Hutang Nulis

 

Hutang Nulis
Oleh Agung Kuswantoro

Entah apa yang terberat dalam pikiran saya, saat membaca tema setoran wajib bulan Maret 2020 di SPK. Adalah hutang, temanya. Pikiran saya langsung tertuju pada hutang berupa uang dan barang.

Ada satu bagian yang jarang terpikirkan oleh seseorang yaitu hutang nulis. ‘Tancap’ dan ‘tanamkan’ dalam diri seseorang untuk membiasakan hutang nulis. Artinya, budaya literasi harus ada dalam diri orang tersebut.

Minimal dengan membaca atau ‘menangkap’ sebuah fenomena. Lalu ditulis. Langsung saja ditulis, saat itu juga. Jika sekarang sibuk untuk menuliskan, maka buatlah jadwal untuk kapan menuliskannya. Menulis yang tertunda – menurut saya – artinya hutang.

Hutang harus dibayar. Jangan sampai hutang, tanpa ada yang dilunasi. Kemampuan seseorang untuk memberikan tulisan atas ide yang ‘ditangkap’ itu, hukumnya wajib. Karena, wajib itulah, harus dilaksanakan.

Sehingga, diri dalam sesorang tersebut, sangat disiplin dan menghargai sebuah proses. Ia pasti rajin dan semangat belajar. Ia akan selalu membaca literatur atas suatu yang akan dikajinya. Menjadi tidak “pas” jika yang dikaji atau menyelesaikan masalah, tanpa suatu teori. Itulah yang saya maksudkan hutang menulis.

Ada beberapa trik agar tidak hutang menulis, yaitu menulislah tiap hari, minimal satu paragraf. Satu paragraf saja. Menulis dari apa yang ada dalam benak pikiran Anda. Biarlah otak yang berjalan. Belum hati yang berjalan. Mengapa otak yang berjalan? Karena, saya adalah penulis pemula, sehingga yang terpikir dalam otak saja, yang harus segera ditulis.

Lalu, luangkan waktu untuk menulis. Utamakan, malam hari karena pada malam hari otak dan hati sedang beristirahat. Saat itu pula ada kesempatan untuk menulis akan “segar”. Sederhana saja menulisnya, karena waktu yang tepat, biasanya menulisnya, juga cepat. Artinya, idenya mengalir bebas.

Demikianlah saya memaknai hutang yang tidak hanya berwujud materi. Tetapi, hutang dalam wujud karya. Dasarnya adalah literasi yang kuat, yaitu membaca literatur. Lalu, ditulis. Jika saya menunda menulis, maka saya hutang menulis. Nah, apa arti hutang dalam hidup Anda? []

Semarang, 30 Maret 2020
Ditulis di Rumah dalam kondisi Lockdown penutupan jalan, jam 19.00 – 19.45 WIB.

Guru Motivatorku “Pulang”

Guru Motivatorku “Pulang”
Oleh Agung Kuswantoro

FB_IMG_1583375471479-324x235

Kabar duka langsung dari Prof. Imam Suprayogo mengenai kepergian Dr. H. M. Taufiqi, SP. M.Pd. Atau lebih dikenal Kiai Vicki. Ia adalah pengasuh pondok pesantren An-Nur, Kepala SMK An-Nur, Direktur Pascasarjana Unira, Malang.

Tahun yang lalu beliau hadir di UNNES dalam acara kopdar SPK. Saya sendiri sebagai orang yang selalu menyemangati saya. Saya masih ingat betul, ia orang pertama kali memberikan tepuk tangan kepada saya saat saya memberikan laporan kegiatan kopdar di Unnes. Tepuk tangan beliau, mengantarkan teput tangan kepada peserta lainnya.

Bagi saya, Kiai Vicki adalah motivator sejati. Saya belajar betul bagaimana mengelola peserta yang berjumlah seratusan. Mereka/peserta tidak ada yang ngantuk dan tidur. Padahal, keadaan siang dan usai makan siang.

Suasana sangat mencair, tapi semangat. Ucapan yang menggelegar, seperti “Aa” hingga panggung menjadi gemetar olehnya menjadikan peserta fokus. Lalu, permainan tepuk tangan. Menjadikan, peserta harus tambah serius, karena dibutuhkan perhatian lebih agar seirama dalam bertepuk tangan.

Tulisan-tulisan mengenai motivasi selalu, ia tampilkan. Ciri khasnya, ada quote diawal tulisannnya. Quote bisa dari Al-Qur’an, Injil, dan para tokoh dunia. Saya suka tulisannya karena selalu menampilkan kisah dan keteladanan. Termasuk, video-video yang ditampilkan saat di grup WA SPK.

Ada kabar, bahwa beliau dirawat di Rumah Sakit Semarang, saya mencoba mengontaknya. Namun, belum/tidak ada respon. Saya memahami hal itu. Kemungkinan masih repot. Saya, memberitahu bahwa, saya ada di Semarang. Barangkali ada sesuatu yang ingin disampaikan, Insyaallah saya siap. Waktu itu.

Sayang, waktu kopdar di Semarang saya tidak bisa menemani hingga selesai. Karena, hari kedua, ada tugas lembaga/UNNES ke Yogyakarta untuk rapat kerja pimpinan/Rapim. Dimana, saya harus datang. Termasuk, acara malam pertama saya juga sebentar bertemu dengannya, karena harus menata-nata kegiatan pada pagi hari yaitu kopdar SPK.

Bagi saya, Kiai Vicki adalah guru motivator yang ulung. Tak ada sedikitpun dalam pikiran saya mengenai keburukan kepadanya. Justru, saya ingin belajar padanya bagaimana menajdi seorang motivator, kepala sekolah, pengelola pondok pesantren, direktur Pascasarjana, dan guru berprestasi.

Selamat jalan, Kiai Vicki. Insyaallah Kiai Vicki tenang bersamanya. Mohon maaf lahir batin atas kesalahan saya, sewaktu di Kopdar di Semarang. Tetap, doakan saya di akhirat agar saya bisa meniru perjuangan Bapak menjadi orang yang bermanfaat di masyarakat.

Pemalang, 7 Maret 2020
Ditulis di Rumah Ibu saya jam 05.00-05.30 WIB.

Keterangan gambar: Kiai Vicki ada disebelah paling kanan.

Pembelajaran Sholat

Pembelajaran Sholat
Oleh Agung Kuswantoro

“Sesungguhnya, telah beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusuk dalam sholat mereka” (QS. Al-mukminun ayat 1-2)

Ahad (22 Maret 2020) – bertepatan dengan tanggal 27 Rojab 1441 Hijriah, umat Islam akan memperingati peristiwa Isro Mi’roj. Peristiwa Isro’ Mi’roj identik dengan sholat.

Mari kita pelajari bersama mengenai sholat dari sisi “pembelajaran”. Ada hadist yang berbunyi:

Artinya: “Suruhlah anak kalian sholat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun, ia meninggalkan sholat, maka pukullah dia. Dan, pisahkanlah tempat tidurnya (antara laki-laki dan wanita).

Melihat hadist tersebut, sejak usia tujuh tahun, seorang muslim sudah dikenalkan sholat. Berarti kelas 1 SD, mulai dikenalkan sholat. Cara mengenalkan sholat kepada anak, dimulai dari gerakan. Lihatlah anak kecil (dibawah usia 7 tahun), pengenalan dimulai dari gerakan sholat. Diperkenalkan gerakan takbir, berdiri, rukuk, sujud, hingga salam. Dengan sering melihat dan mempraktekkan Gerakan sholat, maka akan menirukan. Anak usia dibawah 7 tahun yang dibutuhkan adalah pembiasaan gerakan sholat. Belum pada taraf gerakan sholat yang benar. Terlebih, bacaan sholat. Cukup gerakan dulu.

Kemudian, menginjak usia 7 tahun, mulai dikenalkan bacaan sholat, mulai dari lafal takbir hingga salam. Sehingga, secara kurikulum dalam Madrasah ada materi fiqih. Anak mulai dikenalkan mengenai sholat melalui kitab.
Ada kitab yang legendaris membahas sholat yaitu Fasholatan. Kitab yang tipis dengan huruf pegon, khusus membahas sholat mulai dari wudhu, bacaan dan gerakan sholat, dzikir usai sholat, dan macam-macam sholat.

Proses pembelajaran mengenalkan sholat pada usia 7 tahun ke atas, dimulai dengan menulis, membaca, dan mempraktekkan lafal dan gerakan sholat.

Misal, niat sholat Maghrib. Ditulis dengan huruf arab yaitu “Usholli fardhol magribi tsalatsa roka’atin mustaqbilal qiblati adaa-an makmuman lillahi ta’ala”. Yang artinya dalam tulisan pegon dan berbahasa Jawa ‘halus’ dari yang ditampilkan dalam kitab dominan berwarna hijau dan kuning itu.

Dengan cara menuliskan dan membaca suatu lafal, maka akan mengetahui perbedaan suatu huruf. Beda pelafalan shod dan sin. Usholli, sholli, sho-nya menggunakan huruf shod. Bukan, sin. Itulah tujuan penulisan, agar mengetahui hak suatu huruf dan maknanya.

