Panas Terasa Adem

Panas Terasa Adem

Oleh Agung Kuswantoro

Pembelajaran Madrasah tingkat wustho dan ulya di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang dimulai jam 14.00 WIB hingga 17.00 WIB. Semua orang tahulah, bahwa siang – terlebih jam dua siang – pasti panas suasananya.

“Bagaimana, jika Anda jalan atau naik sepeda ontel selama dua atau tiga kilometer pada jam tersebut selama enam hari dalam enam tahun?” Jawabnya: “panas dan capek. Atau, melelahkan”.

Ada “pemandangan” yang berbeda saat saya pulang kampung ke Pemalang. Saya melihat santri-santri Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang dari arah pantai Widuri, dimana pada jam tersebut sedang mengayuh sepeda ontel di jalan menuju Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang, tepat jam dua siang. Cuaca yang panas itu, berlaku bagi semua yang ada di jalan tersebut.

Menurut saya, santri-santri tersebut tidak merasa “sumuk”, panas, dan capek. Mereka justru, bersemangat mengayuh sepedanya. Mengapa mereka bersemangat? Karena, dalam diri mereka sudah menyadari bahwa ilmu itu wajib dicari. Ilmu “agama” dengan tingkatan wustho dan ulya di Pemalang itu hanya di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang.

Jika adanya di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang, maka yang dituju hanya Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang saja. Tidak ada tempat yang lainnya. Mengingat tempatnya, hanya di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang saja, maka menjadi wajib dituju di tempat tersebut.

Sahabat saya, namanya Tasihin, rumahnya Bungin Danasari, jarak dari Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang ke tempat tinggalnya kurang lebih 8 kilometer. Ia selama 6 tahun mengayuh sepedanya pulang pergi pada jam dua siang. Jika ditanya: “Apakah panas saat naik sepeda pada jam dua siang menuju Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang?” Pasti dia jawabnya: “panas”. Tapi, dalam suasana panas, ada dingin dan ketenangan batin yang dirasakan.

Santri-santri tersebut menurut saya itu, pilihan Allah untuk meninggikan derajat bagi seorang hamba-Nya. Bisa jadi, banyak orang yang dekat di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang atau orang yang dilewati saat santri itu menuju Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang, namun tidak “terpanggil” untuk belajar di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang tingkat wustho dan ulya. Jadi, tidak sembarang orang bisa menikmati suasana pembelajaran di Pondok Pesantren yang terletak di jatung kota berjulukan Ikhlas tersebut.

Saya sebagai alumni Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang, jika boleh berpesan kepada santri yang sedang menuntut ilmu, hanya bisa berkat: ”sabar dan tetap semangat, Insya Allah nanti Allah akan mempermudah urusan para santri”. “Lihatlah masa depan Anda 10 tahun lagi, Insya Allah sukses.” Masa Allah membiarkan hamba-Nya yang sudah membela di jalan dan melakukan kewajibannya dalam mencari ilmu. Wallahu ‘alam.

Semarang, 30 Juni 2021

Ditulis di Rumah, jam 05.30-05.40 WIB.

Tulisan ini sudah seizing oleh Tasihin. Gambar yang tertera belum seizing dari yang ada di gambar, karena posisi saya dalam perjalanan dan yang bersangkutan, juga sedang di jalan.

Doa Pengukuhan Guru Besar Prof. Martono dan Prof. Heri Yanto

Bismillahirahmanirrahim
Mari baca istighfar 3 x
Astaghfirullaha adzim 3x
Baca sholawat 3x
Allahumma solli’ala Muhammad 3x

Alhamdulillahirobil ‘alamin, Hamdan syakirin, hamdan na’imin, hamdan yu’afi niamahu wayukafi mazidah. Ya Rabbana lakal hamdu kama yambaghi liljalali wajhikal karimi wa’adzimi sulthonik.

Ya Allah, Ya ‘Alim. Kami berdiri dan hadir di sini, semata-mata karena ingin menjadikan hamba yang berilmu. Sebagaimana nama-Mu (Al ‘alim). Jauhkanlah kami dari sifat bodoh di dunia ini.

Ya Allah, Ya Asy-Syakur. Kami hadir dalam majlis ini untuk menjadi hamba yang selalu bersyukur atas nikmat-Mu. Alhamdulillah hari ini, dua guru kami dosen kami dikukuhkan menjadi guru besar, yaitu Prof. Dr. S. Martono, M.Si dan Prof. Heri Yanto, Ph. D, M.BA.

Ya Allah, Ya An-Nafi. Ajarilah kami, agar menjadi hamba yang selalu bermanfaat kepada sesama. Semoga ilmu yang kami peroleh bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa kami ini.

Ya Allah, Ya Al-Khafid. Ya Allah rendahkanlah dan tawadukan hati kami dalam beribadah di kampus ini. Jadikanlah acara hari ini, agar hati kami lebih merendahkan diri di hadapan-Mu. Gelar Profesor yang melekat pada diri kedua guru kami, semoga dan Insya Allah menjadikan lebih bertawadu di hadapan-Mu.

Ya Allah, Ya Rozak. Berikanlah kami semua warga kampus civitas akademik UNNES dengan nikmat sehat rizki berkah, dan ilmu yang bermanfaat di situasi pandemik Covid-19 ini.

Ya Allah dengan sifat-sifat-Mu yang luhur, semoga kami bisa berakhlak sesuai dengan kemampuan kami. Terimalah doa kami: Robbana atina fiddun ya hasanah wafil akhiroti khasanah wa qina ‘adza bannar. Amir. Amin. Amin. Ya Robbal ‘alamin.

Selamat Menuju Perjalanan Tarikh Berikutnya, Ustadz Karim

Selamat Menuju Perjalanan Tarikh Berikutnya, Ustadz Karim

Oleh Agung Kuswantoro

Terima kasih Ustadz Karim telah mengajariku ilmu tarikh dengan kitab Khulasoh Nurul Yaqin dari Juz awal/satu hingga juz akhir/tiga. Saya jadi paham mengaji tarikh dengan cara mengabsahi dan memahami setiap makna dalam kitab tersebut. Ngaji sejarah, namun dengan membaca dan memaknaiknya kitab. Itulah kesan yang saya dapatkan dari model pembelajaran Ustadz Karim.

Biasanya orang belajar tarikh/sejarah lebih banyak bercerita atau “oral” melalui mulutnya. Kemudian, orang mendengarkan atas penjelasan dari orang yang menyampaikan. Namun, Ustadz Karim dalam model pembelajarannya, tidak seperti itu. Ustadz Karim model pembelajarannya dengan model membaca, mengabsahi, dan menerangkan dari isi kitab Kholash Tarikh.

Lalu, dalam penjelasannya sangat “ceto” dengan khas bahasa “logat” Pemalang. Tatapan mata dan gerakan tubuh ke santri saat menjelaskan dari isi kitab tersebut. Suaranya yang tegas dalam memaknai dan menerangkan dari pesan kitab tersebut, menjadi ciri khas Ustadz Karim.

Selamat jalan Ustadz menuju bab tarikh kehidupan berikutnya. Insya Allah, Ustadz di sana (Akhirat) akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan yang hakiki lebih dibanding di dunia ini. Semangat mengajar dan mengayuh sepeda ke Salafiah dari rumah Ustadz ke Ponpes Salafiah Pemalang (Pulang-Pergi) menjadi semangat hidup saya dalam menggapai hidup yang penuh ketenangan. Dengan beramal soleh melalui menyampaikan ajaran agama berupa (menyampaikan) ilmu tarikh menjadikan pembelajaran kepada saya, bahwa hidup harus memberikan “nilai” kepada sesama. Berbagi kepada sesama dari apa yang kita miliki. Berbagi kepada sesama tidak harus materi, namun psikis pun bisa.  

Ustadz Karim adalah sosok yang sederhana dalam kehidupannya. Kala itu (tahun 1996-1998) saya diajar ilmu tarikh di Salafiah, Almarhum dengan sepedanya, mengayuh sendiri. “Ngontel”, istilahnya. Semoga setiap “genjotan” kaki pedalnya menjadikan pahala yang tak ternilai bagi Allah. Dan, suara yang tegas menjadikan amal yang tak terputus dari penjelasan yang Almarhum sampaikan kepada santri-santrinya.

Semoga Ustadz Karim dimudahkan oleh Allah menuju “perjalanan” tarikh kehidupan berikutnya. Semoga ilmu yang disampaikan kepada santri-santrinya bermanfaat dan bisa disampaikan kepada sesama di lingkungannya masing-masing. Ilmunya bisa “berputar” dan disampaikan kepada “santri-santri” berikutnya. Amin.

Ditulis di rumah orang tua yang beralamat di Pelutan Pemalang, 27 Juni 2021

Jam 04.40 – 05.00 WIB.  

Ngaji “Nata Ati”

Ngaji “Nata Ati”
Oleh Agung Kuswantoro

Antara tahun 2000-2001, saya pernah aktif mengikuti kajian kitab Ihya Ulumuddin di Masjid Agung Pemalang. Kajian dilakukan pada jam 09.00 11.00 WIB tiap hari Ahad dengan pemateri/pengampu Kiai Masruhi (Pelutan) dan Kiai Dimyati (Comal).

Waktu itu, usia saya sekitar 18 – 19 tahun saat kajian tersebut. Saat saya mengikuti kajian tersebut, tidak memiliki kitab Ihya Ulumuddin. Saya hanya mengaji jiping/ngaji nganggo kuping (baca:mengaji dengan menggunakan telinga). Alias mengaji dengan mendengarkan dari pemateri yang disampaikan.

Ketika mendengar pun—waktu itu—saya belum paham apa yang saya dengar dari penjelasan kedua pemateri. Artinya, materi-materi yang disampaikan dalam kitab tersebut, belum saya pahami sepenuh hati. Jadi, saya asal ngaji saja. Paham, gak paham itu, urusan lain.

Santri yang mengaji kitab Ihya Ulumuddin waktu itu, kebanyakan para “senior” dari beberapa daerah di Pemalang. Mereka dari kalangan ustad dan santri berpengalaman dalam belajar agama dari pelosok kota/desa di daerah yang berjulukan Kota Ikhlas.

Di situlah saya menangkap cara Kiai dalam penyampaian materi. Kiai Masruhi – yang notabene berprofesi sebagai Ketua Hakim Pengadilan Agama kabupaten Pemalang waktu itu– sangat tegas dalam menjelaskan makna-makna kandungan kitab Ihya Ulumuddin. Tas tes tes, kaya gitulah dalam menerangkan.

Bahkan, dalam membuat contoh itu, lebih realitas dan kekinian. Model dalam membaca, mengabsahi, dan memaknai kitab Ihya Ulumuddin yaitu membacakan perlafal hingga beberapa baris, baru menerangkan maknanya. Dalam pemaknaannya pun, sering menggunakan bahasa Indonesia.

Biasanya, santri saat mengabsahi/mengartikan dalam bahasa Jawa. Namun, kali ini ada beberapa lafal/kalimat menggunakan bahasa Indonesia. Kiai Masruhi biasanya menyampaikan pada sesi I (jam 09.00 – 10.00). Jam 10.00 – 10.15 WIB, istirahat.

Jam 10.15 WIB masuk kajian sesi II oleh Kiai Dimyati dari Comal. Kiai Dimyati dalam menyampaikan sangat halus dan berhati-hati sekali dalam kaidah Nahwu dan Sorof-nya. Setiap lafal, beliau maknai secara bahasa dan istilah.

Belum lagi, Kiai Dimyati menerangkan suatu kalimat—dari lafal-lafal yang ada dalam kitab Ihya Ulumuddin—yang dibacakannya. Setelah itu, menerangkan isi kandungan yang dibaca olehnya.

Kiai Dimyati memiliki karakteristik halus dalam penyampaiannya. Target mendapatkan materi banyak, bukan tujuan utama yang penting dapat dipahami oleh santri. Kurang lebih seperti itu, gaya Kiai Dimyati dalam suatu kajian.

Kajian tersebut masih berlangsung saat usia saya memasuki 22 tahun. Atas izin Allah, saya dapat membeli kitab Ihya Ulumuddin versi kitab kuning 4 jilid di Toha Putra Semarang. Uang hasil dari kerja saya—waktu itu masih berprofesi sebagai guru—dengan gaji yang “amat tak seberapa”. Saya belanjakan kitab Ihya Ulumuddin saja. Tujuannya, agar saya dapat mengaji dengan mengabsahi secara langsung. Tidak jiping lagi.

