Tata dan Pak Sukardi

Tata dan Pak Sukardi
Oleh Agung Kuswantoro

Tata adalah putri dari Pak Sukardi. Tata, seorang difabel. Pak Sukardi, pekerja keras yang terampil mendesain logo dan gambar. Judul diatas adalah “simbol” kekompakan antara anak dan orangtua/Bapak.

Tidak semua seorang Bapak bisa seperti Pak Sukardi. Dan, tidak semua anak bernasib seperti Tata. Pak Sukardi sangat sabar dan telaten dalam mendampingi dan mendidik Tata.

Saya menjadi saksi atas pekerjaan ‘mulia’ yang dilakukan oleh Pak Sukardi. Sejak usia 3 tahunan hingga sekarang (12 tahun), Tata sudah banyak perkembangannya.

Dulu, suka/sering berteriak tanpa sebab. Sekarang, sudah stabil kondisinya. Dulu, suka mencoret-coret/menggambar di tembok/dinding. Sekarang sudah suka menggambar di kertas.

Tidak hanya itu, dalam perkembangan lainnya seperti akademik, sosial, bahasa, dan komunikasi verbal sudah lebih baik. Ia memahami lawan dan kawan bicaranya. Ia juga bisa mulai ‘jeli’ dan kritis atas suatu peristiwa.

Perubahan pada diri Tata, pastinya salah satunya karena “gaya” pola pengasuhan Pak Sukardi. Sekolahnya saja, khusus dengan guru yang mengangani. Namanya, saja difabel. Ada yang berbeda dengan “wajar” atau layaknya orang lain, maka perlakuannya juga berbeda.

Menurut saya, apa yang telah dilakukan oleh Pak Sukardi, itu benar. Sehingga ia/Pak Sukardi konsen pada pengasuhan Tata. Hidupnya sebagian besar diabdikan kepadanya. Ia memilih jalan hidupnya, itu. Saya yakin, dalam pilihan hidupnya, ada sebuah “harapan” yang panjang. Ada sebuah “cita-cita” untuk putri satu-satunya diantara anak-anaknya. Pak Sukardi punya harapan besar, kelak Tata akan bisa mandiri, sesuai dengan perkembangan umurnya. Misal, Insya Allah, Tata akan menikah, Mba Tata akan punya keturunan. Dan, fase kehidupan seterusnya.

Dibalik kasih sayang seorang Bapak kepada anak tersimpanlah sebuah ladang pahala yang besar. Membimbing, menuntun, mengarahkan, mensabari diri sendiri, dan mengantarkan anak difabel itu tidaklah mudah. Dalam ketidakmudahan, ada sebuah surga yang menantinya.

Saya sendiri sebagai laki-laki dan Bapak dari anak-anak saya, belum tentu setelaten dan sesabar Pak Sukardi. Oleh karenanya, saya salut dengannya. Saya banyak belajar darinya. Karena Pak Sukardi pula, tulisan saya bisa diketik, dan terbaca oleh banyak orang. Karena, Pak Sukardi pula, cover buku saya bisa menarik untuk dilihat orang lain.

Selain itu, Pak Sukardi menekuni usaha desain online sebagai freelancer. Ia memiliki rencana ingin membuat buku bertema desain grafis, setelah ‘mimpi’ 100 logo menang kontes di logomyway.com. Saat ini, baru 40 logo yang ia menangkan.

Artinya, disela-sela kesibukannya mengasuh Tata, ia sempat bekerja. Biasanya kerjanya malam hari. Bahkan, tengah malam. Tengah malam dipilih olehnya untuk bekerja, karena pagi dan siang hari, ia fokus mengasuh Tata.

Nah, bagaimana dengan Anda? Apakah sudah bersyukur? Apakah sudah menyisihkan waktu untuk mendidik anak? Dan, sudahkah mengarahkan dan mendampingi dalam berperilaku anak yang baik? Yuk, saatnya untuk mendekat ke anak kita. Kapan lagi, kalau tidak sekarang?

Stasiun Tegal, 27 Februari 2020

Catatan: Tulisan ini sudah seizin Pak Sukardi.

Janda

Janda

Oleh Agung Kuswantoro

Menjadi janda, bukanlah suatu pilihan seorang wanita. Saya yakin itu. Ada janda karena kematian suami dan ada janda karena perceraian. Tugas seorang janda adalah mendoakan almarhum suami (bagi yang meninggal dunia) dan mendoakan kebaikan suami (bagi yang masih hidup). Dan, yang lebih penting adalah mendidik anaknya dan menjaga harta anaknya (baca:yatim) karena hartanya adalah amanah dari almarhum suaminya. Wajib hukumnya.

Yang paling susah, bisa jadi menjaga kehormatan sebagai wanita. Waallahu ‘alam.

Terimakasih, ibuku telah menjagaku selama 37 tahun. 37 tahun pula menjadi janda. Semoga amal baikmu diterima Allah. Amin.

Catatan: gambar hanya ilustrasi.

Hidup Adalah Pilihan

Hidup adalah Pilihan
Oleh Agung Kuswantoro

Akhir-akhir ini, saya sering melihat seorang Bapak menggendong anaknya. Saya melihat sendiri, dimana “keteteran” ngemong anaknya. Mungkin, biasanya yang ngemong Ibunya. Namun, untuk beberapa waktu diemong oleh Bapaknya.

Apa pasal, Bapak tersebut mengemong anaknya? Ibunya sedang mengikuti tes CPNS. Kebetulan, ruang kerja saya segedung dengan ruangan tes CPNS. Jadi, kejadian di atas dipastikan, ada. Bahkan, dalam sehari, saya melihat kejadian tersebut, lebih dari 3 kasus yang sama. Pastinya saya tidak menanyakan hal itu. Karena saya berprinsip, bahwa tiap orang memiliki pilihan hidup masing-masing.

Memilih jalur “abdi negara”, silakan. Memilih jalur “pengusaha”, juga silakan. Bebas memilih suatu pilihan. Pastinya, dengan konsekuensi masing-masing. Ada baik dan buruk. Ada positif dan negatif. Dan, ada dampaknya setiap pilihan.

Lalu, hormatilah pilihan orang tersebut. Karena, ia sudah memilih. Pasti, siap dengan resikonya. Jangan sampai, tidak siap dengan resiko atas pilihan sendiri. []

Semarang, 16 Februari 2020

Belajar Fiqih Munakahat

Belajar Fiqih Munakahat
Oleh Agung Kuswantoro

IMG_20200219_054227

Adalah Ulin, santri yang semangat mengaji fiqih. Ia selalu menyempatkan waktu ditengah kesibukannya bekerja sebagai guru di Sekolah Alam Ar-Rido, Banyumanik, Semarang. Ia memberi tahu saya ingin mengaji fiqih bab munakahat/pernikahan.

Dihari yang ditentukan, datanglah ia ke Madrasah Aqidatul Awwam. Kemudian, ke rumah saya. Kajian mengenai munakahat berlangsung hingga 45 menit/1 SKS

Cukup menurut saya, waktunya. Karena waktu saya dan dia terbatas. Ia bersungguh-sungguh belajar. Ia ingin ibadah “pernikahannya” khusyuk. Sehingga, membutuhkan ilmu-ilmu yang melekat.

Strategi pembelajarannya agar efektif ia membaca buku saya yang berjudul “Nasihat Menuju Akad Nikah” dan studi kasus di masyarakat mengenai pernikahan.

Ia mencermati dan mengamati pula proses akad nikah. Kemudian, merasakan apa yang saya tulis dalam buku “Nasihat Menuju Akad Nikah”. Ia bisa menilai dan merasakan sendiri, posisi seorang lelaki saat akad nikah.

Apa yang dilakukan oleh Ulin perlu dicontoh, bahwa ibadah itu butuh ilmu. Ilmu sebagai “pondasi” dalam menjalankan suatu ibadah.

Orang yang melakukan sholat belum tentu, menggunakan ilmu. Lihatlah gerakan sholatnya. Apakah memenuhi syarat wajibnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ilmu yang bisa menawab.

Sama halnya, ibadah nikah. Ada ilmunya. Tujuannya agar iman tetap melekat dalam kehidupannya.