Kemudian, pada saat usia 10 tahun, sudah mulai tahap analisis. Sehingga, referensi yang digunakan sudah meningkat seperti kitab Safinatunnajah.

Dalam bab niat, tidak cukup membedakan hak suatu huruf, tetapi sudah pada taraf pemahaman dan menganalisis sederhana. Dalam kitab Safinatunnajah disebutkan niat adalah menghendaki sesuatu yang dibarengi/dibersamai dengan perbuatan/qosdu syai mustaronan bifi’lihi. Artinya, diantara keinginan dan perbuatan secara bersama-sama. Adapun tempatnya niat ada dalam hati. Sedangkan mengucapkan niat dengan lisan itu hukumnya sunah. Dalam kitab tersebut dituliskan “wamakhalluhal qolbu watalaffudhu biha sunnatun”.

Lafal “Allahu Akbar” dalam takbir dilakukan pada takbir perdana/pertama saat sholat. Pelafalan “Allahu Akbar” dengan menggunakan lisan, hukumnya sunah. Wajibnya, niat saja. Karena niat itu letaknya dalam hati, maka tanpa tangan menaikkan ke atas pun, tidak masalah. Yang terpenting, justru kehadiran hati akan niat melakukan sholat itu ada.

Krendek-nya, ada. Artinya, hati ‘terpanggil’ untuk melaksanakan sholat. Justru, yang tidak tepat adalah sholat tanpa “kehadiran” hati, dalam suatu niat. Bisa jadi, ia hanya meniru atau melakukan gerakan tangan ke atas saja.

Itu cara belajar sholat versi kitab Safinatunnajah, dimana sudah ada unsur pemahaman dan analisis sederhana. Setelah pembelajaran dengan referensi yang kental pemahaman, kemudian ditingkatkan pada level analisis kritis dan studi kasus dengan referensi seperti kitab Fathul Qorib/Taqrib dan Fathul Mu’in, dimana ada kajian studi kasus dalam setiap permasalahan.

Misal, materi melafalkan niat. Dalam melafalkan niat, tanpa menyebutkan jumlah rokaat. Dalam melafalkan niat, tanpa menyebutkan menghadap kiblat. Dalam melafalkan niat, tanpa menyebutkan posisi sebagai makmum. Dan, dalam melafalkan niat, tanpa menyebutkan sebab niat karena apa.

Orang yang sholat cukup mengatakan “aku sholat magrib”. Maka dalam versi kitab tersebut, sah. Karena, intinya adalah “aku niat sholat Magrib”. Dengan sendirinya, yang namanya sholat Magrib pasti 3 rokaat. Saat, ia berdiri di belakang Imam, maka posisinya pasti Makmum. Lalu, sholat Magrib pasti menghadap kiblat. Dan, niat sholat Magrib, secara kepastian niatnya ditujukan karena Allah SWT.

Penjelasan-penjelasan diatas, adalah pelengkap niat sholat Magrib. Hukumnya, sunah. Wajibnya, hanya melakukan perbuatan dan keinginan secara bersama. Jadi, orang yang belajar dalam tahap ini sudah memahami dan membedakan, mana sunah dan mana wajib dalam suatu niat. Termasuk yang membatalkan niat suatu sholat.

Harapan dari tahap pembelajaran suatu ilmu sholat adalah sholat khusuk, sebagaimana dalam surat al-Mukminun ayat 1 dan 2, yang intinya “betapa beruntungnya, orang yang mampu sholat dengan khusuk bagi orang beriman”. Orang yang khusuk sholat, penekanannya tidak hanya pada gerakan dan lafal saja. Dibutuhkan totalitas agar bisa khusuk, sehingga hanya orang tertentu yang bisa melakukan sholat dengan khusuk.

Artinya, perlu pembelajaran dalam sholat khusuk sebagaimana tahapan-tahapan di atas. Tidak mungkin sholat khusuk terbentuk dengan seketika atau saat itu. Sholat khusuk bisa terwujud dengan dasar ilmu.

Buktinya, al-Quran sendiri menyebutkan minimal yang dapat melaksanakan sholat khusuk adalah orang beriman. Ingat beriman berbeda dengan berislam. Berislam itu hanya syarat sah untuk melaksanakan sholat. Bayangkan, jika syarat sah sholat adalah beriman. Bisa jadi, saya dan Anda tidak termasuk syarat sah sholat.