Ternyata, kajian kitab Ihya Ulumuddin di tahun 2006 masih berlangsung. Namun, saya ketinggalan banyak bab. Karena, 1 tahun saya studi/belajar di UNNES dan bekerja sebagai guru di Semarang. Walaupun, ketinggalan banyak bab, saya tetap semangat mengaji. Setiap kali pulang Pemalang – tahun 2006 hingga 2007 – saya menyempatkan untuk mengkaji kitab Ihya Ulumuddin.

Oh ya, kajian kitab Ihya Ulumuddin ini—waktu itu—disiarkan langsung di Stasiun Radio Widuri Pemalang. Ibu dan Kakak saya, biasanya mengikuti kajian ini dari radio di rumah.

Tahun 2021, saya kurang tahu pastinya, apakah kajian Ihya Ulumuddin di Pemalang masih atau tidak. Harapannya, kajian yang berisi pesan-pesan kebaikan itu masih berlangsung. Meskipun, saya sudah berdomisili di Semarang.

Melalui kitab Ihya Ulumuddin, saya dituntun untuk belajar “nata ati”. Banyak ilmu-ilmu yang saya dapatkan dari kitab karangan Imam Gozali tersebut. Kitab ini menjadikan saya, lebih hati-hati dalam memaknai sebuah kehidupan. Kitab Ihya Ulumuddin menuntun seseorang agar “menghidupkan” ilmu-ilmu Allah di dunia ini.

Alhamdulillah, saat ini, tahun 2021, saya masih mengaji kitab Ihya Ulumuddin secara daring yang diampu oleh Kiai Ulil Absor Abdullah. “Gaya” penyampaian Kiai Ulil Absor Abdullah sepintas seperti Kiai Masruhi (dulu saat saya mengaji) yang lebih kekinian dalam menafsirkan, memaknai, dan memberikan contoh.

Saya sangat bersyukur masih bisa mengaji lagi kitab tersebut, hingga kini. Bersyukur juga, bisa bertemu dengan kiai-kiai yang berilmu dan beramal baik seperti Kiai Masruhi, Kiai Dimyati dan Kiai Ulil Absor Abdullah. Tidak sembarang orang bisa mengaji kitab Ihya Ulumuddin ini. Karena, membutuhkan “hati yang telah tertata”. Hati yang “didandani” agar menjadi lebih baik. Itulah, inti belajar kitab Ihya Ulumuddin.

Semoga guru-guru saya yang mengajarkan kitab ini, selalu sehat dan diberi keberkahan dalam hidupnya. Itulah doa saya dari santri yang waktu itu mengaji dengan jiping.

Semarang, 19 Juni 2021
Ditulis di Rumah Jam 05.00 – 05.20 WIB.

Masjid, Iman, dan Ilmu

Masjid, Iman, dan Ilmu
Oleh Agung Kuswantoro

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan (QS. al-Mujadilah:11)

Pandemi Covid 19 ini mengajarkan kepada sesorang menjadi hamba yang berilmu. Jika tidak tahu/paham, ikutilah yang lebih mengetahui/ahli/pakar. Demikian juga dalam suatu “tempat” dibutuhkan sebuah kepahaman oleh seseorang. Kepemahaman itulah yang disebut ilmu.

Tempat bisa dimaknai sekolah, mushola, masjid atau rumah. Saya mengambil contoh dalam hal ini yaitu masjid. Masjid sangat membutuhkan orang yang sangat berilmu. Di Mekkah ada Nabi Muhammad SAW. Dimana pada usia 35 tahun, Nabi Muhammad SAW sudah ikut andil/bersama dalam peletakan batu/Hajar Aswad. Waktu itu, Ka’bah habis terkena musibah banjir bandang, sehingga Ka’bah hanyut/rusak berat bangunannya.

Dalam tarikh/sejarah disebutkan, bahwa sejak kecil hingga remaja, Nabi Muhammad SAW belum aktif ke Masjid. Artinya, Nabi Muhammad SAW dalam beribadah itu secara sembunyi-sembunyi atau di rumah. Tidak beribadah di Masjidil Haram/Ka’bah. Ibadah Nabi Muhammad SAW banyak dilakukan di rumah bersama keluarga.