Mencari ilmu tidak butuh modal mahal. Niat menjadi faktor utama. Ulin datang dari jauh, ke rumah saya hanya untuk ngaji fiqih. Tunggal, santrinya hanya dia saja. Saya pun senang belajar dengannya. Yuk bekali ibadah kita dengan ilmu agar menjadi khusyuk dalam beribadah. []

Semarang, 12 Februari 2020

Evaluasi Dakwah

Evaluasi Dakwah

Oleh Agung Kuswantoro

 

Layaknya dalam sebuah manajemen atas sesuatu yang telah dilakukan perlu dievaluasi. Bisa jadi tulisan ini adalah bagian dari evaluasi. Masuk tahun keenam dalam berjuang (baca: dakwah) di masyarakat, pada tahun ini (tahun 2020) perlu dievaluasi. Sebenarnya masih jauh dan layak, saya menggunakan istilah dakwah. Mungkin tepatnya, berjuang. Namun dalam tulisan ini, saya menggunakan kata ‘dakwah’ agar unsur Allah itu hadir.

 

Tahun 2013 saya mulai menempati rumah di Sekarwangi Gang Pete Selatan 1, Sekaran, Gunungpati, Semarang. Menurut saya, Masjid/Musolla di perumahan yang saya tinggali itu jauh, sehingga mau sholat lima waktu secara berjamaah itu susah.

 

Singkat cerita, dibangunlah Masjid Nurul Iman (dimana, awalnya akan dibangun Musolla). Saya ikut “andil”/terlibat dalam kepanitiaan dan pengurusan pembangunan Masjid hingga sekarang. Bahkan, Alhamdulillah dipercayai menjadi Imam sholat fardhu, Imam dan Khotib sholat Jumat, Imam dan Khotib Sholat Idul Adha, Imam dan Khotib sholat gerhana bulan, dan makmum.

 

Sebelum Masjid berdiri, untuk sholat tarawih, witir, dan tadarus dilakukan di halaman rumah Bapak Bahrul. Saya pun yang menjadi “penggerak” (baca:Imam) agar bisa terlaksana ibadah di bulan Ramadhan di daerah yang saya tempati.

 

Berlanjut, di rumah saya dibuat kajian sore untuk anak. Dimana, minimal anak saya sebagai santrinya. Lama-kelamaan, santri banyak, sehingga rumah saya tidak mampu menampung santri untuk pembelajaran.

 

Akhirnya, kajian anak berpindah ke Masjid. Selama pembelajaran di Masjid, ada misscommunication (baca:perbedaan pendapat) dengan beberapa pengurus Masjid terkait tempat kajian sore anak yang saya lakukan. Kemudian saya, mengontrak rumah khusus untuk kajian sore anak.

 

Dari situlah dibangun Madrasah Aqidatul Awwam, atas usul sosok masyarakat di Gang Pete Selatan dengan seizin RT dan RW. Semenjak Madrasah menempati gedung baru, Alhamdulillah sistem pembelajaran sudah “stabil” berjalan.

 

Pembangunan Masjid dan Madrasah, pelaksanaan sholat tarawih di halaman rumah Pak Bahrul, mengontrak rumah untuk khusus kajian anak, kajian-kajian agama Islam di Masjid dan kontrakan, kuliah tujuh menit usai sholat subuh dan magrib, dan kajian mahasiswa terkait materi fiqih adalah kegiatan-kegiatan selama enam tahun yang saya lakukan di sekitar tempat yang saya huni.

 

Evaluasi

Enam tahun berjuang membela agama Allah tidaklah mudah. Bukan banyaknya, orang yang pergi ke Masjid. Bukan banyaknya, orang yang ikut kajian. Bukan banyaknya, jamaah yang ikut mendengarkan kuliah tujuh.

 

Justru sebaliknya, perlawanan yang didapat. Bahkan, melakukan tindakan anarkis seperti mematikan meteran listrik saat kuliah tujuh menit.

 

Tidak hanya itu, tuduhan/fitnah pun muncul, seperti kajian anak bersifat bisnis. Padahal itu sosial. Tidak ada ‘model’ saya dibayar/digaji dalam mengelola Madrasah. Tuduhan yang ‘aneh-aneh’ pun sudah biasa yang saya dengar hingga sekarang. Namun, ‘aneh’-nya orang yang menuduh itu tidak pernah ke Masjid atau anaknya ikut dalam kajian sore anak.

 

Sekarang, fakta menunjukkan Masjid sudah ada, belum tentu masyarakat mau sholat lima waktu di Masjid. Kultum sudah ada, belum tentu jamaah mau duduk dan mendengar. Madrasah sudah ada, belum tentu santri aktif tiap hari hadir.

