Kisah Inspiratif, Mas Bela

Kisah Inspiratif, Mas Bela
Oleh Agung Kuswantoro

Saya merasa terharu saat istri (lu’lu’ Khakimah) memberitahu, bahwa Mas Bela datang ke rumah untuk memberikan sedekah uang ke Madrasah.

Mengapa saya terharu? Saya menduga/menebak, bahwa uang tersebut adalah gaji yang ia terima selama mengajar di Madrasah dari tahun Januari 2017 hingga Januari 2020. Gajinya memang tidak banyak.

Laporan dari bendahara Madrasah bahwa, sedekah Mas Bela sebesar Rp. 600.000,00. Nominal ini, menurut saya sangat banyak. Karena Mas Bela selama ini masuk dua hari dalam sepekan. Artinya, gajinya dia berkisar mulai Rp. 80.000,00 – Rp. 200.000,00. Bahkan, bulan tertentu tidak dibayar/digaji. Bisa dipastikan gaji tertingginya adalah bulan Januari tahun 2020, setelah Peraturan Madrasah ditetapkan, bahwa gaji Ustad adalah Rp. 200.000,00. Kemudian pada tahun sebelumnya itu gajinya relatif/berubah-ubah mulai Rp. 80.000,00 – 100.000,00 per bulannya.

Jadi, angka Rp. 600.000,00, bisa dipastikan gaji selama tiga tahun disedekahkan ke Madrasah. Memang konsep Madrasah adalah sosial. Sehingga, ia paham betul apa yang saya lakukan di Madrasah yaitu, perjuangan.

Ketulusan, keikhlasan, dan perjuangan Mas Bela harus saya dan Anda ditiru. Belum tentu saya dan Anda bisa seperti itu. Belum lagi, keaktifan dia pergi ke Masjid untuk melakukan sholat lima waktu. Sekarang, ia sudah kembali ke kampung halaman di Lampung. Saya yakin, ia berjuang hidup di sana.

Saya mengucapkan terima kasih atas pembelajaran hidup Mas Bela. Ia adalah guru saya dalam ketulusan, keikhlasan, dan perjuangan hidup. Sukses selalu untuk Mas Bela. Tetap semangat untuk sholat berjamaah di Masjid, dimanapun Mas Bela berada ya? []

Semarang, 29 Januari 2020

Catatan : Tulisan ini atas seizin Mas Bela. Tujuannya untuk memotivasi dalam berbuat baik, bukan untuk kesombongan.

Menulislah Dari Hati, Bukan Dari Otak

Menulislah Dari Hati, Bukan Dari Otak
Oleh Agung Kuswantoro

Bagi seorang penulis, pasti mengenal Imam Suprayogo. Ia adalah mantan Rektor Universitas Islam Negeri Malang dan pernah mendapatkan rekor MURI tiga tahun berturut-turut karena prestasi menulis di blog setiap hari sejak 16 Juni 2008- 15 Juni 2011. Perhatikan sitasi atas karyanya di sini https://scholar.google.com/citations?user=WawCB9cAAAAJ&hl=th.

Sabtu (25 Januari 2020), saya bertemu dan menyimak materi yang disampaikan mengenai kepenulisan. Saya tertarik dengan materinya. Beberapa poin yang saya catat diantaranya seperti berikut:

1. Membiasakan menulis dengan diri sendiri

Menulis itu menggunakan tangan, otak, dan hati. Artinya, menulis itu dengan diri sendiri. Menulis dengan diri sendiri menjadikan tenang dan mudah diterima pesannya kepada orang lain.

Tangan ini adalah tanganku. Otak ini adalah otakku. Dan, hati ini adalah hatiku. Dengan mengajak diri untuk menulis, akan terasa ‘mengalir’. Menulis akan terasa ‘bebas’. Menulis akan menjadikan cerdas. Jika yang menulis orang lain, maka akan berbeda dengan yang akan dipikirkan oleh penulis sebenarnya.

