Menyambut Idul Adha

Menyambut Idul Adha

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Tak terasa 1 pekan lagi kita akan merayakan Hari Raya Idul Adha. Posisi sekarang, tanggal 3 Dzulhijjah, berarti ada tujuh hari menuju hari besar tersebut. Peristiwa yang paling monumental pada tanggal tersebut yaitu hari penyembelihan Nabi Ismail selaku Anak, yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, selaku Bapak.

 

Pertanyaannya, mengapa peristiwa tersebut sangat bersejarah hingga dirayakan sampai detik ini? Pastinya, memiliki filosofi yang dalam. Dalam kitab Durrotun Nasihin dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim AS dikenal dengan kecintaan Allah yang sangat tinggi, sehingga takwa kepada Allah levelnya sangat tinggi pula. Pada suatu ketika, Nabi Ibrahim berkurban 1000 kambing, 300 sapi, dan 100 onta. Hingga malaikat dan orang-orang pun kagum pada Nabi Ibrahim AS.

 

Dan, Nabi Ibrahim AS berkata, “Setiap apa pun yang membuat aku (Nabi Ibrahim AS) dapat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga bagiku. Demi Allah, jika aku mempunyai seorang anak, niscaya aku akan menyembelihnya.

 

Waktu demi waktu berlalu dengan cepat. Pernikahan Nabi Ibrahim dengan Hajar belum dikaruniai anak, selama bertahun-tahun. Mereka menginginkan keturunan. Lama menanti sang keturunan belum pula ada tanda-tanda janin di rahim Hajar. Usaha mereka lakukan, salah satunya berdoa di Baitul Muqoddas, beliau memohon kepada kepada Allah agar dikaruniai anak. Turunkan ayat Asshofat ayat 102.

 

 

Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai pada umur sanggup bersama-sama Ibrahim (Asshofat: 102).

 

Ketika Nabi Ismail berusia 9 tahun (ada yang mengatakan 13 tahun) – bertepatan tanggal 8 Dzulhijjah) Nabi Ibrahim tidur dan bermimpi. Dalam mimpi tersebut seseorang berkata, “Wahai Ibrahim, tepatilah janjimu!” Setelah bangun dari tidur, Nabi Ibrahim berpikir dan berangan-angan ataukah syetan? Sehingga hari itu disebut hari Tarwiyyah. Tarwiyah berasal dari kata rowa yurowwi tarwwiyah yang artinya merenung. Dinamakan hari tarwiyah karena pada hari itu, Nabi Ibrahim berpikir dan merenung atas kejadian masa lalu berupa janji atau nadzar yang terlupakan.

 

Pada keesokan harinya, tanggal 9 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim mengetahui ternyata mimpinya berasal dari Allah. Sehingga pada tanggal tersebut dikenal dengan hari Arofah. Arofah berasal dari kata arofa ya’rifu arfan, yang artinya mengetahui. Mengetahui bahwa mimpi tersebut bukan dari setan. Lalu pada tanggal 10 Dzulhijjah terjadilah peristiwa penyembelihan atau nahr, dimana hari itu dikenal dengan yaumun nahr, dimana Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail.

 

Godaan dan rayuan datang berkali-kali, sebelum Nabi Ismail disembelih. Mulai dari bisikan ke Hajar untuk membatalkan penyembelihan tersebut. termasuk Nabi Ismail pun dirayu oleh setan. Akhirnya, Nabi Ismail mengambil batu dan melemparkannya kepada Iblis. Peristiwa itulah menjadi momen dalam haji yaitu melempar jumroh.

 

Setelah sampai di Mina, Nabi Ibrahim berkata kepada putranya, sebagaimana tertulis dalam Asshofat 102,

 

“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu”.

 

Ini menunjukkan bahwa, komunikasi antara Bapak dan Anak harus imbang. Tidak bisa satu arah berupa perintah. Namun unsur musyawarah tetap ada. Meminta pendapat tetap dilaksanakan, walaupun jelas, bahwa pesan tersebut adalah perintah Allah. Suatu ujian pula bagi Nabi Ismail selaku anak. Apakah Nabi Ismail bersabar dengan perintah Allah ini? Apakah Nabi Ismail menolak perintah Allah untuk disembelih? Ataukah Nabi Ismail menerima atau taat perintahnya? Nabi Ismail pun menjawab “Wahai ayahku, lakukan apa yang diperitahkan kepadamu, Insya Allah Engkau akan menemuiku termasuk orang-orang yang sabar”. Sebagaimana Asshofat ayat 100:

 

“Ya, Tuhanku, anugerahkan kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang sholeh”.

 

Singkat cerita, ternyata kejadian tersebut adalah ujian yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, sebagaimana dalam surat Asshofat ayat 107.

 

“Dan Kami tebus (ganti) anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.

 

Malaikat Jibril pun datang dengan membawa seekor domba yang besar. Domba tersebut merupakan domba kurban habil – putra Adam – yang masih hidup di Surga. Kemudian, kurban tersebut dijaidkan tebusan atau ganti Nabi Ismail. Malaikat Jibril pun datang dengan rasa ta’dzim (hormat) kepada Nabi Ibrahim, dengan berkata:

 

Allah Akbar Allah Akbar

Allah Maha Besar

 

Kemudian, Nabi Ibrahim menjawab:

 

La ilaha illah, Allahu Akbar

Tidak ada Tuhan, kecuali Allah, dan Allah Maha Besar

 

Nabi Ismail pun mengikuti:

 

Allahu Akbar walillahilhamdu

Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi Allah

 

 

 

 

 

 

Hikmah yang terkandung dalam peristiwa ini adalah

  1. Komunikasi dalam keluarga harus dibangun. Seorang ayah harus mampu mengajak bermusyawarah kepada istri dan anaknya.
  2. Allah menjadi kunci jawaban setiap permasalahan. Hanya Allah yang akan memberikan solusi atas masalah kita.
  3. Iblis/setan selalu hadir dalam setiap kesempatan. Libatkanlah Allah agar Iblis bisa pergi dari kehidupan kita.
  4. Kebahagiaan akan datang, setelah kita bersabar dan pasrah secara total kepada Allah.

 

Mari kita sambut hari tarwiyah dan arofah dengan berpuasa Sunah. Lalu, di hari Nahr, mari kita sambut dengan solat Id, dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Hari berikutnya, kita menikmati hari tasyriq dengan makan daging kurban yang telah disembelih. Itulah runtutan makna hari besar tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Selamat menyambut Idul Adha 1438 Hijriyah.

 

 

Semarang, 25 Agustus 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: