Gedung Arsip Di BUMN Tetap Diperlukan

Gedung Arsip Di BUMN Tetap Diperlukan
Oleh Agung Kuswantoro

Menyikapi berita Tribunnews.com edisi Senin (16/12) https://www.tribunnews.com/nasional/2019/12/16/erick-thohir-batalkan-pembangunan-gedung-arsip-era-rini-soemarno-di-era-digital-sekarang ada beberapa hal yang saya tidak sependapat. Menurut saya, arsip tetap membutuhkan tempat. Tidak semua arsip harus disimpan di udara/cloud computing. Informasi akan suatu arsip bisa disimpan melalui sistem. Misal, arsip statis. Arsip statis memiliki nilai guna permanen dan secara ketentuan hukum tidak boleh dimusnahkan.

Keberadaan arsip statis sangat penting karena berkaitan dengan proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh kriteria arsip statis yaitu arsip tentang kehidupan organisasi, arsip tentang bangunan atau batas wilayah, arsip tentang hak paten/cipta, arsip tentang tokoh yang berkaitan dengan sejarah, dan arsip tentang hasil penelitian.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 Pasal 59 ayat (2) mengatakan bahwa pengelolaan arsip statis meliputi akuisisi, pengelolaan arsip statis, preservasi arsip statis, dan akses arsip. Arti dari pasal tersebut, bahwa arsip statis itu harus ada dan diolah. Tidak bisa, asal di-online-kan. Wujud akan arsip statis jelas ada. Yang perlu dipahami bersama adalah tidak semua arsip itu termasuk arsip statis.

Pada prinsipnya arsip dibagi menjadi dua yaitu arsip dinamis dan statis. Cara pengolahannya pun berbeda diantara keduanya. Letak/keberadaan kedua arsip (dinamis/statis) juga berbeda. Misal dalam suatu organisasi, keberadaan arsip dinamis ada di unit masing-masing. Sedangkan arsip statis ada di pusat arsip.

Bisa jadi, arsip di BUMN belum memetakan mana arsip statis dan dinamis. Semua arsip disimpan. Arsip belum dikelompokkan dalam kategori dinamis dan statis. Sehingga, terlihat banyak volume/jumlah arsipnya. Oleh karenanya, dibutuhkan gedung arsip dan assesment center dengan anggaran senilai Rp. 50 Milyar.

Alasan yang disampaikan Bapak Erick Thohir, karena aspek efisiensi itu ada benarnya. Pemerintah dalam mengelola anggarannya berprinsip efisiensi. Namun, menurut saya, efisiensi tidak mengesampingkan asas keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah adil dalam pengolahan informasi suatu arsip. Arsip tetap memiliki peranan. Bayangkan, jika suatu lembaga tidak (belum) mengelola kearsipannya, maka dapat dipastikan lembaga tersebut lemah akan “status” hukumnya.

Anda pernah mendengar, bahwa Supersemar hilang? Keberadaan Supersemar hilang, sehingga kekuatan akan informasi yang ada dalam Supersemar juga tidak kuat. Nah, jangan sampai hal ini terjadi di sebuah organisasi. Apalagi selevel BUMN. Lalu bagaimana seharusnya?

BUMN haruslah memiliki kebijakan kearsipan dan sumber daya kearsipan. Sumber daya meliputi sarana, prasarana (gedung arsip, lemari arsip, dan guide arsip), pembiayaan kearsipan, dan pranata/arsiparis. Kebijakan meliputi peraturan kearsipan seperti tata naskah, Jadwal Retensi Arsip/JRA, pola klasifikasi arsip dan hak akses serta keamanan arsip.

Dengan instrumen di atas, bisa jadi, efisiensi anggaran pembangunan gedung arsip tidak sebesar itu. Bisa diefisienkan. Namun, keberadaan arsip statis tetap dikelola. Sehingga, tetap dibutuhkan tempat/ruang/gedung. Idealnya, memang satu organisasi memiliki ruang/depo kearsipan untuk menyimpan arsipnya. Bahkan ada istilah, central file dan record center. Namun, itu semua tergantung pada kebijakan pimpinan. Arsip bisa tertata rapi, salah satunya, adalah kesadaran dari pimpinan. Bukankah, pimpinan yang memegang surat kebijakan?

Semarang, 18 Desember 2019

Penulis, Koordinator sistem dan layanan UPT Kearsipan dan dosen pendidikan Administrasi Perkantoran Universitas Negeri Semarang, email : agungbinmadik@mail.unnes.ac.id; HP: 08179599354