Syahadat

Syahadat (3)
Oleh Agung Kuswantoro

Konsekuensi orang yang telah mengucapkan syahadat adalah ‘terkena’ hukum. ‘Terkena’ hukum dalam hal ini yang dimaksud adalah orang yang sudah mengucapkan syahadat, maka wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam agama Islam.

Ia wajib berpuasa di bulan Ramadhan. Ia wajib melaksanakan sholat. Ia wajib menunaikan zakat. Dan, ia wajib melakukan ibadah haji, jika yang bersangkutan mampu. Itulah konsekuensi dari orang yang telah mengucapkan syahadat. Waallahu’alam.

Semarang, 27 Juni 2019

Syahadat (4)
Oleh Agung Kuswantoro

Dalam kitab Safinatus Sholah sudah diterangkan bahwa orang Baligh dan Berakal itu wajib mengucapkan kalimat syahadat. Lalu, muncul pertanyaan, Bagaimana cara masuk agama Islam yang kita lakukan? Dimana sejak kecil (baca: bayi) sudah Islam, ketika dewasa tidak melafalkan syahadat secara formal?

Pertanyaan di atas sangat berkaitan dengan adat istiadat. Di Indonesia yang kebanyakan/mayoritas beragama Islam, maka sejak bayi pun otomatis Islam. Waktu bayi, jelas tidak bisa melafalkan syahadat. Orang tua atau Ustad kampung yang meng-azan-i pada telinga kanan dan meng-iqomah-i pada telinga kiri. Berarti dengan sendirinya, bayi tersebut beragama Islam. Hal ini terjadi, karena faktor budaya/adat di suatu tempat.

Ada pula orang yang masuk Islam tidak ditandai dengan azan dan iqomah ketika bayi. Tetapi, dengan melafalkan syahadat. Melafalkan syahadat inilah – menurut saya – sebagaimana “isi” kitab Safinatus Sholah. Dimana, orang yang berakal dan baligh wajib mengucapkan kalimat syahadat. Artinya, ia telah memeluk agama Islam.

Dalam pengamatan saya, orang yang memeluk agama Islam melalui di-azan-i pada telinga kanan dan di-iqomah-i pada telinga kiri itu sangat berbeda akan kualitas ibadahnya dibanding dengan orang memeluk Islam melalui syahadat.

Orang yang memeluk Islam melalui di-azan-i dan iqomah-i biasanya kesadaran akan keislamannya kurang. Namun, orang yang bersyahadat dalam memeluk Islam, biasanya kesadaran akan keislamannya kuat. Sekali lagi, ini hanya analisis saya saja. Bisa juga, saya salah dalam menganalisis.

Waallahu’alam

Semarang, 24 Juni 2019

Syahadat (5)
Oleh Agung Kuswantoro
Ada sebuah fenomena akhir-akhir ini, media diramaikan dengan berita Deddy Corbuzier memeluk agama Islam. Mari perhatikan, apa yang dilakukan oleh Dedy Corbuzier dalam memeluk Islam. Jawabnya adalah ia mengucapkan syahadat. Setelah itu, ia melakukan sholat perdana/pertama yang diimani oleh kiai Ma’ruf Amin.

Artinya, setelah ia mengucapkan syahadat, maka ia terbebani hukum yaitu sholat. Ia juga, berkewajiban membayar zakat, melaksanakan ibadah puasa, dan berhaji (jika mampu). Dan, ibadah lainnya.

Proses masuk Islamnya, tidak melalui di-azan-i dan di-iqomah-i pada telinga kanan dan kiri. Namun, melalui pengucapan kalimat syahadat. Sebelum masuk Islam, ia telah belajar mengenai ajaran-ajaran agama Islam. Dalam belajar, ia bertanya kepada Ustad/ahli agama. Hingga, pada waktunya, ia mantap mengucapkan kalimat syahadat.

Mengucapkan kalimat syahadat juga ada ilmunya. Disinilah, letak perjuangan seorang hamba Allah yang Balig dan Berakal dalam proses menuju Islam. Sehingga, terlihat akan proses kualitas kemuslimannya. Waallahu’alam.

Semarang, 25 Juni 2019

Syahadat (6)
Oleh Agung Kuswantoro

Yang belum dibahas mengenai syahadat adalah Syahadat Rosul. Adapun lafal syahadat Rosul adalah “Waasyhadu Anna Muhammadarrosululloh”. Artinya, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW itu utusan Allah.

Yang perlu diperhatikan adalah bacaan ghunnah pada ANNA Muhammad. Biasanya membacanya tidak dengung, seharusnya dengung. Dalam tajwid dibaca tiga ketukan.

Konsekuensi dari Syahadat Rosul ini adalah mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Rosul terakhir, dan kita sebagai umatnya. Oleh karenanya, kita patut meneladani akhlak Nabi Muhammad. Lalu, Tidak ada Rosul setelahnya. Itulah poin-poin yang ada dalam Syahadat Rosul. Waallahu’alam.

Semarang, 25 Juni

Tangan Sudah Berjabat Tangan, Hati Belum Berjabat Tangan

Tangan Sudah Berjabat Tangan, Hati Belum Berjabat Tangan
Oleh Agung Kuswantoro

Kumandang takbir sudah bergema. Umat Muslim di seluruh dunia, bersiap untuk menyambut hari kemenangan. Namanya saja kemenangan, pasti dirasakan dengan bahagia. Tidak ada orang yang bersedih di hari itu.

Kegembiraan diwujudkan dengan pakaian yang rapi saat sholat Id, masakan opor ayam, anak kecil ikut takbiran di Masjid/Musholla, dan kegiatan positif lainnya. Itulah beberapa wujud kegembiraan.

Umat Islam menyambut bulan Syawal. Setelah sholat usai, kemudian orang saling bersalam-salaman. Anak bersalaman kepada orang tua. Suami bersalaman kepada Istri, Rakyat bersalaman kepada Presiden/Raja, Pemimpin bersalaman kepada Pengikut, Tetangga bersalaman kepada Tetangga, dan hamba Allah bersalaman kepada hamba Allah lainnya.

Salaman adalah wujud memaafkan antar sesama. Minimal dilakukan oleh dua orang. Ada orang yang diajak salaman dan mengajak salaman. Tidak dinamakan salaman, jika dilakukan oleh seorang diri.

Lalu, saat bersalaman, ada yang mengucapkan “mohon maaf lahir dan batin”. Kemudian, dijawab dengan “ sama-sama”, dan “kita saling memaafkan”.

Atau, dengan kalimat lain “minal aidin, wal faizin”. Kemudian dibalas dengan, “taqobbalallahuma minal aidin, wal faizin”. Atau, kalimat “mohon maaf lahir dan batin”. Kemudian dijawab dengan “semoga Allah menerima atas kesalahan dan Allah mengembalikan kepada fitrah”.

Ucapan dan tindakan tersebut sejalan dengan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersalaman. Seharusnya! Namun dalam kenyatannya, ada orang yang bersalaman, tetapi belum bisa menerima atas kesalahan orang tersebut. Bisa dikatakan, “orang bersalaman, secara fisik, namun batinnya, belum bersalaman”. Orang tersebut, hanya bersalaman secara tangan saja. Hatinya, belum bersalaman.

Salaman adalah “simbol” saling memaafkan. Jika ada kasus seperti di atas, bisa dikatakan ia sebagai munafik. Mengapa? Karena, antara tindakan dan ucapan itu berbeda. Seharusnya, antara tindakan dan ucapan itua sama. Lurus dan searah.

Jangan sampai mengatakan, “saya bisa memaafkan atas kesalahan orang tersebut, namun saya belum bisa menghilangkan kesalahannya dalam ingatanku”. Kata-kata tersebut menunjukkan bahwa ia, sebenarnya belum memaafkan.

Maaf secara bahasa adalah menghapus. Menghapus ini adalah menghilangkan segala bentuk atas apa yang telah dilakukan oleh sesuatu. Termasuk, kesalahan. Oleh karenanya, agama Islam menuntun kepada hamba-Nya, yaitu mengikhlaskan atas kesalahan orang lain, yang telah diperbuat kepada kita. Ikhlas adalah level/kelas tertinggi dalam hal ini. Karena, kesalahan itu kunci untuk menghilangkan (baca: menghapus) adalah mengikhlaskan. Bukan, membalas dengan tindakan serupa yang telah diperbuat seseorang kepada kita. Itu namanya, balas dendam. Sikap ini tidak dianjurkan dalam agama Islam. Untuk menuju tehap ikhlas atas kesalahan orang lain. Ada beberapa tips agar kita bisa melaksanakan diantaranya:

Pertama, tidak membalas atas kesalahan yang telah diperbuat oleh orang lain. Artinya, membiarkan saja, tindakan “salah” yang telah dilakukan kepada kita. Kita cuek terhadap kesalahan tersebut. Sebenarnya, kita mengetahui bahwa yang dilakukan itu sebuah kesalahan.

Kedua, diam dan mengucapkan istighfar. Tindakan ini, paling aman, karena kita tidak berucap kepada orang yang telah berbuat salah. Bahkan, mulut kita mengucapkan ampunan kepada Allah. Mohon ampunan tersebut ditujukan kepada Allah untuk kita. Jadi, ia memohon ampunan untuk dirinya dan orang lain.

Ketiga, mendoakan atas orang lain yang telah berbuat salah kepada kita. Artinya, ia berdoa kepada Allah agar orang yang telah melakukan kesalahan kepada kita diberi kemudahan dalam hidup. Ia tidak egois kepada dirinya. Bahkan, bersikap terbuka kepada siapa saja. “Hatinya”, tidak mudah “terluka”. Sehingga “doa” adalah harapan dia kepada Allah. Ia menganggap bahwa, yang telah melakukan kesalahan tersebut itu manusia. Manusia adalah seorang hamba. Dan, hamba pasti membutuhkan Allah. Jadi, cara agar berkomunikasi dengan Allah itu baik dan lancar adlaah doa. Jadi, urutannya “cuek”, diam, dan beristighfar, serta berdoa untuk orang yang berbuat salah.

Dengan demikian, melalui beberapa cara tersebut, diharapkan bersalaman itu tidak hanya dengan tangan saja, tetapi hatinya. Hatinya akan mudah memaafkan kesalahan kepada orang lain.

Cobalah latihan untuk mengikhlaskan kesalahan dengan langkah-langkah itu. Allah saja, Maha Pemaaf, masa kita sebagai hamba tidak bisa memaafkan atas kesalahan orang lain? Waallahu’alam.

Pemalang, 4 Juni 2019

Agung Kuswantoro, dosen dan penulis buku tentang pendidikan administrasi perkantoran dan sosial (agama). Saat ini, penulis sedang membangun dan mengembangkan Madrasah Diniah (baca: Sekolah Arab) di daerah tempat tinggalnya, Semarang. Email: agungbinmadik@gmail.com
HP 08179599 354