Sangking tidak mudahnya sholat dengan khusuk para ulama fiqih tidak memasukkan syarat wajib dalam sholat. Khusuk berkaitan dengan hati seseorang. Sedangkan, sifat dari hati adalah kemantapan. Pastinya, kemantapan, ini didasari dengan ilmu-ilmu sholat.

Ada sebuah ilustrasi mengenai khusuk. Misal, dalam sebuah pameran lukisan di suatu tempat. Ada banyak orang yang datang, namun tidak mengerti maksud dari lukisan tersebut. Ia hanya asal datang saja. Ada yang memahami lukisan, namun hanya lukisan tertentu. Ada orang yang ingin sekali memahami suatu lukisan, meskipun pengetahuan dan keingintahuannya terbatas. Atau, sebaliknya, ada orang yang sangat tertarik, termenung, dan terpaku pada satu tempat memperhatikan sebuah lukisan. Dan, ia ingin mengetahui dan memahami makna dari lukisan tersebut.

Demikianlah, kurang lebih gambaran suatu sholat khusuk. Bisa jadi, antara ke-khusuk-an sholat saya dan sholat Anda sangat berbeda. Dan, yang terpenting semoga sholat yang dilakukan saya dan Anda itu tidak hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Artinya, sholat belum menjadi suatu kebutuhan hidup.

Sehingga, dalam sebuah kitab menyebutkan ada sholat Hajat, bagi yang memiliki sebuah keinginan. Ada sholat Istikhoroh, bagi orang yang menginginkan dan memantapkan suatu pilihan. Ada sholat Istisqo, bagi orang yang menginginkan hujan. Ada sholat Dhuha, bagi menginginkan kelancaran rizki. Macam-macam sholat menunjukkan bahwa sholat adalah sebuah kebutuhan bagi seorang muslim. Apapun kebutuhannya, sholat adalah solusinya.

Nabi Muhammad SAW pun demikian, dalam sholat tidak langsung mendapatkan perintah pelaksanaan sholat. Namun, ada pembelajarannya, dimana malaikat Jibril sebagai gurunya. Malaikat Jibril mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW mengenai tata cara sholat/kayfiyah sholat. Sehingga, meskipun Nabi Muhammad SAW sudah tiba waktu Subuh, usai melaksanakan Isro Mi’roj. Namun tidak diwajibkan sholat untuk melaksanaan sholat Subuh. Sholat Dhuhur-lah yang pertama diwajibkan dalam perintah melaksanakan sholat 5 waktu. Karena Nabi Muhammad SAW telah mengetahui tata cara sholat, dimana waktu malaikat Jibril sebagai gurunya.

Demikianlah tulisan singkat ini, ada beberapa simpulan yaitu:

1. Sholat diajarkan kepada Muslim sesuai dengan tingkatan umurnya.

2. Dibutuhkan referensi yang tepat dalam memahami sholat, dimana ada gerakan, lafal, makna, dan pengamalan/praktek atas apa yang terkandung dalam sholat.

3. Bagi seorang beriman, sholat khusuk-lah yang menjadi targetnya. Karena Allah yang mengatakan, bahwa hanya orang beruntunglah yang dapat melakukan sholat secara khusuk.

4. Sholat adalah sebuah kebutuhan muslim. Tidak cukup, bahwa sholat adalah sebuah kewajiban. Jika sholat hanya sebuah kewajiban, maka yang muncul adalah yang terpenting menggugurkan atas pekerjaan tersebut. Asal sholat.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Amin.

Semarang, 29 Februari 2020 ditulis di rumah pukul 20.30 – 22.15 WIB. Tulisan diatas akan akan disampaikan di Masjid pada hari Jumat jam 12.00 WIB.

Rasanya Baru Kemarin

Rasanya Baru Kemarin
Oleh Agung Kuswantoro

Karya, KH. Masruri Abdul Muhit berupa buku yang berjudul“Rasanya Baru Kemarin: Refleksi Seperempat Abad Darul Istiqomah Bondowoso”. Buku ini mengisahkan perjuangan Kiai Masruri—sapaan KH. Masruri Abdul Muhit—di mana membangun pondok pesantren, yang bernama Darul Istiqomah. Pondoknya bagus, bersih, dan terstruktur kurikulumnya. Sepintas seperti model Gontor dalam pengelolaan dan pembelajaran pondoknya.

Yang saya kagumi dari Kiai Masruri Abdul Muhit yaitu menulis. Kiai yang suka menulis. Ia terampil menulis. Sehingga, perjuangannya “terekam” dalam sebuah buku. Biasanya orang lebih suka berbicara dibanding menulis. Banyak bicaranya, dibandingkan menyusun sebuah kalimat dalam sebuah kertas.