Lalu, muncul pertanyaan, “Mengapa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan ibadah (baca: sholat) di Masjidil Haram?” Pada ahli menjawabnya: karena situasi saat itu belum memungkinkan untuk beribadah.

Lingkungan sekitar Masjidil Haram lebih banyak maksiatnya, saat itu. Penguasa/Raja/Presidennya masih dholim/belum mengajak kepada kebenaran. Kiri-kanan di Ka’bah/Masjidil Haram, masih banyak berhala. Dimana, para pemimpinnya sebagai pelaku dan pengambil kebijakan itu masih dalam keadaan yang maksiat atau “kotor”, hatinya.

Arti dari kejadian tersebut bahwa suatu tempat bisa menjadi lebih baik itu membutuhkan waktu yang lama. Nabi Muhammad SAW baru mulai aktif menginjakkan kaki ke Masjid, saat usia 35 tahun. Baru 35 tahun pula dakwah Nabi Muhammad SAW mulai menunjukkan hasilnya.

5, 10, 15, atau 20 tahun dari umur masjid didirikan belum tentu tertata dengan baik. Siapa imam, khotib, muadzin, belum tentu bisa istiqomah/langgeng dalam melakukan ibadah di suatu Masjid. Oleh karenanya, berdasarkan kisah tersebut, bahwa suatu Masjid dibutuhkan orang yang berilmu. Pertanyaannya sekarang adalah “Siapakah orang yang berilmu itu? Jawabnya adalah orang yang membuka ilmu-ilmu Allah melalui al-Qur’an, kitab, buku, atau referensi-referensi lainnya yang berkaitan dengan ilmu. Ia adalah kiai, ustad, dan tokoh masyarakat.

Di Masjidil Haram ada orang yang berilmu yaitu Nabi Muhammad SAW. Di Masjid Istiqlal Jakarta, ada orang yang berilmu yaitu Kiai Prof. Dr. Nazaruddin Umar, dan masjid dengan orang berilmu lainnya. Orang yang berilmu menjadi imam Masjid ditunjuk oleh penasihat, pemerintah, atau masyarakat setempat yang sholeh/baik berdasarkan kriteria-kriteria keilmuan.

Masjid, tanpa ada orang yang berilmu, pasti akan berjalan tanpa arah. Atau, Masjid tersebut akan “berhenti/mati” dalam syiar keislamannya. Ibaratnya, ada mobil, tanpa ada sopir. Mobil adalah masjidnya. Sopir adalah orang yang berilmu. Mobil agar bisa berjalan membutuhkan sopir. Tidak asal sopir, tapi sopir yang berilmu. Ia paham akan kondisi mobil dan arah dari tujuan mobil yang dituju. Itulah sopir yang berilmu.

Artinya, orang yang berilmu harus menuntun “jamaah” yang ada dalam Masjid tersebut. Tuntun jamaah agar paham dan benar dalam beribadah. Cek bacaan al-Fatihah, jamaahnya. Cek bacaan adzan, muadzinnya. Dan, cek kondisi masjidnya, apakah sudah suci dan bersih atau belum.

Resiko dari sopir yang akan melakukan perbuatan mengingatkan kepada penumpang adalah (bisa jadi) dikomentari negative atau mendapatkan perlakuan fisik yang buruk. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, saat membawa Hajar Aswad, dimana terjadi pertengkaran yang hebat diantara kepala desa/kepala suku. Kepala desa/kepala suku merasa hebat/kuat/pantas/terhormat untuk membawa Hajar Aswad, sehingga diantara mereka nyaris terjadi pertumpahan darah dalam kejadian tersebut.

Demikian tulisan singkat ini. Ada beberapa simpulan yaitu:

  1. Mari kita semua menjadi hamba yang berilmu, agar tempat yang kita tempati itu lebih baik dari sekarang.
  2. Dalam ilmu, adanya benar dan salah. Ilmu menuntun orang agar memahami akan sebuah kebenaran dan kesalahan.
  3. Orang yang berilmu adalah orang yang rajin membuka al-Qur’an, hadist, kitab, buku, dan referensi-referensi/rujukan yang valid.
  4. Orang yang berilmu, tak henti-hentinya menasehati ke arah kebenaran dan kebaikan kepada orang sekitar.
  5. Terakhir, resiko orang berilmu adalah mendapat perlakukan yang tidak baik dari orang yang tidak sepaham/sependapat/tidak suka dengan suatu ilmu.