Bagi Imam Suprayogo, dalam menulis itu menulis saja. Ia merasa dirinya bodoh, sehingga wajar ia diberi komentar atas tulisannya oleh orang lain.

Dengan cara seperti itu, menulis pasti dengan hati. Menulis dengan hati itu sangat cepat, dibanding dengan menulis dengan otak. Menulis dengan otak itu lambat. Belum merevisi atau mencari inspirasinya.

Sehingga, dalam penyusunannya akan kesusahan. Belum lagi takut salah, apalagi bila di-publish dan dibaca oleh orang lain. Pasti, penulis tersebut akan pikir-pikir.

Oleh karenanya, penulis itu sebenarnya orang yang bodoh. Ia pasti menulis atas kekurangannya, dimana ia sendiri harus belajar dan memiliki pengalaman sebagai dasar menulis. Karena penulis itu orang bodoh, maka wajar jika tulisannya dikomentari oleh pembaca.

Bagi penulis yang perlu dipahami adalah mencari inspirasi tulisan. Inspirasi sebuah tulisan akan muncul pada tempat yang menginspirasi. Perlu diingat, bahwa tidak semua tempat itu sama. Tempat yang mulia sebagai sumber inspirasi adalah tempat yang baik misal, Mekkah.

Misal, sa’i itu hanya ada di Marwah dan Sofa. Tidak bisa dikatakan jalan-jalan ke alun-alun Pemalang itu, sa’i. Melempar batu/kerikil itu hanya di Mina. Jika ada mahasiswa melempar batu itu sedang demo, bukan jumroh di Mina. Dan, tempat untuk berhenti dan berdoa itu di Arofah. Tidak semua tempat pemberhentian itu untuk berdoa dan berdzikir, seperti terminal. Terminal untuk pemberhentian bus. Oleh karenanya, dalam tempat-tempat baik itu banyak inspirasi. Carilah tempat-tempat yang menginspirasi dalam menulis.

2. Menulis adalah suatu sarana/sambung untuk menyalurkan pesan. Sholat itu ‘sambung’ ke Allah. Dalam “menyambung” harus sesuai dengan orang yang akan ‘disambung’.

Tulisan tentang agama, maka kepada ustad, kiai, dan habib-lah sebagai ‘sambungannya’, sehingga bahasanya seperti, “astaghfirullah ‘aladzim”, subhanallah, dan perkataan baiknya.

Tidak mungkin tulisan agama itu ‘sambungannya’ dengan yang tidak beragama, sehingga bahasanya tidak baik/kotor.

3. Dalam menulis dibutuhkan suatu “rumah”. Rumah adalah simbol pendidikan. Berarti ada yang menilai akan tulisan itu sendiri. Minimal dirinya dan orang lain yang membaca. Dalam “rumah” itu harus ditanamkan akhlak yang baik, seperti jujur.

Penulis dalam “rumah” itu haus jujur. Minimal, penulis itu jujur pada dirinya sendiri. Sehingga, penulis tersebut akan menyampaikan pesan kejujuran kepada orang lain. Oleh karenanya, dalam “rumah” tersebut, penulis akan membina akhlak pada orang yang didalamnya. Penulis akan mengajak kepada “isi” rumah untuk berakhlak mulia.

Kenalilah diri sendiri. Kenalilah diri penulis. Pengalaman dan informasi utama sebuah tulisan adalah penulis. Bukan orang lain yang menuliskan, kemudian orang tersebut mengidekan. Jelas, hasil (baca:“rasanya”) akan tulisan tersebut akan kurang ‘renyah”.

Ibaratnya, yang mengidekan suatu masakan itu, orang yang bernama X. Yang masak, orang bernama Y. Antara yang mengide masak dan orang yang masak itu berbeda orang. Hasilnya, jelas rasanya berbeda. Oleh karena, ide dan yang menulis itu sebaiknya, orangnya sama.

Demikanlah, point-point yang saya tangkap dan Prof. Imam Suprayogo, sehingga tulisan beliau tetap berisi. Itulah caranya agar selalu konsisten menulis pula. []

Malang, 25 Januari 2020

Terimakasih, Mas Bela Sudan Menjadi Ustad Di Madrasah Aqidatul Awwam

Terima Kasih, Mas Bela Sudah Menjadi Ustad di Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam
Oleh Agung Kuswantoro

Terima kasih sekali saya didampingi oleh mas Bela dalam pembelajaran Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam. Mas Bela/ia mengajar di kelas D. Kelas D berisikan santri-santri besar. Kebanyakan dari mereka/santri-santri adalah SD kelas 6 dan SMP. Atau, kemampuan akademiknya sama.

Tiga tahun pula, ia bergabung dengan Madrasah. Saya menempatkan mas Bela sebagai ustad bidang tajwid. Termasuk praktek membaca al-Qur’an. Saya menilai bacaan al-Qur’annya (mas Bela) itu bagus. Ia mampu membaca al-Qur’an dengan fasih dan makhorijul huruf-nya, tepat.

Ia adalah Mahasiswa Magister Pascasarjana prodi Bimbingan Konseling. Sekarang, tesisnya sudah selesai. Ia dimintai oleh orang tuanya untuk kembali ke desanya di Lampung.

Ia juga telah aktif memakmurkan Masjid Nurul Iman. Sholat lima waktu dikerjakan di Masjid Nurul Iman. Hampir pasti – jika tidak ada halangan – saat saya menjadi imam, ia ada sebagai makmum. Bahkan, ia menjadi imam untuk sholat tertentu (biasanya sholat Dhuhur dan Asar.

Kemarin (Senin, 27 Januari 2020), pembelajaran terakhir baginya di Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam. Banyak cerita suka dan dukanya. Saya hanya mengucapkan terimakasih atas amalan baiknya terhadap Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam dan Masjid Nurul Iman, seperti ia menjadi ustad, makmum, dan imam.

Selamat berjuang di kampung halaman (Lampung). Semoga ilmu yang disampaikan ke santri bermanfaat kelak, jika dewasa. Saya selaku imam Masjid Nurul Iman dan pengelola Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam mengucapkan mohon maaf lahir dan batin atas kesalahan yang saya lakukan dan beberapa ustad/ustadah yang lakukan kepada mas Bela. Sukses selalu ya? Amin. []

Semarang, 28 Januari 2020

Untuk Siapakah Jumat’an?

Tulisan untuk mengingatkan diri saya dan keluarga saya sendiri. Harapannya, bisa mempraktekkan apa yang saya tulis. Tulisan akan saya sampaikan pula nanti siang jam 12.00 WIB di Masjid Nurul Iman. Semoga Saya dan Anda bisa menjadi lebih baik dalam ketakwaan. Amin.

Untuk Siapakah Jumat’an?
Oleh Agung Kuswantoro

“Hai orang-orang beriman, apabila dipanggil/diseru untuk menunaikan sholat Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (al Jumuah: 9)

Hari ini dan saat ini, kita berkumpul. Berkumpul, karena ibadah sholat Jum’at. Lantas, muncul pertanyaan, “Untuk siapakah sholat Jumatan itu?” Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita pelajari/telaah ayat ke-9 surat al-Jumuah yang Khotib telah bacakan.

Ya ayyuhalladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman). Imam al-Qurthubi memaknai Ya ayyuhalladzina amanu yaitu orang mukallaf. Orang mukallaf menurut fiqih adalah yang baligh. Artinya, bagi seorang laki-laki (minimal) yang sudah mimpi basah. Jika ada seorang laki-laki itu belum mimpi basah, namun ia/laki-laki tersebut sholat Jum’at, maka ia termasuk dalam kategori latihan sholat Jum’at. Ia belum wajib melaksanakan sholat Jum’at. Dan, sholat Jum’at diwajibkan hanya untuk laki-laki.

Berarti input/masukan atau orang yang menjalani sholat jumat itu laki-laki, maka hasilnya ada pada subjek/orang laki-laki tersebut antara “sebelum” dan “sesudah” melakukan sholat Jumat harus berbeda.

Misal, piring “belum” dan “sudah” dicuci itu pasti berbeda. Dimana, objek bendanya, sama yaitu piring. Hanya diperlakukan dengan cara dicuci.

Sekolahan. Anak didik/siswa/santri yang “sudah” dan “belum” diberi materi di Madrasah/Sekolahan itu berbeda hasilnya, dengan anak didik/siswa/santri yang “sudah” dan “belum” menerima materi.

Sama halnya, orang yang Jum’atan, yang perlakuannya “telah” dan “belum” melaksanakan sholat Jum’at, pasti berbeda seharusnya.

Mengapa? Dalam sholat Jum’at ada khutbah–yang hukumnya wajib–bagi Jamaah/Makmum untuk mendengarkannya. Sehingga, Muadzin, saat mengantarkan Khotib sebelum masuk ke mimbar berkata” ansitu”. “ansitu”. Artinya “diamlah”. Lengkapnya, “Ansitu was mau wa athi’u rohimakumullah”. Artinya, diamlah dan dengarkanlah, Anda yang dirahmati Allah.

Kalimat ansitu/diamlah adalah kalimat perintah. Dalam ilmu Usul Fiqih ada kaidah berbunyi al-aslu fil amri lilwujubi. Artinya, pada asalnya (setiap) perintah itu menunjukkan hukum wajib.

Jadi, kalimat ansitu/diamlah adalah kalimat yang mengandung perintah. Perintah diam. Artinya, perintah diam itu hukumnya wajib. Perintah mendengarkan khutbah Jum’at itu wajib. Oleh karenanya, menjadi wajib hukumnya bagi seorang Jama’ah untuk diam dan mendengarkan khutbah saat sholat Jum’at. Dan, tidak sempurna sholatnya seseorang, jika ia tidak mendengarkan atau sengaja tidak hadir saat khutbah. Ia datang saat iqomah. Orang yang melakukan hal seperti itu, pahalanya tidak maksimal.

Dengan demikian, pertanyaan tentang “untuk apakah sholat Jum’at itu?” Jawabnya, untuk diri sendiri. Untuk diri orang yang Jumat’an. Untuk laki-laki yang hadir saat Jumatan. Harapannya, laki-laki itu tambah pintar dan bijak dalam keislaman dan keimanannya.

Dalam diri laki-laki itu, ada tanggungjawab kepada keluarga. Misal, jika laki-laki itu seorang suami, ia akan menyampaikan pesan takwa/isi khutbah kepada istri dan anaknya. Jika laki-laki itu seorang kakek/mbah kakung, maka ia akan menyampaikan wasiat takwa kepada mbah putri, dan cucunya.

Harapannya, setelah pesan itu disampaikan istri, anak, mbah putri, cucu, dan orang sekitarnya akan meningkat ketakwaanya. Jadi, bukan yang rajin beribadah itu seorang suami dan mbah kakung saja. Namun, dibelakang itu, ada istri, anak, mbah putri, cucu, dan tetangga rumah. Hal ini pula, yang khotib/saya lakukan. Selalu menyampaikan nasihat takwa untuk istri dan kedua anak saya.

Saat ada kesempatan suami pergi ke Masjid untuk sholat berjamaah, ajaklah istri dan anaknya. Demikian pula, saat ada kesempatan mbah kakung pergi ke Masjid, ajaklah mbah putri, anak, dan cucunya.

Jangan sampai, (misal) seorang suami yang sholat di Masjid menjadi imam/makmum/muadzin, namun istri dan anaknya tidak sholat di Masjid atau Rumah.