Warisan berupa buku bisa dinikmati oleh banyak orang, seperti buku yang saya baca ini yaitu buku karya Kiai Masruri. Sehingga, saya bisa merasakan betapa perjuangannya membuat sebuah pondok pesantren. Termasuk, tantangan di masyarakat.

Apa yang dilakukan oleh Kiai Masruri menjadikan saya untuk menata ulang dakwah yang sedang saya buat, melalui Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam dan kajian di Masjid. Termasuk, perjuangan memperjuangkan sholat lima waktu di Masjid.

Kiai Masruri saja sudah 25 tahun. Sekarang saya memasuki tahun ke-6. Nah, disitulah saya harus meneladaninya. Semoga saya bisa seperti beliau dalam berjuang menegakkan agama Allah di tengah masyarakat. Amin. []

Semarang, 2 Maret 2020

Rencana Kegiatan Ramadhan

Rencana Kegiatan Ramadhan
Oleh Agung Kuswantoro

Melihat kondisi masyarakat dan keadaan saya serta keluarga, untuk rencana kegiatan Ramadhan, kelihatannya saya akan fokus pada keluarga dan kegiatan Madrasah selama beberapa hari.

Dulu, biasanya full kegiatan, dimana ada Madrasah dan Masjid. Untuk Masjid, kelihatannya tetap dilaksanakan, yaitu sebagai imam tarawih, sholat subuh, dan beberapa sholat wajib lainnya.

Namun, untuk Madrasah, kelihatannya jadwalnya tidak sepadat tahun lalu. Tetap ada kegiatan, namun tidak sebanyak tahun lalu. Mungkin satu minggu saja dan bertempat di Madrasah. Bukan di Masjid. Waktunya juga tidak hingga berbuka puasa, karena terlalu beresiko, jika diadakan buka bersama dan sholat magrib berjamaah di Masjid.

“Berkaca” pada tahun lalu, dibutuhkan ‘perjuangan’ yang ekstra untuk mendampingi anak-anak/santri yang kecil. Ustad harus ekstra. Untuk tahun ini, ustad yang laki-laki itu, hanya saya. Sangat mungkin pula saya yang akan menjadi imam sholat magrib. Lalu, siapa yang menemani santri untuk mendampinginya?

Belum lagi, pemahaman konsep Masjid untuk menerima anak-anak sholat berjamaah, dimana belum sepenuhnya diterima oleh jamaah Masjid. Sehingga, butuh jalan tengah yaitu kehadiran orang tua dari anak tersebut, (semisal) anak sholat di Masjid.

Kondisi seperti inilah yang saya pertimbangkan. Bisa jadi, kegiatan Ramadhan tetap dilaksanakan untuk Madrasah, namun pukul 16.00 hingga 17.00 WIB, tanpa ada buka puasa bersama dan sholat berjamaah di Masjid. Kegiatan Madrasah tetap berlangsung selama satu pekan/tujuh hari.

Kemudian, kultum yang biasanya saya lakukan setelah sholat subuh, saya off/tidak aktif dulu. Mengingat, tidak semua jamaah membutuhkan kultum. Bisa jadi, kultum saya yang sampaikan itu tidak menarik. Sehingga, saya tetap fokus mengimami sholat subuh. Tanpa kultum.

Atau, semisal ada dari jamaah yang menginginkan saya kultum, maka saya akan kultum. Kalaupun ada kultum, saya menginginkan hanya orang yang bersemangat belajar/mengaji saja. Tidak di mimbar khotib/imam dalam menyampaikan kultum. Namun, dalam suatu tempat tertentu. Bentuknya majlis/kumpulan. Orangnya terbatas. Tidak banyak, orangnya. Tertentu bagi orang yang ingin belajar ilmu agama saja.

Dengan demikian, saya ingin menyampaikan kepada pembaca untuk menyusun rencana kegiatan bulan Ramadhan. Rencana kegiatan bulan Ramadhan tahun ini sederhana yaitu tetap menjadi imam sholat rowatib, tarawih, dan witir. Kultum setelah sholat subuh, sementara tidak aktif dulu. Dan, kegiatan Madrasah berupa kajian tetap dilaksanakan tetapi mulai pukul 16.00 hingga 17.00 WIB di Madrasah, selama 7 hari.

Demikian rencana kegiatan bulan Ramadhan tahun ini. Lantas, apa rencana kegiatan Ramadhan Anda pada tahun ini? Waallahu’alam. []

Semarang, 1 Maret 2020
Ditulis di rumah jam 13.00 – 13.30 WIB