Semoga bermanfaat tulisan ini. Amin. []

Semarang, 1 Juni 2021
Ditulis di Rumah jam 21.30 – 21.50 WIB.

Mengistikamahkan Mengaji

Mengistikamahkan Mengaji
Oleh Agung Kuswantoro

Rutin adalah salah satu kunci kesuksesan dalam menjalankan sesuatu. Sebut saja, mengaji. Mengaji adalah salah satu aktivitas yang ingin saya pertahankan dalam kehidupan saya.

Beberapa hari yang lalu, saya pernah menulis tentang lingkungan yang kurang mendukung untuk belajar, sehingga saya belajar secara mandiri dengan cara suara lantang dari kitab yang saya baca.

Setelah beberapa hari, saya membaca al-Aqur’an, kitab, dan nadzom. Ternyata ada yang aktif menyimak. Ia adalah Mbah Darman. Ia mendengarkan dan berusaha memahami apa yang saya ucapkan. Perlu diketahui bahwa Mbah Darman memiliki keterbatasan dalam penglihatan (baca: buta).

Setelah saya membaca, saya mengajak diskusi misal dengan kalimat: “Paham mboten, Mbah?”
Dari pertanyaan tersebut, muncullah diskusi-diskusi lanjutan. Setelah saling memahami antara saya dan Mbah Darman, kemudian ditutup dengan nadzoman kitab Hidayatussibyan.

Itulah cara saya dan Mbah Darman dalam belajar (baca: mengaji) agar selalu mendapatkan ilmu. Kuncinya, langgeng/istikamah dalam menjalankan suatu amalan. Semoga bisa istikomah selalu. Amin. []

Semarang, 14 Juni 2021
Ditulis Di Rumah jam 05.15 – 05.25 WIB.

Pembelajaran Madrasah (Sekolah Arab) Yang Tutup

Pembelajaran Madrasah (Sekolah Arab) Yang Tutup
Oleh Agung Kuswantoro

Harus berpikir ekstra keras dan tenaga full untuk mengatasi pembelajaran yang masih tutup hampir dua tahun. Berdasarkan pengalaman yang saya rasakan dulu waktu pembelajaran Madrasah bahwa pembelajaran di Madrasah dengan sekolah (umum) itu berbeda. Di Madrasah penekanan akan ilmu itu sangat kental. Kurikulumnya sederhana, namun mengena. Teorinya dalam, prakteknya nyata. Itulah, Madrasah.

Semenjak Pandemic Covid-19 – Desember 2020 – Madrasah di lingkungan saya tutup. Saya sendiri sebagai pengelola Madrasah mengambil keputusan tersebut. Dampak dari penutupan tersebut, saya harus atur strategi untuk kedua anak saya. Bagaimana dan harus dimana belajarnya? Padahal, Madrasah tutup.

Setelah pemikiran dan perenungan, saya melakukan pembelajaran di Rumah sendiri. Mubin dan Syafa – kedua anak saya – saya ajak untuk belajar bersama. Kurikulum sama seperti Madrasah. Kitab-kitab saya siapkan. Waktu belajar usai solat Subuh dan Magrib berjamaah di Rumah. Tiap hari saya melakukan itu kepada dua anak saya didampingi oleh istri. Selama pembelajaran fokus ke proses pembelajaran. Artinya, saya dan istri tidak aktivitas selain belajar bersama.

Saya menikmati betul proses ini. Terlebih, akhir-akhir ini saya banyak melakukan ibadah di Rumah. Jadi, bisa lebih intensif dalam belajar “Madrasah” ala di Rumah saya. Bagi saya, pembelajaran Madrasah harus tetap berlangsung, apapun keadaannya. Karena, dalam materi-materi Madrasah ada sebuah harapan yang sangat besar untuk kesalehan, kebaikan, akhlak, berbakti kepada orang tua, dan masa depan yang sangat baik untuk anak. Bukankah kita selalu berdoa agar memiliki anak yang soleh? Yuk, bangun Madrasah di Rumah Anda. Waallahu ‘alam. [].

Semarang, 11 Juni 2021
Ditulis di Rumah, jam 05.30-05.45 WIB.

Buka, Baca, dan Mengaji Sendiri

Buka, Baca, dan Mengaji Sendiri
Oleh Agung Kuswantoro

Guna meningkatkan keilmuan dan pemahaman saya terhadap agama, saya selalu membuka buku/kitab setiap hari. Saya berniat dan bertekad agar menjadi orang yang ingin memahami suatu ilmu. Saya tidak mau menjadi orang bodoh. Singkatnya, seperti itu.

Keadaan lingkungan yang tidak mendukung akan belajar, menjadikan saya harus aktif untuk mencari cara agar saya belajar. Salah satu cara yang saya lakukan adalah membaca kitab usai habis solat Subuh di Masjid. Dalam membacanya, saya memang sengaja menyuarakan suara (baca:lantang). Tujuannya, agar saya mendengar ucapan saya sendiri. Lantang, tapi halus suaranya. Dengan cara seperti itu, menjadikan saya paham akan apa yang saya baca.

Sederhana saja, kitab yang saya baca, yaitu kitab tafsir Yasin, kitab Safinatunnajah, kitab Sifatussholah, dan kitab al-Ibriz juz 22. Saya membaca sendiri di Masjid. Kebetulan, di Masjid (seringnya) sepi, jadi saya dalam membaca dan konsentrasi memahami isi kitab lebih mudah.

Nah, seperti itulah cara saya dalam menjaga diri berusaha belajar suatu ilmu ditengah lingkungan yang kurang mendukung untuk belajar. Apalagi, belajar ilmu agama. []

Semarang, 1 Juni 2021
Ditulis di Rumah jam 20.00 – 20.15 WIB.

Menghormati Sesepuh

Me

Menghormati Sesepuh

Oleh Agung Kuswantoro

Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya (QS. al-Baqoroh:172)

Syukur adalah salah satu ciri orang yang beriman. Salah satu bentuk syukur adalah menerima apa pun kenikmatan Allah SWT yang diterima oleh kita. Kita adalah hamba Allah yang diutus oleh Allah untuk menjadi pemimpin.

Kita bekerja di lembaga ini, harus penuh dengan rasa syukur. Bukti syukur kita di lembaga ini adalah masih diberi kenikmatan untuk berislam dan beriman. Sebagai pegawai fungsional (dosen dan tenaga kependidikan) di UNNES ini, kita sudah sepatutnya untuk bersyukur.

Bentuk syukur sebagai pegawai adalah menaati pemimpin kita. Pastinya, pemimpin kita itu baik/sholeh. Insya Allah di lembaga kita, semua pemimpin adalah sholeh/baik. Oleh karenanya, sebagai “Makmum” yang baik itu, wajib  mengikuti semua gerakan Imam.

Jika pemimpin melakukan “gerakan” A, maka bawahan akan melakukan “gerakan” A. Jika Imam sujud, maka Makmum juga akan sujud. Jika Imam lupa tidak sujud, maka Makmum wajib mengingatkan Imam untuk sujud. Demikian juga, pemimpin, jika melakukan sebuah kealpaan/kelupaan/kekhilafan, maka makmum mengingatkan pemimpin.

Bentuk syukur sebagai pegawai adalah mendoakan leluhur/sesepuh pendiri lembaga. Tercatat, di arsip UNNES itu banyak tokoh yang membesarkan ada 9 Rektor UNNNES yaitu: (1) Bapak Mochtar Almarhum: Ketua Presidium IKIP Semarang 1965-1966; (2) Bapak Moenadi Almarhum: Ketua Presidium IKIP Semarang 1966-1967; (3) Bapak Wuryanto Almarhum: Rektor IKIP Semarang 1967-1977; (4) Bapak Hari Mulyono Almarhum : Rektor IKIP Semarang 1977-1986; (5) Bapak Retmono Almarhum: Rektor IKIP Semarang 1986-1994; (6) Bapak Rasdi Ekosiswoyo Almarhum: Rektor IKIP Semarang/ UNNES 1994-2002; (7) Bapak Ari Tri Soegito –Alhamdulillah masih sehat dan aktif—Rektor UNNES 2002- 2006; (8) Bapak Sudijono Sastroatmodjo –Alhamdulillah masih sehat dan aktif— Rektor UNNES 2006-2013, dan (9) Bapak Fathur Rokhman–Alhamdulillah masih sehat dan aktif— Rektor UNNES 2014-sekarang

Ada dua Presiden yang mengesahkan dan menyetujui pendirian Institut Negeri di Semarang/IKIP Semarang/UNNES ini, yaitu Presiden Soekarno dan Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Presiden Soekarno yang mengesahkan IKIP di Semarang tanggal 14 September 1965. BJ Habibie yang mengesahkan perubahan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang menjadi Universitas Negeri Semarang/UNNES tanggal 7 Oktober 1999.

Jika dalam dunia pondok pesantren hukumnya wajib mendoakan pada musonnep/pengarang kitab sebelum mengaji kitab. Dengan kalimat “qolal mushonnefu rohimakumullah wana fa ‘ani dan seterusnya. Tujuannya membaca surat al-Fatikhah dan doa tersebut agar berkah dan diberi kemanfaatan dalam membaca dan belajar kitab tersebut.

Sama dengan kita, sebagai pegawai dianjurkan sekali mendoakan kepada sesepuh UNNES mulai dari mantan Rektor yang sudah meninggal agar selalu diberikan ketenangan di alam kubur. Dan, mendoakan bagi mantan Rektor yang masih hidup agar selalu diberikan kenikmatan hidup.

Kita sangat beruntung punya atmosfer “Islam” yang baik di lembaga ini. Mau sholat Jum’at/wajib, dekat. Pimpinan mengajak khataman al-Qur’an, bershalawat dan berdzikir. Demikian juga mengajak ziarah ke makam sesepuh. Syukur, insya Allah bisa berziarah ke makam mantan Presiden Soekarno dan BJ Habibie.

Tugas kita sebagai pegawai sederhana, yaitu mendoakan pimpinan kita setiap hari. Siapakah pimpinan kita? Subkoordinator, Koordinator, Wakil Dekan, Dekan, Kepala, Ketua, Wakil Rektor, dan Rektor. Doakanlah mereka yang tiap hari kita lihat.

Insya Allah “naluri” pemimpin akan turun kepada pegawai yaitu kepedulian dan kasih sayang. Naluri kasih sayang dan kepedulian itu, berupa doa. Pemimpin tersebut akan mendoakan pegawai tersebut agar diberi kelancaran rizki. Hal ini sangat jelas, karena Allah mengizinkan pemimpin dan pegawai tersebut masih hidup dan diberi umur panjang. Jika Allah tidak menghendaki, maka Allah tidak mengizinkan kejadian hari terjadi.

Sekali lagi, penulis mengajak untuk bersyukur. Bersyukur yang paling mudah adalah berdoa. Jika tidak bisa berdoa, maka diamlah karena diam adalah sebuah kebaikan. Syukur, dalam diri Anda memiliki kemampuan yang bermanfaat untuk UNNES/lembaga, maka “perjuangkan” kemampuan Anda tersebut di lembaga ini, karena kemanfaatan itu harus diperjuangkan. Bukankah, manfaat itu lebih tinggi derajatnya dibanding kebaikan?

Dari penjelasan di atas, ada beberapa simpulan yaitu:

  1. Bersyukur adalah salah satu ciri orang yang beriman.
  2. Bersyukurnya pegawai dan pimpinan adalah berdoa. Pegawai mendoakan pimpinan. Dan, pimpinan mendoakan pegawai.
  3. Kita patut dan harus bersyukur hidup dan mendapatkan rizki di UNNES, karena lembaga ini memiliki atmosfer “keislaman” yang baik.
  4. Terakhir, mari doakan para sesepuh kita mulai dari Presiden yang berjasa atas pendirian UNNES yaitu Soekarno dan BJ Habibie. Dan, para mantan Rektor yang sudah meninggal agar selalu diberi pahala yang terus mengalir. Dan, Rektor yang masih hidup agar selalu diberi nikmat sehat, berkah rizki, dan mampu memajukan UNNES menjadi PTN BH. Amin. []

Semoga bermanfaat tulisan ini. []

Semarang,3 Juni 2021

Ditulis Di Rumah jam 08.00 – 08.55 WIB.