Sama halnya seorang suami dan mbah kakung yang sholatnya di Masjid. Dia (suami dan mbah kakung) menjadi imam/makmum/muadzin, namun istri, anak dan cucunya tidak sholat. Hal ini semoga tidak terjadi dalam diri saya dan Anda. Karena, nasihat takwa seorang suami dan mbah kakung tidak/belum tersampaikan kepada mbah putri, istri, anak, dan cucunya. Artinya, nasihat takwa tersebut, baru tersampaikan untuk dirinya sendiri. Hadist Nabi mengatakan:

Artinya, “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakan” (HR. Muslim).

Maksud hadist di atas, adalah orang yang menunjukkan sesuatu kebaikan dan orang yang diberi petunjuk kebaikan tersebut melakukannya. Maka, orang yang menunjukkan perbuatan baik tersebut, akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukan petunjuk tersebut.

Kembali pada pertanyaan di atas, “Siapakah orang yang melakukan/memberi petunjuk itu?” Ia adalah laki-laki (minimal itu). Ia adalah orang yang hadir dalam Jumat’an ini. Karena dalam diri seorang laki-laki terdapat tanggungjawab kepada keluarga seperti mbah putri, istri, anak, dan cucu.

Mari sebagai insan/manusia yang beriman sampaikan nasihat takwa kepada keluarganya. Jangan sampai, saya dan Anda datang seorang diri ke Masjid. Ulurkan tangan, gandeng dan ajaklah keluarga saya dan Anda ke Masjid. Itu sebagai bentuk kecintaan kepada Allah.

Dan, bentuk kecintaan kita kepada Masjid. Anak-anak dan cucu-cucu adalah penerus Masjid. Besok/kelak, saya dan Anda pasti mati. Sehingga, kepada siapa saya dan Anda dapat berharap, jika tidak kepada anak dan cucu.

Alangkah indah dan nikmatnya, saat seorang laki-laki (suami atau mbah kakung) itu menjadi imam, kemudian yang makmum adalah istri, mbah putri, anak, cucu, dan tetangga sekitarnya. Mereka akan merasakan keharmonisan dan ketentraman jiwa. []

Demikianlah khutbah singkat ini, ada beberapa simpulan:

1. Sholat Jum’at hukumnya wajib bagi laki-laki yang balig. Sholat Jum’at itu untuk seorang laki-laki.

2. Wasiat takwa bagi orang yang yang telah melakukan sholat Jum’at–seharusnya dan wajib, hukumnya–disampaikan kepada keluarganya. Karena dalam diri seorang laki-laki, ada tanggung jawab kepada keluarganya.

3. Ajaklah keluarga untuk selalu bertakwa. Salah satu bentuk ketakwaan di masyarakat adalah sholat di Masjid. Ajaklah mbah putri, istri, anak dan cucu ke Masjid untuk sholat berjamaah.

4. Pahala bagi orang yang mengajak kebaikan adalah sama persis bagi orang yang mengerjakan pekerjaan tersebut. Oleh karenanya, jadilah orang yang selalu mengajak kepada kebaikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat. []

Semarang, 7 Januari 2020. Jam 05.00 – 06.10 WIB ditulis di Rumah.

Mengenalkan dan Menunjukkan Arsip UNNES

Mengenalkan dan Menunjukkan Arsip UNNES

Oleh Agung Kuswantoro

 

Apakah arsip masih penting? Pertanyaan singkat dan pendek yang disampaikan Rektor UNNES—Prof. Dr. Fathur Rakhman, M. Hum—kepada saya saat pelantikan kepada UPT UNNES tahun 2019-2023 di ruang Kantil, Auditorium UNNES. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Jumat (27/12/2019). https://unnes.ac.id/berita/rektor-unnes-lantik-kepala-upt-periode-2019-2023.html

 

Pertanyaan  di atas, pastinya tidak ada jawaban secara langsung oleh saya, karena bentuk acaranya adalah pelantikan. Acara yang sakral. Komunikasi dalam acara tersebut berbentuk satu arah. Artinya, hanya Rektor kepada pejabat yang dilantik dan peserta yang hadir.

 

Melalui tulisan ini saya mencoba menjawab atas pertanyaan tersebut yang ditujukan kepada saya. Mencermati dan menelaah pertanyaan Prof. Fathur—sebutan Rektor dalam tulisan ini selanjutnya—menunjukkan, bahwa pemahaman dan kesadaran tentang arsip oleh civitas warga UNNES masih lemah. Seharusnya, jika orang memahami arsip, pasti tidak akan muncul pertanyaan di atas. Mungkin, pertanyaannya sudah ranah pengembangan pengelolaan kearsipan.

 

Ini pertanda, bahwa saya—selaku kepada UPT Kearsipan UNNES – yang baru dilantik memiliki tugas untuk mengenalkan, memahami, dan menginformasikan arsip UNNES kepada pimpinan UNNES pada khususnya. Dan, mengenalkan, memahamkan, dan menginformasilkan arsip UNNES kepada warga UNNES dan masyarakat pada umumnya. Bisa jadi, selama ini keberadaan arsip belum menempatkan pada posisi yang tepat, sehingga arsip belum dikenal oleh civitas UNNES.

 

Lalu, bagaimana cara mengenalkan arsip kepada pimpinan dan warga seluruh UNNES? Layaknya, orang baru dalam suatu komunitas, agar bisa dikenal, maka ia mengenalkan diri kepada mereka. Sama juga, jika itu suatu lembaga, maka harus mengenalkan. Jika hanya kenalan, maka itu biasa. Seperti layaknya orang yang mengenalkan diri.

 

Saya rasa tidak cukup dengan mengenalkan diri, namun harus ada yang dikenalkan. Apa itu? Produk. Layaknya, orang yang berjualan untuk mengenalkan dirinya, maka produknya yang dikenalkan dulu. Mobil, Mobilio (nama mobil) dikenalkan ke masyarakat, baru orang akan mengenal Honda. Bukan, Honda mengenalkan dirinya, Honda. Tetapi, Honda mengenalkan Mobilo. Honda memiliki apa? Memiliki Mobilio.

 

Produk dari arsip apa? Berdasarkan pengalaman saya selama menjadi koordinator sistem dan layanan kearsipan, bahwa UPT Kearsipan UNNES memiliki arsip-arsip statis yang disimpannya. Arsip-arsip mengenai Rektor, sejarah UNNES, beberapa foto tokoh orang yang berjasa dengan UNNES dan beberapa arsip statis lainnya yang dimiliki oleh UPT Kearsipan UNNES. Arsip-arsip statis tersebut harus ditampilkan ke pimpinan, warga UNNES, dan masyarakat. Bentuk mengenalkan arsip ke pimpinan, warga UNNES, dan masyarakat bentuknya bisa pameran atau tampilan video.

 

Menyimak sambutan Prof Fathur saat pelantikan, bahwa menginginkan diaroma UNNES. Dalam pemahaman saya, untuk membuat diaroma UNNES dibutuhkan data yang akurat dan pendanaan yang cukup. Bisa jadi, diaroma menjadi pilihan yang tepat untuk mengenalkan dan memahami arsip bagi pimpinan, warga UNNES, dan masyarakat. Pastinya, dalam pembuatan diaroma UNNES melibatkan banyak unit seperti UPT TIK, UPT Humas, prodi sejarah, dan prodi administrasi perkantoran.

 

Jika saya boleh bermimpi, pembuatan diaroma UNNES itu dalam waktu beberapa tahun lagi. Bisa jadi dua hingga dua tahun lagi. Butuh persiapan dulu, mulai data/arsip statis, fokus/tema yang akan dibuat diaroma, validitas data, dan persiapan media, dan sumber data berupa orang yang terlibat berkaitan dengan arsip, verifikasi data, dan persiapan yang lainnya.

 

Saya memaknai diaroma termasuk video. Diaroma bermakna (1) sajian pemandangan dalam ukuran kecil yang dilengkapi dengan patung dan perincian lingkungan seperti aslinya serta dipadukan dengan latar yang berwarna alami; pola atau corak tiga dimensi suatu adegan atau pemandangan yang dihasilkan dengan menempatkan objek dan tokoh di depan latar belakang dengan perspektif yang sebenarnya sehingga dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya; (2) pameran spesimen satwa liar atau pemandangan dalam ukuran aslinya yang dilengkapi dengan lingkungan alam asli dan latar yang bercat. (https://kbbi.web.id/diorama)

 

Oleh karenanya, saya harus membuat tahapan-tahapan. Misal pada tahun 2020 fokus kegiatannya adalah pengumpulan data berupa arsip-arsip statisnya. Kemudian, penentuan tema yang akan dibuat diaorama UNNES. Tahun 2021  fokus kegiatannya adalah verifikasi data, keterlibatan orang yang terlibat dalam sumber data, dan persiapan pembuatan media/video.

 

Cara mengenalkan dan memahami arsip kepada pimpinan, warga UNNES, dan masyarakat melalui diaorama—menurut saya—lebih ampuh dibandingkan pameran. Pameran terkesan ‘mati’, hanya orang-orang tertentu yang bisa meresapi akan makna sebuah arsip yang ditampilkan. Tidak semua orang memahami makna sebuah arsip yang ditampilkan. Berbeda dengan diaorama, ada gambar dan suaranya, sehingga terkesan ‘hidup’ arsipnya.

 

Selain itu, dapat ditampilkan saat Dies Natalis UNNES, dimana civitas warga UNNES hadir saat acara tersebut. Betapa banyak tatapan pasangan mata yang melihat diaorama UNNES waktu itu. Diaroma juga sekaligus menjawab tantangan Prof. Fathur yang ditujukan kepada saya saat pelantikan. Dengan cara demikian, arsip terasa hadir saat ini, walaupun terjadi pada masa lampau.

 

Lalu, jika (masih) ada pertanyaan, apakah arsip masih penting? Jawablah dengan diaroma UNNES. Jika orang tidak bertanya dengan kalimat apakah arsip masih penting, berati orang tersebut sudah mengenal dan memahami sebuah arsip.

 

Saya bukanlah Malaikat. Sehingga, untuk mewujudkan hal itu perlu dukungan teman-teman dari UPT Kearsipan UNNES. Ada Pak Dwi, Mba Bunga, Mba Niken, Mba Atu, dan Mba Ina yang akan mewujudkan cita-cita itu. Tanpa mereka, hampir dipastikan tidak bisa. Jika UPT Kearsipan UNNES ingin dikenal, pastinya harus bergerak dulu. Mengingat kebijakan, lokasi, dan sarana prasarana kearsipan, dan beberapa lainnya belum mendukung untuk UPT Kearsipan UNNES. Oleh karenanya, saya dan Anda yang bergerak dulu. UPT Kearsipan UNNES pasti akan terkena dampaknya.

 

Saya dan Anda memiliki kelemahan itu suatu kepastian. Berarti kita tidak sendiri, namun harus melibatkan orang lain agar tujuan tercapai. Itu dari sisi fisik. Dari sisi psikis, kuatkan doa. Karena dengan doa, sesuatu akan menjadi mungkin. Dari tidak mungkin menjadi mungkin. Dari yang tidak dikenal menjadi dikenal. Dari yang sedikit menjadi banyak. Dan, dari yang terasing menjadi dikenal.

 

Itu saja, coret-coretan saya di akhir tahun. Semoga bermanfaat, minimal untuk diri saya agar mudah memetakan apa yang harus saya lakukan. Selamat tahun baru 2020. Semoga UPT Kearsipan UNNES sukses selalu. Amin.

 

Semarang, 31 Desember 2019