Tangan Sudah Berjabat Tangan, Hati Belum Berjabat Tangan

Tangan Sudah Berjabat Tangan, Hati Belum Berjabat Tangan
Oleh Agung Kuswantoro

Kumandang takbir sudah bergema. Umat Muslim di seluruh dunia, bersiap untuk menyambut hari kemenangan. Namanya saja kemenangan, pasti dirasakan dengan bahagia. Tidak ada orang yang bersedih di hari itu.

Kegembiraan diwujudkan dengan pakaian yang rapi saat sholat Id, masakan opor ayam, anak kecil ikut takbiran di Masjid/Musholla, dan kegiatan positif lainnya. Itulah beberapa wujud kegembiraan.

Umat Islam menyambut bulan Syawal. Setelah sholat usai, kemudian orang saling bersalam-salaman. Anak bersalaman kepada orang tua. Suami bersalaman kepada Istri, Rakyat bersalaman kepada Presiden/Raja, Pemimpin bersalaman kepada Pengikut, Tetangga bersalaman kepada Tetangga, dan hamba Allah bersalaman kepada hamba Allah lainnya.

Salaman adalah wujud memaafkan antar sesama. Minimal dilakukan oleh dua orang. Ada orang yang diajak salaman dan mengajak salaman. Tidak dinamakan salaman, jika dilakukan oleh seorang diri.

Lalu, saat bersalaman, ada yang mengucapkan “mohon maaf lahir dan batin”. Kemudian, dijawab dengan “ sama-sama”, dan “kita saling memaafkan”.

Atau, dengan kalimat lain “minal aidin, wal faizin”. Kemudian dibalas dengan, “taqobbalallahuma minal aidin, wal faizin”. Atau, kalimat “mohon maaf lahir dan batin”. Kemudian dijawab dengan “semoga Allah menerima atas kesalahan dan Allah mengembalikan kepada fitrah”.

Ucapan dan tindakan tersebut sejalan dengan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersalaman. Seharusnya! Namun dalam kenyatannya, ada orang yang bersalaman, tetapi belum bisa menerima atas kesalahan orang tersebut. Bisa dikatakan, “orang bersalaman, secara fisik, namun batinnya, belum bersalaman”. Orang tersebut, hanya bersalaman secara tangan saja. Hatinya, belum bersalaman.

Salaman adalah “simbol” saling memaafkan. Jika ada kasus seperti di atas, bisa dikatakan ia sebagai munafik. Mengapa? Karena, antara tindakan dan ucapan itu berbeda. Seharusnya, antara tindakan dan ucapan itua sama. Lurus dan searah.

Jangan sampai mengatakan, “saya bisa memaafkan atas kesalahan orang tersebut, namun saya belum bisa menghilangkan kesalahannya dalam ingatanku”. Kata-kata tersebut menunjukkan bahwa ia, sebenarnya belum memaafkan.

Maaf secara bahasa adalah menghapus. Menghapus ini adalah menghilangkan segala bentuk atas apa yang telah dilakukan oleh sesuatu. Termasuk, kesalahan. Oleh karenanya, agama Islam menuntun kepada hamba-Nya, yaitu mengikhlaskan atas kesalahan orang lain, yang telah diperbuat kepada kita. Ikhlas adalah level/kelas tertinggi dalam hal ini. Karena, kesalahan itu kunci untuk menghilangkan (baca: menghapus) adalah mengikhlaskan. Bukan, membalas dengan tindakan serupa yang telah diperbuat seseorang kepada kita. Itu namanya, balas dendam. Sikap ini tidak dianjurkan dalam agama Islam. Untuk menuju tehap ikhlas atas kesalahan orang lain. Ada beberapa tips agar kita bisa melaksanakan diantaranya:

Pertama, tidak membalas atas kesalahan yang telah diperbuat oleh orang lain. Artinya, membiarkan saja, tindakan “salah” yang telah dilakukan kepada kita. Kita cuek terhadap kesalahan tersebut. Sebenarnya, kita mengetahui bahwa yang dilakukan itu sebuah kesalahan.

Kedua, diam dan mengucapkan istighfar. Tindakan ini, paling aman, karena kita tidak berucap kepada orang yang telah berbuat salah. Bahkan, mulut kita mengucapkan ampunan kepada Allah. Mohon ampunan tersebut ditujukan kepada Allah untuk kita. Jadi, ia memohon ampunan untuk dirinya dan orang lain.

Ketiga, mendoakan atas orang lain yang telah berbuat salah kepada kita. Artinya, ia berdoa kepada Allah agar orang yang telah melakukan kesalahan kepada kita diberi kemudahan dalam hidup. Ia tidak egois kepada dirinya. Bahkan, bersikap terbuka kepada siapa saja. “Hatinya”, tidak mudah “terluka”. Sehingga “doa” adalah harapan dia kepada Allah. Ia menganggap bahwa, yang telah melakukan kesalahan tersebut itu manusia. Manusia adalah seorang hamba. Dan, hamba pasti membutuhkan Allah. Jadi, cara agar berkomunikasi dengan Allah itu baik dan lancar adlaah doa. Jadi, urutannya “cuek”, diam, dan beristighfar, serta berdoa untuk orang yang berbuat salah.

Dengan demikian, melalui beberapa cara tersebut, diharapkan bersalaman itu tidak hanya dengan tangan saja, tetapi hatinya. Hatinya akan mudah memaafkan kesalahan kepada orang lain.

Cobalah latihan untuk mengikhlaskan kesalahan dengan langkah-langkah itu. Allah saja, Maha Pemaaf, masa kita sebagai hamba tidak bisa memaafkan atas kesalahan orang lain? Waallahu’alam.

Pemalang, 4 Juni 2019

Agung Kuswantoro, dosen dan penulis buku tentang pendidikan administrasi perkantoran dan sosial (agama). Saat ini, penulis sedang membangun dan mengembangkan Madrasah Diniah (baca: Sekolah Arab) di daerah tempat tinggalnya, Semarang. Email: agungbinmadik@gmail.com
HP 08179599 354

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: