembelajaran yang ia sampaikan sangat berkesan. Alhamdulillah, saya bisa mengikuti selama pembelajaran. Keterangan-keterangan yang ia sampaikan, pasti saya tulis.
Setiap ilmu yang ia sampaikan, pasti saya salin dalam buku tulis. Kehadiran saya di Madrasah saat pembelajaran, bisa dikatakan selalu hadir. Karena, saya ingin belajar agama.
Saya sangat antusias dalam pembelajaran. Allah mempertemukan saya dengannya. Bagi saya, empat tahun bersamanya adalah rizki yang berharga.
Setelah saya lulus dari Madrasah, saya melanjutkan Madrasah Wustho dan Ulya Salafiyah Pemalang. Saya baru sadar ternyata ‘modal’ ilmu Madrasah Hidayatus Shibyan adalah modal saya bisa diterima di Pondok Pesantren dan Madrasah Wustho dan Ulya. Atas izin Allah, saya diterima di kelas satu. Tanpa, harus melalui kelas Idad/persiapan.
Betapa penting ilmu-ilmu di Madrasah Hidayatus Shibyan. Saya pun bisa memahaminya, terlebih dengan gaya mengajar Ustad Rofiqul ‘Ala yang khas. Biasanya saat menyampaikan materi, ia memberi ilustrasi dengan kalimat awal ‘ana wong’. Kemudian, tulisan Khot-nya bagus sekali. Lalu, suaranya bagus dan pelan dalam menadhomkan kitab Hidayatus Shibyan dan Aqidatul Awam.
Suatu saat, ada santrinya datang ke rumah saya. Santrinya mengatakan kepada saya agar menemuinya di rumah. Saya menemuinya. Ia mengatakan kepada saya, agar membantu beliau dalam mengajar Madrasah. Ia mengharapkan saya menjadi Ustad di Madrasah yang pernah saya ‘menimba’ ilmu. Namun, Karena beberapa hal, saya tidak bisa menerima tawarannya. Alasan utamanya adalah saya akan melanjutkan studi di UNNES. Sehingga, nanti saya hanya bisa mengajar beberapa waktu saja. Karena faktor itulah, ia mengamini alasan saya.
Dalam hati, saya merasa bersalah atas tawaran yang saya tolak. Mungkin Allah belum berkehendak waktu itu, agar saya menjadi ustad di Madrasah yang ia pimpin.
Sekarang, ia telah tiada. Saya bertekad melanjutkan perjuangannya agar menjadi ustad. Allah (mungkin) menunjukkan saya jadi ustad bertempat di Semarang pada Madrasah yang saya buat bersama istri. Madrasah yang didukung oleh warga dan mahasiswa.
Pengalaman yang diajarkan olehnya menjadi bekal saya untuk mengajarkan ke santri saya di Semarang. Perjuangannya belum selesai. Insya Allah, saya akan melanjutkannya di Semarang. Selamat jalan ustadku. Selamat ‘pulang’ ustad kita. Semoga ilmu yang telah disampaikan kepada kami menjadi ladang amal sholeh ustad. Dan, doakan agar kami bisa memperjuangkan Madrasah sebagaimana yang telah ustad contohkan ke kami.
Pemalang, 30 Januari 2019