 

Keadaan ini tidak perlu saya risaukan, karena memang dakwah itu seperti itu. Namun, bagi saya ada waktunya dalam berdakwah. Tahun 2020 adalah separuh perjalanan saya berdakwah. Tak selamanya saya melakukan seperti ini terus. Tak selamanya, saya sehat. Tak selamanya, saya memiliki uang. Dan, tak selamanya pula, memiliki waktu luang untuk berjuang.

 

Puncak saya berjuang adalah pada tahun 2025, dakwah saya akan mulai berkurang. Berarti lima tahun lagi, saya akan mengurangi aktivitas berdakwah. Saya ingin fokus pada ibadah yang lainnya, seperti belajar ilmu ‘hakikat’ atau hati. Menjadi penting untuk saya untuk belajar ilmu itu. Sedangkan untuk sisi sosial, saya fokus pada pendirian pondok pesantren mahasiswa. Mahasiswa menjadi target saya, karena kondisi subjek/orang yang sudah terpilih.

 

Jika kondisi lima tahun lagi seperti ini, menurut saya faktor masyarakat yang menjadi kuncinya. Mereka menginginkan seperti itu yaitu tidak mau berubah. Artinya, masih belum mau untuk pergi ke Masjid untuk sholat wajib secara berjamaah. Atau, tidak adanya kajian-kajian agama Islam di Masjid dan Madrasah.

 

Sebelas tahun adalah waktu dalam berdakwah Nabi Muhammad SAW di Mekkah, sampai Nabi Muhammad SAW pindah/hijrah ke Madinah karena ajakannya ditolak oleh masyarakat Mekah. Sebelas tahun itulah, waktu yang saya gunakan dalam berdakwah di suatu tempat.

 

Sekarang yang kuatkan adalah ibadah sholat lima waktu di Masjid dan pembelajaran di Madrasah Aqidatul Awwam. Saya fokuskan dua tempat itu. Kajian-kajian, saya off-kan dulu. Bisa jadi, faktornya kurang dukungan jamaah/masyarakat atau pengurus itu sendiri.

 

Mungkin, saatnya saya diam dulu, terlebih mendekati bulan Ramadhan saya akan fokus pada ibadah untuk diri sendiri dan keluarga. Untuk Masjid menunggu “jawilan” dari masyarakat. Sedangkan, untuk Madrasah kajian sore buka puasa bersama tetap dilaksanakan, namun bertempat di Madrasah. Bukan di Masjid. Wallahu ‘alam.[]

 

Semarang, 13 Febrauri 2020

 

 

Rapat Koordinasi Ustad Aqiqah Awwam

Jumat/14 Februari 2020, para Ustad Ustadah rapat membahas mengenai Madrasah. Aapun hasilnya

1. Akan dibagikan buku evaluasi pembelajaran persantri. Sebagai bentuk laporan dari kami.

2. Pembelajaran berakhir hingga tanggal 15 Syaban/9 April 2020. Setelah itu libur.

3. Kegiatan Ramadhan dimulai tanggal 1 Ramadhan/23 April hingga 15 Ramadhan/7 Mei 2020 di Madrasah.

Demikian informasinya. Terimakasih.

#madrasahaqidatulawwamIMG-20200216-WA0040

Kumpul dengan Orang Sholeh

Kumpul dengan Orang Sholeh
Oleh Agung Kuswantoro

Berdasarkan buku yang saya baca berjudul “Nalar Kritis Pendidikan” karya Arfan Muammar (2019), ada bab dimana menekankan seseorang perlu bergaul dengan orang baik.

Misal, hewan yang bernama anjing. Anjing identik dengan najis mugholadoh/najis berat. Namun, ada anjing yang bernama Qitmir. Karena berkumpul dengan sahabat Kahfi/Ashabul kahfi, Qitmir/anjing tersebut menjadi ikut “kecipratan” baik.

Sesuatu yang melekat pada dirinya, berupa keburukan (baca: najis) menjadi hilang karena berkumpul dengan orang baik/sholeh. “Seanjing-anjingnya” hewan anjing, akan menjadi baik jika berkumpul dengan orang sholeh. Seburuk-buruk sifat manusia, akan memiliki sifat baik, jika berkumpul dengan orang baik. []

Semarang, 11 Februari 2020

Bisa Jadi, Nafsu Sudah Dicabut

Bisa Jadi, Nafsu Sudah Dicabut
Oleh Agung Kuswantoro

Ada beberapa orang mengatakan di Surga itu banyak bidadari. Setiap laki-laki akan mendapatkan pasangan lebih dari satu.

Orang memandang, hal ini sangat enak, khsususnya waktu di dunia. Namun, saat di surga, apakah pikiran ini masih ada?

Menurut saya, tidak ada. Di surga (bisa) jadi, adanya ibadah. Ibadah dan ibadah. Ibadah menjadi kunci utama dalam surga. Urusan yang di surga (mungkin) lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Masalah nafsu di surga (menurut saya) sudah tidak ada. Bisa jadi, “bidadari”nya nganggur di surga, karena penghuninya sedang beribadah kepada Allah.

Nafsu itu hanyalah ada di dunia. Di surga hanya pahala dan ibadah. Jadi, tempat mempengaruhi sebuah pikiran. Di surga itu ibadah. Nafsu tidak ada. Namun, di dunia pasti ada nafsu. Ada wanita cantik, lelaki pasti tertarik. Itulah nafsu saat di dunia. []

Semarang, 11 Februari 2020

Panutan

Panutan
Oleh Agung Kuswantoro

Sikap Anda menunjukkan kepribadian Anda. Ada orang suka marah, mungkin sejak kecil diajarkan mudah marah oleh orang terdekatnya. Oleh karenanya, pilih ‘tokoh’ panutan.

Siapakah ‘tokoh’ panutan yang tepat dan ‘dekat’? Orang tua!

Saya selalu memperhatikan dan menyimak beberapa orang yang sukses. Sukses yang menurut saya, dimana ada unsur akhirat masuk.

Contoh-contoh panutan saat ini, menurut saya seperti Quraisy Shihab. Dari situlah, saya melihat peran Bapaknya yang sangat dominan.

Setiap habis Maghrib, Bapaknya menyampaikan materi agama. Bapaknya mengimani sholat maghrib, anak-anaknya menjadi makmum. Lalu, pembelajaran ‘keluarga’ dimulai.

Perhatikan pula, cara memilih sekolah. Quraish Shihab sejak kecil dipondokkan oleh orang tuanya. Pondok pesantren menjadi pilihan pendidikannya.

Tiap hari Jumat, saya selalu menyimak kolom ‘panutan’ di Suara Merdeka halaman 4. Setiap edisi, ada kiai yang menjadi tokoh teladan, misal, edisi Jumat (24 Januari 2020), ada ulama panutan yaitu Kiai Miftah Talang. Ia adalah Komandan Laskar Santri.

Kemudian, edisi sebelumnya ada Kiai Mustofa Ya’kub, asal Batang Jawa Tengah. Dan, beberapa kiai panutan lainnya. Menariknya, mereka kuat belajar akhlak dan ilmu-ilmu agama pada usia anak-anak.

Saya menjadi berpikir, pendidikan untuk anak itu, apa yang tepat? Beberapa referensi saya baca. Ada yang mengatakan potensi anak harus dikembangkan sejak dini. Khususnya usia tujuh tahun. Umuran SD. Sehingga, potensi dan bakat anak, akan muncul. Dan pasti ia akan sukses pada masa dewasa.

Model yang seperti itu, saya jadi berpikir. Nah, di mana memasukkan ilmu-ilmu agama pada usia anak-anak tersebut? Jika mereka dididik dan diasah bakatnya sejak kecil, maka menjadi wajar saat dewasa itu sukses. Namun, bisa jadi saat dewasa ia rapuh dalam karakter/akhlak.

Ada pula yang melalui pendidikan Madrasah dan pesantren. Akhlak dulu diajarkan. Kelak mau jadi apa, belum diasah bakat dan minatnya. Ia pasrah pada Allah. Karena rizki sudah diatur dan ditentukan. Yang penting, baik kepada Allah, Insya Allah, rizki akan dekat.

Makhfud MD. Ia tokoh hukum. Ia juga kiai. Kepakaran hukumnya, muncul setelah lulus dari Madrasah. Namun, ia kuat belajar tauhid, akhlak dan beberapa ilmu agama. Kuat keimanannya. Setelah kuat ilmu agamanya, ia baru menemukan jalan hidupnya ‘dijalur’ hukum.

Insya Allah, ia akan kuat keimanannya, karena bekal iman didapat sejak kecil. Saat menjadi pakar hukum, ia ‘membalut’ ilmu hukum dengan keimanan. Sehingga, ia termasuk orang yang menjaga akhlaknya. Ia termasuk orang yang menjaga keimanannya.

Ia memilih belajar akhlak dulu, baru menguatkan potensinya. Bekalnya ilmu-ilmu agama diajarkan saat anak-anak. Setelah itu ia menemukan jalan hidup/karirnya. Setelah dewasa kuat dalam agama dan sukses dalam karir. Waallahu ‘alam.[]

Semarang, 6 Februari 2020

Ha Qo

Ha Qo
Oleh Agung Kuswantoro

Belajar itu sepanjang hayat. Bahkan, mencari ilmu itu hingga ke liang lahat. Setelah rapat pimpinan universitas di FT UNNES (Rabu, 3 Februari 2020), saya melakukan sholat dhuhur di Masjid sekitar FT UNNES. Tepatnya jam 12.13 WIB.

Sewaktu menuju ke tempat shof/barisan laki-laki, saya melihat seseorang sedang belajar ngaji. Saya tahu betul, bahwa ia sedang belajar di serambi Masjid. Saya yakin orang tersebut adalah sahabat saya. Karena yang bersangkutan pernah WA-nan dengan saya, mengenai persuratan dan kearsipan di UNNES. Namun dalam tulisan ini, bukan itu konteksnya.

Ternyata, ia sedang belajar ngaji al-Qur’an. Saya menduga, menggunakan jilid awal. Yang saya dengar materinya adalah huruf huruf HA. Sempat terdengar HA QO. Guru yang mengajarnya sangat muda.

Apa yang dilakukan sahabat saya tersebut, menjadikan saya untuk bersyukur. Alhamdulillah, saya bisa membaca al-Qur’an. Orang tua (baca: Ibu) selalu menyemangati dan membersamai saya untuk mengantarkan ke guru ngaji.

Semangat sahabat saya itu harus diacungi jempol. Al-Qur’an adalah kitab universal. Tidak memandang usia. Saya yakin sekali, di luar Masjid FT UNNES tersebut, belum tentu orang mau belajar ngaji, walaupun usianya sudah dewasa dan tua.

Usia tidak menjamin seseorang bisa membaca al-Qur’an. Justru, semangat dan kemauan belajarlah yang menjadikan seseorang cepat membaca al-Qur’an.

Saya sangat setuju, bahwa belajar al-Qur’an itu harus dengan guru. Pelafalan dan makhorijul huruf menjadi kunci dalam belajar al-Qur’an. Bayangkan, jika belajar al-Qur’an itu, belajar sendiri dari buku. Saya berpendapat, susah dan ‘berbahaya’ karena merusak kaidah-kaidah ilmu yang ada dalam al-Qura’an.

Berbeda membaca buku dengan membaca al-Qur’an. Ada norma-norma dalam membaca al-Qur’an. Kapan mulut harus membuka, monyong, dan pecah/bilang ‘i’.

Apa yang dilakukan oleh sahabat saya, menurut saya itu tepat. Insya Allah, Allah akan menurunkan kepada sahabat saya itu. Tidak ada rasa malu. Malu itu hanya kepada Allah. Walaupun, ia sibuk bekerja, namun masih menyempatkan belajar ngaji saat jam istirahat di Masjid kampus.

Apa yang dilakukan sahabat saya, mengingatkan saya mengenai apa yang saya lakukan setiap hari Senin hingga Kamis. Saya, istri, dan ustad memiliki semangat untuk belajar bersama ngaji al-Quran. Mengajak belajar al-Qur’an sejak dini/anak-anak. Mumpung masih kecil. Belajar akan susah, saat sudah dewasa. Kalau dewasa untuk belajar dibutuhkan tenaga ekstra. Belum lagi, beban hidupnya. Hehe.

Nah, mumpung masih muda. Yuk, belajar ngaji al-Qur’an. Jangan sampai menyesal kemudian hari. Jika bisa membaca al-Qur’an, akan terasa tenang hati dan bisa mengirimkan doa kepada orang tua/orang yang sudah meninggal dunia. Jangan sampai diantara kita meninggal dunia dalam kondisi belum bisa membaca al-Qur’an, maka akan menyesal. Mendekatlah kepada orang yang bisa membaca al-Qur’an. Mintalah diajari. Insya Allah, al-Qur’an akan memberikan keberkahan dalam hidup Anda. Cobalah!

Semarang, 6 Februari 2020