Menulislah Dari Hati, Bukan Dari Otak

Menulislah Dari Hati, Bukan Dari Otak
Oleh Agung Kuswantoro

Bagi seorang penulis, pasti mengenal Imam Suprayogo. Ia adalah mantan Rektor Universitas Islam Negeri Malang dan pernah mendapatkan rekor MURI tiga tahun berturut-turut karena prestasi menulis di blog setiap hari sejak 16 Juni 2008- 15 Juni 2011. Perhatikan sitasi atas karyanya di sini https://scholar.google.com/citations?user=WawCB9cAAAAJ&hl=th.

Sabtu (25 Januari 2020), saya bertemu dan menyimak materi yang disampaikan mengenai kepenulisan. Saya tertarik dengan materinya. Beberapa poin yang saya catat diantaranya seperti berikut:

1. Membiasakan menulis dengan diri sendiri

Menulis itu menggunakan tangan, otak, dan hati. Artinya, menulis itu dengan diri sendiri. Menulis dengan diri sendiri menjadikan tenang dan mudah diterima pesannya kepada orang lain.

Tangan ini adalah tanganku. Otak ini adalah otakku. Dan, hati ini adalah hatiku. Dengan mengajak diri untuk menulis, akan terasa ‘mengalir’. Menulis akan terasa ‘bebas’. Menulis akan menjadikan cerdas. Jika yang menulis orang lain, maka akan berbeda dengan yang akan dipikirkan oleh penulis sebenarnya.

Bagi Imam Suprayogo, dalam menulis itu menulis saja. Ia merasa dirinya bodoh, sehingga wajar ia diberi komentar atas tulisannya oleh orang lain.

Dengan cara seperti itu, menulis pasti dengan hati. Menulis dengan hati itu sangat cepat, dibanding dengan menulis dengan otak. Menulis dengan otak itu lambat. Belum merevisi atau mencari inspirasinya.

Sehingga, dalam penyusunannya akan kesusahan. Belum lagi takut salah, apalagi bila di-publish dan dibaca oleh orang lain. Pasti, penulis tersebut akan pikir-pikir.

Oleh karenanya, penulis itu sebenarnya orang yang bodoh. Ia pasti menulis atas kekurangannya, dimana ia sendiri harus belajar dan memiliki pengalaman sebagai dasar menulis. Karena penulis itu orang bodoh, maka wajar jika tulisannya dikomentari oleh pembaca.

Bagi penulis yang perlu dipahami adalah mencari inspirasi tulisan. Inspirasi sebuah tulisan akan muncul pada tempat yang menginspirasi. Perlu diingat, bahwa tidak semua tempat itu sama. Tempat yang mulia sebagai sumber inspirasi adalah tempat yang baik misal, Mekkah.

Misal, sa’i itu hanya ada di Marwah dan Sofa. Tidak bisa dikatakan jalan-jalan ke alun-alun Pemalang itu, sa’i. Melempar batu/kerikil itu hanya di Mina. Jika ada mahasiswa melempar batu itu sedang demo, bukan jumroh di Mina. Dan, tempat untuk berhenti dan berdoa itu di Arofah. Tidak semua tempat pemberhentian itu untuk berdoa dan berdzikir, seperti terminal. Terminal untuk pemberhentian bus. Oleh karenanya, dalam tempat-tempat baik itu banyak inspirasi. Carilah tempat-tempat yang menginspirasi dalam menulis.

2. Menulis adalah suatu sarana/sambung untuk menyalurkan pesan. Sholat itu ‘sambung’ ke Allah. Dalam “menyambung” harus sesuai dengan orang yang akan ‘disambung’.

Tulisan tentang agama, maka kepada ustad, kiai, dan habib-lah sebagai ‘sambungannya’, sehingga bahasanya seperti, “astaghfirullah ‘aladzim”, subhanallah, dan perkataan baiknya.

Tidak mungkin tulisan agama itu ‘sambungannya’ dengan yang tidak beragama, sehingga bahasanya tidak baik/kotor.

3. Dalam menulis dibutuhkan suatu “rumah”. Rumah adalah simbol pendidikan. Berarti ada yang menilai akan tulisan itu sendiri. Minimal dirinya dan orang lain yang membaca. Dalam “rumah” itu harus ditanamkan akhlak yang baik, seperti jujur.

Penulis dalam “rumah” itu haus jujur. Minimal, penulis itu jujur pada dirinya sendiri. Sehingga, penulis tersebut akan menyampaikan pesan kejujuran kepada orang lain. Oleh karenanya, dalam “rumah” tersebut, penulis akan membina akhlak pada orang yang didalamnya. Penulis akan mengajak kepada “isi” rumah untuk berakhlak mulia.

Kenalilah diri sendiri. Kenalilah diri penulis. Pengalaman dan informasi utama sebuah tulisan adalah penulis. Bukan orang lain yang menuliskan, kemudian orang tersebut mengidekan. Jelas, hasil (baca:“rasanya”) akan tulisan tersebut akan kurang ‘renyah”.

Ibaratnya, yang mengidekan suatu masakan itu, orang yang bernama X. Yang masak, orang bernama Y. Antara yang mengide masak dan orang yang masak itu berbeda orang. Hasilnya, jelas rasanya berbeda. Oleh karena, ide dan yang menulis itu sebaiknya, orangnya sama.

Demikanlah, point-point yang saya tangkap dan Prof. Imam Suprayogo, sehingga tulisan beliau tetap berisi. Itulah caranya agar selalu konsisten menulis pula. []

Malang, 25 Januari 2020

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: